Jaga Supremasi Sipil
Supremasi sipil merupakan benteng terakhir dalam menjaga negara tetap berpihak kepada rakyatnya, bukan pada kekuatan bersenjata.
Pada 28 Agustus 2025, situasi di sekitar DPR RI memanas setelah kendaraan taktis Brimob melindas Affan Kurniawan di kawasan Pejompongan dalam kepanikan. Eskalasi menyusul dengan gas air mata, lemparan bom molotov, dan kerusuhan meluas. Segera, tujuh personel kepolisian diperiksa. Namun, kepercayaan publik terhadap aparat dan negara keburu anjlok.
Menanggapi ini, Ketua DPR Puan Maharani menyatakan siap menampung aspirasi, tetapi tanpa langkah nyata. Presiden Prabowo Subianto menunjukkan keprihatinan dan menyerukan investigasi, tetapi absen memberikan pengakuan moral berupa permintaan maaf—hal yang justru menambah protes publik.
Media internasional dan nasional pun menyoroti dan Komnas HAM menegaskan adanya penggunaan kekerasan berlebihan serta mendesak penyelidikan independen (Kompas, 29/8/2025).
Seperti api disiram bensin, dalam 48 jam, protes publik berubah menjadi kerusuhan meluas yang memakan korban.
Sedikitnya tiga aparatur sipil negara (ASN) tewas saat gedung DPRD Sulawesi Selatan di Makassar dibakar massa pada 30 Agustus dan sejumlah lainnya mengalami luka-luka. Sementara itu, bentrokan dilaporkan terjadi berantai di Bandung, Surabaya, Bali, Solo, dan kota lain (Kompas, 31/8/2025).
Gelombang amuk massa juga menyasar rumah pejabat dan politisi. Kediaman Ahmad Sahroni dan Uya Kuya dijarah dan dirusak; rumah Eko Patrio dan Nafa Urbach diserbu. Bahkan rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ikut dijarah (Kompas, 31/8/2025).
Presiden Prabowo pun bereaksi: memerintahkan Panglima TNI Agus Subi- yanto dan Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri) Listyo Sigit Prabowo mengambil tindakan tegas terhadap aksi anarkistis dan hal ini dikonfirmasi Kapolri sendiri seusai rapat evaluasi dengan Presiden Prabowo (Kompas, 31/8/2025).
Sebelumnya, media melaporkan, TNI sudah dikerahkan di beberapa titik di Jakarta, termasuk sekitar Gedung DPR dan Markas Komando Brigade Mobil (Mako Brimob), untuk membantu pengamanan (Kompas, 29/8/2025).
Segera muncul kekhawatiran serius: bahaya tergerusnya supremasi sipil jika negara memilih pendekatan koersi, bukan akuntabilitas. Padahal, supremasi sipil adalah prinsip dasar demokrasi. Jika ia tergerus, terbukalah risiko normalisasi intervensi angkatan bersenjata dalam hidup warga.
Ini perkara serius yang mesti dicermati agar krisis tidak dipakai sebagai alasan untuk meninggalkan demokrasi.
Lapisan masalah
Kerusuhan yang terjadi di beberapa kota di Indonesia hari-hari ini memang menyingkap berlapis-lapis masalah: sengketa data kemiskinan yang dianggap manipulatif, kenaikan pajak tanah yang menekan masyarakat bawah, serta kesan publik bahwa elite politik menikmati privilese berlebih di tengah kesulitan ekonomi luas.
Kematian Affan menjadi pemicu ledakan kemarahan atas semua ini, menjadikannya aksi kolektif meluas.
Dalam Social Movement (2004), Tilly bilang, protes massa adalah kanal ekspresi akumulasi kekecewaan struktural.
Sementara itu, Gurr menegaskan, akar protes berbasis ketidakpuasan (grievance-based mobilization) adalah kesenjangan antara harapan warga dan kapasitas negara memenuhinya (Why Men Rebel, 1970).
Jadi, yang tengah kita saksikan bukanlah respons spontan terhadap satu kebijakan, melainkan letupan rasa ketidakadilan. Ia menyuarakan keresahan: lemahnya kemampuan negara dalam memenuhi mandatnya.
Namun, dimensi terpenting krisis ini terletak pada erosi kepercayaan publik (trust). Warga melihat negara tak hadir melindungi mereka, dan justru menjadi sumber ancaman lewat kekerasan aparat. Kematian Affan bukan tragedi personal, melainkan simbol hilangnya jaminan keselamatan warga dari institusi yang seharusnya melindunginya.
Jika kondisi ini dibiarkan, ia menggerus legitimasi politik dan melemahkan kohesi sosial—serupa dengan yang digambarkan oleh Putnam (Bowling Alone, 2000) tentang pentingnya modal sosial dan trust sebagai perekat demokrasi.
Ketika trust runtuh, warga akan mencari cara nondemokratis untuk mengekspresikan ketidakpuasannya.
