Opini

no image

Pembagian Beban Biaya Pendidikan Tinggi

04 June 2024
Oleh : Ismunandar
Unduh PDF


Akar masalahnya adalah pendidikan tinggi belum menjadi prioritas.

Tajuk Rencana Kompas, 24 Mei 2024, merangkum akar masalah ramainya masalah uang kuliah tunggal atau UKT. Akar masalahnya adalah pendidikan tinggi belum menjadi prioritas. Anggaran untuk pendidikan tinggi hanya 0,6-1,6 persen dari total APBN.

Tulisan yang menceritakan posisi sulit perguruan tinggi terkait pembiayaan pendidikan tinggi berikut memang pahit. Namun, penulis perlu menyampaikan demi peningkatan mutu pendidikan tinggi kita. Tanpa prioritas pembiayaan, mustahil kualitas perguruan tinggi negeri (PTN) kita tingkatkan.

Secara global, minat mengakses pendidikan tinggi dari tahun ke tahun terus meningkat. Ini juga terjadi di Indonesia. Hal ini terkait erat dengan kesadaran besarnya manfaat pendidikan tinggi bagi individu dan masyarakat (publik). Bahkan, UNESCO telah memulai diskusi ke arah akses pendidikan tinggi sebagai hak, walau implementasinya masih butuh waktu.

Biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi per mahasiswa cukup besar. Kenaikan biaya ini dari tahun ke tahun selalu lebih tinggi dari inflasi. Kita mesti menghargai pengorbanan PTN kita karena sejak 2019 baru kini meninjau UKT. Biaya pendidikan tinggi dan kenaikannya yang tinggi disebabkan oleh keterlibatan tenaga berkualifikasi tinggi di dalamnya dan hingga kini teknologi/otomatisasi belum berhasil menggantikan.

Agar adil, kita juga harus memperhatikan kualitas dan tarif uang kuliah untuk perguruan tinggi swasta, di mana hampir 6 juta mahasiswa kita berkuliah.

Biaya per mahasiswa yang tinggi, apabila dikalikan dengan total mahasiswa yang terus bertambah, akan menghasilkan keperluan dana yang sangat besar. Di Indonesia, sebagaimana di negara berkembang lain, dari tahun ke tahun jumlah mahasiswa naik sangat cepat.

Pada awal kemerdekaan, jumlah mahasiswa sekitar 100 orang, kemudian meningkat menjadi 100.000 orang pada tahun 1960-an, dan kini mendekati 10 juta orang!

Sumber pendanaan

Di negara mana pun di dunia, sumber pendanaan utama perguruan tinggi hanya tiga: dari negara (uang pajak), orangtua atau mahasiswa, dan donor. Di beberapa negara, orangtua/mahasiswa membayar kuliah melalui pinjaman mahasiswa untuk kemudian membayar pinjaman itu ketika lulus dan bekerja.

Banyak universitas tua dan top dunia memiliki pundi-pundi gendut dari donatur sehingga bunganya berkontribusi besar untuk pendanaan. Rasanya, belum ada universitas di Indonesia yang seberuntung ini.

Beberapa pihak sering menyebutkan bahwa semua PTN memiliki aset yang bisa diusahakan untuk menambah pendapatan. Pada praktiknya, dari dulu hingga kini, di semua kampus di dunia, termasuk Indonesia, hasil dari pengusahaan aset ini tak signifikan (DB Johnstone, 2004). Artinya, pilihan sumber pendanaan bagi kita hanya dari orangtua dan negara.

Dalam paparan Mendikbudristek pada rapat kerja dengan Komisi X DPR disebutkan, dana perguruan tinggi (PT) 2024 adalah Rp 38,8 triliun, termasuk sekitar 40 persen atau Rp 15,5 triliun berasal dari orangtua, yang dikumpulkan lewat UKT. Jumlah mahasiswa di PTN kita sekitar 4 juta orang.

Jadi, per mahasiswa per tahun, negara dan orangtua rata-rata membiayai Rp 8,4 juta. Berapa yang ideal? Tergantung asumsi yang kita pakai. PT dengan kualitas apa yang kita citakan? Dalam berbagai diskusi di Kompas akhir-akhir ini, pekerjaan rumah PT, seperti masalah integritas akademisi pengajar, relevansi lulusan, efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan PT, semua terkait dengan pendanaan.

