Opini

no image

Reformasi dan Anomali Demokrasi

06 May 2024
Oleh : Syarif Hidayat
Unduh PDF


SEJATINYA, bila disimak diskursus kontemporer tentang trajektori demokrasi di Indonesia, cukup banal mengindikasikan bahwa tren perkembangan demokrasi di Tanah Air cenderung mengalami stagnasi (Warburton and Aspinall, 2019). Penulis sendiri (Hidayat, 2021:6) cenderung mengartikulasi tren perkembangan demokrasi di Indonesia sebagai 'arus balik demokrasi' (democratic u-turn).

Di antara indikasi yang pada umumnya dikemukakan dalam menjastifikasi tentang realitas stagnasi demokrasi di Indonesian adalah: a) terjadinya xenofobia politik populis, yang selanjutnya telah berimplikasi pada pelapukan demokrasi oleh pemerintahan sipil hasil pemilihan umum; b) adanya penyimpangan regulasi terkait kebebasan sipil dan perlindungan hak asasi manusia, dan c) terjadinya manipulasi lembaga negara oleh pemerintah untuk kepentingan kekuasaan (Warburton and Aspinall, 2019: 256).

Kecenderungan terjadinya stagnasi demokrasi di Tanah Air juga dikonfirmasisi oleh data indeks demokrasi Indonesia (IDI). Dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir (2009-2019), tren capaian kinerja demokrasi di Indonesia secara konstan berada pada kategori sedang (skala IDI 60-80) atau dengan kata lain belum pernah berhasil menembus kategori baik (>80).

Pada bagian lain, data indeks demokrasi yang dikeluarkan oleh The Economist Intelligence Unit (EIU) pada 2021, 2022, dan 2023 memperlihatkan bahwa status Indonesia masih tetap tidak beranjak dari kategori flawed democracy (demokrasi yang cacat). Dari lima aspek demokrasi yang diukur oleh EIU, skor terendah dialami Indonesia pada indikator budaya politik.

Pertanyaannya kemudian ialah apa kemungkinan yang akan terjadi bila realitas stagnasi demokrasi tersebut tidak dikelola dengan baik? Secara singkat, di antara prognosis yang dapat diajukan ialah alih-alih akan menuju demokrasi substantif justru sebaliknya, proses transisi demokrasi (reformasi) di Indonesia akan terperangkap pada praktik illusive democracy yang selanjutnya akan menghadirkan kembali rezim otoritarian Orde Baru atau atau lebih buruk dari itu, menuju praktik personalised government.

Illusive democracy

Kecenderungan terus memburuknya kinerja lembaga demokrasi (utamanya partai politik, lembaga perwakilan, dan lembaga penyelenggara pemilu); terjadinya xenofobia politik populis, yang telah berimplikasi pada pelapukan demokrasi oleh pemerintahan sipil hasil pemilihan umum; adanya penyimpangan regulasi terkait kebebasan sipil dan perlindungan hak asasi manusia. Terjadinya manipulasi lembaga negara oleh pemerintah untuk kepentingan kekuasaan, kesemuanya itu akan berisiko tinggi terhadap masa depan demokrasi di Tanah Air. Dikatakan demikian karena satu di antara bahaya yang mungkin terjadi sebagai akibat dari terus melapuknya fungsi lembaga demokrasi ialah bermetamorfosisnya praktik procedural democracy menjadi elusive democracy sebagaimana telah terjadi di Mexico (Olvera, 210).