Yang lebih berbahaya dalam keadaan ini adalah potensi normalisasi kembali peran militer dalam ranah sipil. Ketidakstabilan sosial dan runtuhnya public trust dapat menjadi justifikasi memperluas mandat TNI di luar fungsi pertahanan, dengan dalih stabilitas.
Ini mengancam prinsip supremasi sipil (civilian supremacy) yang menjadi tonggak Reformasi 1998.
Sejarah kita penuh dengan contoh bagaimana krisis politik menjadi alasan untuk melanggengkan dominasi militer dalam kehidupan sipil, sejak Orde Lama hingga Orde Baru.
Ini disebut authoritarian resilience (Diamond, 2002) di mana rezim otoritarian dapat bertahan dengan wajah demokratis: institusi tetap ada, pemilu tetap berjalan, tetapi substansinya runtuh saat supremasi sipil terkikis oleh kekuasaan bersenjata.
Ini bahaya nyata di depan mata kita: sebuah demokrasi prosedural yang kosong makna, sementara logika koersi kembali mendominasi.
Karena itu, kita harus mendesak agar respons pemerintah tidak koersif. Jalan keluar hanya mungkin lewat akuntabilitas: penyelidikan independen terhadap kematian warga, pengakuan atas kesalahan aparat, dan kanal dialog jujur dengan masyarakat sipil, serikat buruh, dan mahasiswa.
Dengan cara ini, negara bisa memadamkan api protes, sekaligus membangun ulang fondasi trust yang kini retak. Tanpa pemulihan trust, krisis akan berubah dari sekadar demonstrasi menjadi pelemahan demokrasi—dan membuka pintu untuk kembalinya militerisasi ke ruang publik.
Tiga skenario
Jadi, ke mana krisis ini mungkin berlanjut? Dari banyak skenario yang mungkin (possible), ada tiga yang masuk akal (plausible).
Pertama, skenario terbaik: pulihnya kepercayaan publik dan terjaganya supremasi sipil. Syaratnya, pemerintah bergerak cepat membuka penyelidikan independen, memberikan sanksi kepada aparat, dan meninjau ulang tunjangan DPR yang menjadi simbol privilese.
Kanal dialog dibuka dengan mahasiswa, buruh, dan masyarakat sipil. Trust akan pulih karena negara menunjukkan akuntabilitas. Supremasi sipil terjaga, militer tetap di barak. Untuk itu, tim investigasi independen mesti segera dibentuk, ada pernyataan resmi pengakuan kesalahan, serta langkah konkret mengoreksi kebijakan.
Skenario kedua lebih buruk: krisis berlarut, supremasi sipil mulai terkikis. Ini akan terjadi jika pemerintah memilih jalan tengah: retorika tanpa langkah nyata, investigasi internal tanpa mandat independen, penanganan aksi tetap represif meski sporadis.
Protes akan berlanjut, korban bertambah, dan trust makin terkikis. Militer mulai masuk sebagai ”bantuan pengamanan” meski secara formal masih di bawah kendali sipil.
Kita mesti waspada jika terjadi keterlambatan laporan investigasi, ketiadaan sanksi aparat, serta mulai terlihat operasi militer di lapangan—karena hal ini menandakan bahwa skenario ini tengah berlangsung.
Skenario terburuk adalah saat krisis meledak dan supremasi sipil luluh lantak. Inilah saat negara menempuh jalur koersif mutlak: pelibatan militer struktural dalam pengendalian massa, penggunaan peluru tajam, penangkapan massal, bahkan pembatasan total media dan internet. Kepercayaan publik ambruk, ruang sipil dipersempit, demokrasi tinggal kulit. Supremasi sipil hilang, digantikan kontrol militer di ruang publik.
Apa tanda skenario ini jadi kenyataan? Deklarasi darurat militer, keluarnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) ”keamanan nasional” yang memperluas mandat aparat, dan penempatan perwira aktif di jabatan sipil secara masif.
Mana yang paling mungkin terjadi?
Ketiganya mungkin dan masuk akal. Namun, penentunya adalah pilihan negara dalam merespons: akuntabel atau koersif. Jika pemerintah memilih jalur akuntabilitas—penyelidikan independen, pengakuan kesalahan, revisi kebijakan yang timpang—maka ada peluang memulihkan trust.
Dalam Transitions from Authoritarian Rule (1986), O’Donnell dan Schmitter mengingatkan: legitimasi demokrasi hanya bisa dipertahankan jika negara mampu merespons tuntutan masyarakat tanpa kembali ke logika represi. Sebaliknya, jika negara membiarkan krisis berlarut, trust publik terus terkikis.
Menurut Putnam (2000), hilangnya kepercayaan sosial memperlemah kapasitas kolektif masyarakat dalam memelihara demokrasi. Dalam konteks Indonesia, runtuhnya trust berarti rentannya masyarakat pada polarisasi, konflik horizontal, atau bahkan pencarian saluran politik nondemokratis.