Kita mungkin bisa menggunakan angka dari PT yang dikelola oleh kementerian dan lembaga (PT K/L) lain. PT K/L mendapatkan dana Rp 32,8 triliun untuk sekitar 200.000 mahasiswa. Jadi, biaya satuan mahasiswa per tahun PT K/L Rp 160 juta atau sekitar 20 kali biaya satuan mahasiswa PTN!

Jadi, kalau kita ingin meningkatkan kualitas dengan menaikkan pendanaan PTN yang masih minim, tanpa mengecilkan PT K/L yang sudah besar, diperlukan dana PTN Rp 776 triliun! Ini angka kalau semua biaya PT ditanggung oleh negara. Angka ini lebih besar dari total anggaran pendidikan kita!

Namun, ada juga perkiraan minimal. Dalam salah satu diskusi Forum Guru Besar tahun lalu pernah diusulkan angka menengah-bawah dana PTN sebesar Rp 100 triliun atau rata- rata Rp 25 juta/mahasiswa/tahun agar layanan dan kualitas di PT kita mulai meningkat.

Di balik ini semua, rasanya tidak ada niat Mendikbudristek dan jajaran serta para rektor untuk mengomersialkan PTN atau membebani orangtua.

Pembagian beban

Berapa dana yang akan kita investasikan ke PT dan bagaimana beban ini dibagi antara orangtua dan uang pajak yang dikumpulkan negara (APBN)? Ini adalah keputusan politik dan hendaknya melibatkan partisipasi seluruh masyarakat.

Apakah kita menganggap individu yang berkuliah yang akan memetik sebagian besar manfaat dari PTN sehingga orangtua harus berkontribusi besar? Ataukah kita sebagai bangsa menganggap kuliah adalah investasi bersama agar kehidupan bangsa ke depan lebih baik sehingga pantas uang pajak juga diprioritaskan untuk PT?

Kalau kita menginginkan UKT murah, porsi uang pajak/negara harus lebih besar. Dan sebaliknya. Jadi, jika keputusan politik/rekomendasi rakernas partai besar menghendaki pemerintah harus menurunkan biaya pendidikan tinggi yang mahal, berarti pemerintah harus menaikkan porsi APBN untuk PT. Seberapa besar kenaikannya?

Dengan kemampuan APBN saat ini dan berbagai kebutuhan prioritas lain, mungkin orangtua akan tetap harus berkontribusi pada biaya PT. Agar prinsip keadilan terjamin, bantuan melalui KIP Kuliah juga harus terus dilanjutkan. Pinjaman mahasiswa, dengan kewajiban mengembalikan apabila penghasilan setelah lulus melampaui batas tertentu, bisa jadi tambahan.

Ketepatan sasaran KIP Kuliah ataupun pinjaman mahasiswa mensyaratkan data dan administrasi yang baik. Pengalaman di banyak negara mengajarkan bahwa untuk mengurus dengan baik program ini, diperlukan sumber daya yang tidak kecil. Ini demi keadilan dan keberlanjutan program bantuan ini. ”Kegagalan” program Kredit Mahasiswa dulu bisa menjadi pembelajaran.

Bersamaan dengan usaha di atas, PT tentu saja juga dituntut untuk terus meningkatkan kualitas dan relevansinya agar investasi dana dan tenaga berdampak besar kepada individu lulusan dan bangsa. Dengan demikian, tak ada istilah biaya PTN dan UKT mahal karena ”harga” sesuai dengan kualitasnya. Dan bagi yang kemampuannya kurang, bisa dibantu dengan KIP dan/atau pinjaman mahasiswa.

Semoga ujung dari besarnya perhatian publik pada UKT ini merupakan kesadaran dan kesepakatan bersama untuk membantu PTN. Di balik ini semua, rasanya tidak ada niat Mendikbudristek dan jajaran serta para rektor untuk mengomersialkan PTN atau membebani orangtua. Semua karena memang biaya PT itu besar dan pilihan kita tidak ada selain dari negara dan orangtua.

Agar adil, kita juga harus memperhatikan kualitas dan tarif uang kuliah untuk perguruan tinggi swasta, di mana hampir 6 juta mahasiswa kita berkuliah. Semoga ini menjadi perhatian kita selanjutnya.

 

Ismunandar,
Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti (2018-2019); Dubes/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Inonesia (AIPI).

Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas 04 Juni 202

Hak Cipta © 2014 - 2024 AIPI. Dilindungi Undang-Undang