Opini

no image

Jangka Waktu Hak atas Tanah di IKN

27 March 2023
Oleh : Maria S.W. Sumardjono
Unduh PDF


Penyempurnaan rumusan pengaturan tentang jangka waktu HGU/HGB/hak pakai dalam PP No 12 Tahun 2023 diperlukan agar tidak melanggar putusan Mahkamah Konstitusi. Upaya tersebut agar dirumuskan dalam peraturan menteri.

Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha, dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di Ibu Kota Nusantara terbit pada 6 Maret 2023. Setelah penerbitan peraturan pemerintah ini, berkembang silang pendapat tentang pengaturan jangka waktu hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai di atas hak pengelolaan Otorita IKN, yang jika tidak diklarifikasi akan berkepanjangan dan kotraproduktif.

Untuk memahami secara obyektif pengaturan tentang jangka waktu hak guna usaha (HGU) selama 95 tahun hingga 190 tahun dan hak guna bangunan (HGB)/hak pakai selama 80 tahun sampai dengan 160 tahun, sebagaimana diatur dalam Pasal 18, 19, dan 20 PP No 12 Tahun 2023, landasan konseptualnya harus ditemukan dalam filosofi, konsepsi, prinsip/asas UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).

Dengan catatan bahwa penulis berpendapat jika pengaturan tentang pemberian HGU di atas tanah hak pengelolaan (HPL) yang diperkenalkan oleh UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja itu bertentangan dengan konsepsi tentang terjadinya HGU menurut UUPA, uraian berikut diharapkan dapat mengakhiri polemik tentang jangka waktu HGU/HGB/hak pakai di atas tanah HPL Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN).

Baik jangka waktu itu selama 95 tahun maupun 80 tahun, bahkan selama 190 tahun atau 160 tahun. Pokok persoalannya adalah apakah jangka waktu hak atas tanah itu diberikan secara langsung (otomatis) atau secara bertahap (kumulatif)?

Frasa yang krusial

Pengaturan tentang jangka waktu hak atas tanah (HGU/HGB/hak pakai) di atas tanah HPL OIKN diatur dalam Pasal 18, 19, dan 20 PP No 12/2023.

Pada intinya pasal-pasal itu mengatur tentang, pertama, jangka waktu hak atas tanah diberikan paling lama 95 tahun (HGU) atau 80 tahun (HGB dan hak pakai), melalui siklus pertama dengan tahapan berikut: a) pemberian hak, paling lama 35 tahun (HGU) atau 30 tahun (HGB dan hak pakai); b) perpanjangan hak, paling lama 25 tahun (HGU) atau 20 tahun (HGB dan hak pakai); dan c) pembaruan hak, paling lama 35 tahun (HGU) atau 30 tahun (HGB dan hak pakai).

Kedua, bahwa HGU atau HGB dan hak pakai yang diberikan untuk satu siklus pertama dengan jangka waktu paling lama 95 atau 80 tahun itu dituangkan dalam keputusan (SK) pemberian hak dan ”dicatat” dalam sertifikat HGU/HGB/hak pakai.

Ketiga, perpanjangan dan pembaruan HGU/HGB/hak pakai diberikan sekaligus setelah lima tahun digunakan dan/atau dimanfaatkan secara efektif.

Keempat, sepuluh tahun sebelum hak atas tanah siklus pertama berakhir, dapat diajukan permohonan hak atas tanah kembali untuk satu siklus kedua dengan jangka waktu 95 tahun (HGU) atau 80 tahun (HGB dan hak pakai).

Kelima, permohonan pemberian kembali hak atas tanah siklus kedua harus memenuhi kriteria tertentu.

Keenam, perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah siklus pertama dan pemberian kembali hak atas tanah siklus kedua diberikan setelah dilakukan evaluasi bersama antara OIKN dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

Ketujuh, perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah siklus pertama dan pemberian kembali hak atas tanah siklus kedua ”dimuat” dalam sertifikat HGU/HGB/hak pakai. 

Kata dicatat dalam sertifikat dan dimuat dalam sertifikat, tanpa penjelasan dalam Penjelasan PP No 12/2023, membuka peluang timbulnya berbagai penafsiran.

Pertama, apakah makna dicatat dalam sertifikat itu? Jika hal itu dimaknai sebagai pencatatan atas SK perpanjangan dan pembaruan HGU/HGB/ hak pakai, maka hal itu tidak menimbulkan masalah. Namun, jika kata dicatat itu dimaknai sebagai pendaftaran perpanjangan dan pembaruan HGU/HGB/hak pakai sekaligus, hal ini melanggar Putusan MK No 21-22/PUU-V/2007).

Seyogianya dipahami bahwa SK perpanjangan dan pembaruan hak itu merupakan ”janji” atau jaminan bahwa hak atas tanah akan diperpanjang dan diperbarui pada saat hak atas tanah berakhir jika semua syarat/kriteria dipenuhi. Sebagai sebuah janji, SK itu mengikat pihak yang menerbitkan dan penerima SK, tetapi belum mengikat pihak ketiga.

Perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah baru lahir (berlaku efektif) dan mengikat pihak ketiga ketika didaftar atau dicatat dalam sertifikat ”sejak tanggal berakhirnya hak atas tanah” (Maria Sumardjono, ”Mendesakkan HGU 90 Tahun”, Kompas, 5/10/2020). Tanpa membubuhkan frasa sejak tanggal berakhirnya hak atas tanah, pengaturan tentang jangka waktu perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah dalam PP No 23/2023 itu melanggar putusan MK.

Kedua, tidak jelas apa yang dimaksudkan dengan dimuat dalam sertifikat HGU/HGB/hak pakai. Apakah sama artinya dengan kata dicatat? Jika dianggap sama, tanpa diikuti dengan frasa sejak berakhirnya hak atas tanah, rumusan itu bertentangan dengan putusan MK.

Apakah arti pentingnya membubuhkan frasa sejak tanggal berakhirnya hak atas tanah setelah frasa dicatat dalam sertifikat HGU/HGB/hak pakai? Tanpa membubuhkan frasa tersebut, jangka waktu HGU/HGB/hak pakai di atas tanah HPL OIKN itu dimaknai sebagai diberikan secara langsung.

Artinya, jangka waktu 95 atau 80 tahun itu berlaku secara otomatis karena walaupun pemberian hak atas tanah yang pertama belum berakhir, sudah diikuti dengan pendaftaran perpanjangan dan pembaruan haknya sekaligus. Hal ini jelas melanggar putusan MK.

Mengakhiri silang pendapat

Mengimplementasikan gagasan dalam rumusan peraturan perundang-undangan itu memerlukan pemahaman yang mendalam dan komprehensif terhadap konsepsi dan prinsip/asas hukum pertanahan yang berdasarkan pada UUPA sehingga dapat dihindarkan terjadinya silang pendapat yang tidak konseptual. Apalagi jika sampai menimbulkan gejolak.

Untuk meminimalkan berbagai tafsir yang bertentangan itu, dua hal perlu dipertimbangkan. Pertama, bahwa pengaturan tentang pemberian perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah yang dituangkan dalam SK itu bukan suatu hal yang baru. Hal itu sudah diatur sejak deregulasi Oktober 1993 dan dilanjutkan melalui PP No 40/ 1996 yang kemudian diganti dengan PP No 18/2021.

Pemberian perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah yang dituangkan dalam SK itu tidak bertentangan dengan konsepsi UUPA dan tidak melanggar putusan Mahkamah Konstitusi. Alasannya, karena SK itu merupakan janji yang baru dapat terwujud ketika didaftar dan jika semua persyaratan dipenuhi dan telah dilakukan evaluasi.

Upaya pemberian perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah sekaligus yang dimuat dalam SK itu merupakan penyederhanaan administrasi dan bukan penyimpangan konsepsi.

Jika tidak ada perubahan subyek dan obyek, tanah digunakan sesuai dengan tujuan pemberian haknya, masih sesuai dengan rencana tata ruang dan tidak diambil untuk kepentingan umum, maka tidak perlu dilakukan pengukuran ulang dan pengurusan syarat-syarat administratif lain untuk memperoleh SK perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah.

Perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah tersebut masing-masing didaftar pada saat berakhirnya hak atas tanah pada setiap tahapan.

Pemberian perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah yang dituangkan dalam SK itu tidak bertentangan dengan konsepsi UUPA dan tidak melanggar putusan Mahkamah Konstitusi.

Kedua, untuk memberikan penegasan bahwa jangka waktu HGU/HGB/hak pakai dalam PP No 12 Tahun 2023 tidak melanggar putusan MK, perlu dilakukan penyempurnaan rumusan melalui penambahan frasa ”sejak tanggal berakhirnya hak atas tanah setelah frasa dicatat dalam sertifikat HGU/HGB/hak pakai”.

Hal ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pendaftaran perpanjangan dan pembaruan hak atas tanah itu dilakukan secara bertahap.

Demikian juga penyebutan kata dimuat dalam sertifikat hak atas tanah perlu dikoreksi agar sinkron dengan perumusan terdahulu. Koreksi atau penyempurnaan rumusan pengaturan tentang jangka waktu HGU/HGB/hak pakai dalam PP No 12 Tahun 2023 diperlukan agar tidak melanggar putusan Mahkamah Konstitusi.

Upaya tersebut agar dirumuskan dalam peraturan menteri yang merupakan peraturan pelaksanaan PP No 12/2023. Jika hal ini tidak ditempuh, taruhannya adalah tidak adanya jaminan kepastian hukum dengan berbagai dampaknya.

 

Maria SW Sumardjono,
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)

Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas 27 Maret 2023

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.