Menurut Olivera, dua di antara ciriciri penting dari praktik demokrasi ilusif ialah: a) penyelenggaraan pemerintahan tidak berjalan efektif karena semua posisi strategis pada lembaga negara 'dibajak' oleh partai politik; b) lembaga demokrasi lebih banyak difungsikan sebagai instrumen bagi penguasa dan partai politik untuk kepentingan kekuasaan dan keuntungan ekonomi (Olvera, 2010: 79). Kondisi ini akan semakin memburuk manakala oligarki partai politik berkolaborasi dengan oligarki kapitalis (Hidayat,

Personalised government

Secara teoritis, model personalised government (Alagappa, 1995: 300) sebenarnya juga merupakan varian dari sistem otoriter. Namun, yang membedakan antara keduanya ialah terletak pada karakteristik dari relasi kekuasaan yang berlangsung. Pada sistem otoriter, konsentrasi kekuasaan berada pada tangan sekelompok elite negara dan struktur relasi kekuasaan bersifat oligarki dengan moda bipolar atau multipolar. Sementara itu, pada model personalised government, konsentrasi kekuasaan berada pada tangan satu orang elite negara dan struktur relasi kekuasaan bersifat oligarki dengan moda monopolar. Sistem politik pada periode rezim Orde Baru, menurut Alagappa (1995), sudah termasuk pada ktegori personalised government.

Dengan merujuk pada karakteristik dari personalised government di atas, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dalam kurun waktu dua dasawarsa reformasi yang berlangsung di Tanah Air sejauh ini, sejatinya baru berhasil dalam hal menggeser moda oligarki kekuasaan pada tubuh negara, dari personalised government (mono-polar oligarkhi) ke multipolar oligarki. (Hidayat, SENO Kompas: 27-08-2021).

Gerakan masyarakat sipil

Tatkala sistem otoritarian telah bertransformasi menjadi praktik personalised government, lembaga negara dan regulasi akan dipolitisasi untuk kepentingan penguasa. Etika politik kemudian kehilangan makna dan fungsi luhurnya. Demikian juga dengan peran partai politik, kelompok kepentingan (ormas), dan media massa sebagai infrastruktur sistem politik cenderung lumpuh. Dalam kondisi seperti ini, satu-satunya tumpuan harapan yang dapat mengembalikan muruah demokrasi ialah masyarakat sipil yang dimotori oleh kalangan terdidik pro demokrasi.

Namun, gerakan masyarakat sipil tersebut juga bukan tanpa tantangan. Dihadapkan dengan mayoritas masyarakat akar rumput yang masih berada pada kondisi budaya politik parokial, gerakan pencerahan yang dilakukan oleh kalangan kritis pro demokrasi tersebut cenderung akan sulit menjangkau publik lebih luas. Itu berarti harus disertai dengan adanya pendidikan politik warga sehingga tercipta sivic virtue (Clarke dan Foweraker, 2001).

Kewarasan akal budi

Akhirnya, memang tidak mudah untuk membangkitkan batang terendam. Namun, penulis tetap meyakini bahwa kewarasan akal budi masih eksis di 'Bumi Pertiwi'.

Dengan demikian, kondisi stagnasi demokrasi yang sedang terjadi akan dapat dikelola secara tepat dan cerdas sehingga cita-cita luhur reformasi 1998 dapat dikembalikan on the right tract, yaitu mewujudkan demokrasi substantif. Bukan justru sebaliknya, menghasilkan reinkarnasi sistem politik otoritarian dan/atau personalised government.

 

Kiranya, pernyataan bung Hatta tentang Demokrasi Kita (1960) sangat relevan untuk digelorakan kembali pada konteks kekinian. Beliau, antara lain, mengatakan demokrasi tidak akan lenyap dari Indonesia. Mungkin ia tersingkir sementara, seperti kelihatan sekarang ini, tetapi ia akan kembali dengan tegapnya. Memang tak mudah membangun demokrasi di Indonesia, yang lancar jalannya. Namun, dia akan muncul kembali, itu tidak dapat dibantah.

 

Syarif Hidayat,

Peneliti BRIN, Dosen Pascasarjana Politik Unas, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), dan Fellow of Center for Transdisciplinary and Sustainability Sciences (CTSS).

 

Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Media Indonesia 6  Mei  2024.

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.