Risiko terbesar adalah jika krisis ini dijadikan dalih normalisasi peran militer di ranah sipil. Levitsky dan Way (2010) dalam Competitive Authoritarianism menegaskan, demokrasi bisa bertahan secara formal, tetapi isi dan praksisnya dikosongkan lewat kontrol institusi koersif. Indonesia pernah mengalaminya: militerisasi ruang sipil atas nama stabilitas di era Orde Baru.
Jika pola ini berulang, yang lahir bukan demokrasi yang resilien, melainkan authoritarian resilience (Diamond, 2002).
Dengan demikian, pilihan pemerintah hari-hari ini akan menentukan arah sejarah: apakah Indonesia maju ke arah demokrasi yang lebih matang lewat pemulihan trust, atau justru mundur ke arah demokrasi prosedural tanpa substansi, saat supremasi sipil terkikis oleh kontrol militer.
Kalkulasi langkah
Maka, untuk setia pada reformasi 1998, apa yang mesti dilakukan?
Pertama, Presiden harus mengambil peran utama secara transparan dan akuntabel. Satu, dengan meminta maaf dan memerintahkan investigasi independen—atas kematian warga sipil dan penggunaan kekerasan secara berlebihan—melibatkan Komnas HAM, Ombudsman, dan akademisi.
Dua, pengakuan terbuka bahwa negara bertanggung jawab melindungi warga, bukan melukai mereka. Tindakan simbolis seperti kunjungan Presiden ke keluarga korban dapat memulihkan sebagian trust.
Tiga, melakukan koreksi kebijakan yang jadi pemicu, terutama soal tunjangan DPR dan kebijakan penghematan yang timpang. Ini sesuai dengan gagasan Dahl (1971) tentang responsiveness sebagai inti demokrasi: negara menanggapi aspirasi warga dengan tindakan nyata, bukan hanya retorika.
Kedua, pimpinan angkatan bersenjata—TNI dan Polri—harus menegaskan kembali batas mandat konstitusionalnya: menjaga pertahanan dan keamanan, bukan mengatur kehidupan sipil.
TNI perlu memastikan prajurit tidak diturunkan untuk mengendalikan protes sipil, kecuali dalam keadaan darurat resmi, sesuai hukum. Polri harus memastikan kehadirannya mengayomi warga, bukan mengintimidasinya.
Pernyataan publik pimpinan TNI dan Polri yang menegaskan komitmen pada supremasi sipil akan menjadi sinyal penting. Huntington (1957) menyebut ini sebagai objective control, di mana militer profesional menjaga jarak dari politik sehingga demokrasi tetap utuh.
Ketiga, organisasi masyarakat sipil (CSO), serikat buruh, organisasi mahasiswa, dan kelompok advokasi harus memperkuat kanal dialog yang jujur-terbuka. Tekanan politik harus diarahkan pada transparansi investigasi, akuntabilitas aparat, dan reformasi kebijakan, bukan sekadar mobilisasi massa.
CSO juga perlu memainkan peran sebagai watchdog, mendokumentasikan pelanggaran HAM, dan mengajukan usulan kebijakan. Keberhasilan gerakan sipil pada masa lalu, seperti reformasi 1998, menunjukkan bahwa tekanan yang konsisten dapat mendorong negara kembali ke jalur demokratis.
Keempat, warga punya peran krusial: menjaga aksi tetap damai, menolak provokasi, dan menggunakan kanal demokratis—media, petisi, forum publik—untuk menyuarakan aspirasi.
Publik mesti kritis terhadap disinformasi yang bisa memolarisasi. Partisipasi dalam ruang demokrasi, meski mungkin terbatas, menjadi modal sosial untuk mencegah runtuhnya trust.
Seperti dipercaya Norris (2011), dalam Democratic Deficit, keterlibatan warga yang aktif memperkuat legitimasi demokrasi, bahkan ketika institusi negara tengah goyah.
Pada akhirnya inti krisis ini bukan hanya soal timpangnya kebijakan atau kekerasan aparat di jalanan, melainkan ujian mendasar demokrasi kita: apakah supremasi sipil bisa bertahan atau kita justru terjerumus ke dalam authoritarian resilience.
Begitu militer diberi ruang untuk kembali mengatur ranah sipil dengan dalih stabilitas, demokrasi akan kehilangan makna. Ingat: kita tidak boleh mengulang sejarah saat keamanan dijadikan alasan untuk merampas kebebasan.
Supremasi sipil adalah benteng terakhir dalam menjaga negara tetap berpihak kepada rakyatnya, bukan pada kekuatan bersenjata. Jika benteng ini runtuh, institusi demokrasi hanya tinggal kerangka, tanpa jiwa dan makna.
Karena itu, menjaga supremasi sipil bukan hanya pilihan politik, melainkan prasyarat moral dan konstitusional agar negeri ini tetap berjalan di jalur demokrasi.
Yanuar Nugroho, Dosen STF Driyarkara Jakarta, Anggota AIPI, dan Visiting Senior Fellow ISEAS Singapura
Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas 31 Agustus 2025