Dalam “deep learning”, peserta didik menjadi pusat pembelajaran. Maka, pola pikir guru harus berubah.
Pada 27 November 2024, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menyatakan rencananya untuk menerapkan pembelajaran deep learning.
Berbeda dari deep learning versi machine learning yang matematika-algoritmis, pembelajaran yang mendalam ini bersifat lebih psiko-pedagogis, proses pembelajaran untuk sampai pada pemahaman mendalam yang reflektif, kritis, dan kreatif.
Deep learning adalah “proses memperoleh enam kompetensi global: karakter, kewarganegaraan, kolaborasi, komunikasi, kreativitas, dan pemikiran kritis, yang mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga dunia yang terlibat dan produktif” (Fullan, 2018).
Deep learning melibatkan keterampilan kognitif yang mendalam, berpikir kritis, analitis, evaluatif, dan pemecahan masalah kreatif. Kemandirian belajar tumbuh karena mereka dibiasakan bertanya, mengeksplorasi, dan membangun makna (Hattie, 2012).
Pembelajaran ini kontekstual karena menjawab masalah-masalah setempat untuk menghasilkan perubahan positif bagi diri pembelajar dan masyarakat. Perubahan melibatkan pemikiran metakognitif: peserta didik dibantu memahami dan mengendalikan cara belajar agar selalu mengorganisasi kembali cara berpikir, bertindak, dan merasa (Hattie, 2012).
Suasana kelas dibuat interaktif dan menyenangkan. Maka, berbeda dari deep learning versi ilmu komputer, pembelajaran ini menggabungkan tiga komponen: mindful learning, meaningful learning, dan joyful learning.
Penuh kesadaran, bermakna, menyenangkan
”Pembelajaran penuh kesadaran (mindful learning) mendorong keterbukaan terhadap hal-hal baru dan perbedaan, kepekaan terhadap konteks dan perspektif yang beragam (Langer, 1997). Fokusnya proses, bukan hasil. Peserta didik mengeksplorasi konsep tanpa takut dinilai. Mereka sadar penuh dalam proses belajar.
Mindful learning bukan hanya soal menguasai materi, melainkan mengembangkan pikiran kritis, kreatif, dan karakter yang kuat (Fullan, 2018).
Pembelajaran ini melibatkan tiga aspek (Langer, 1997). Pertama, peserta didik merefleksikan, menganalisis, dan memahami apa yang dipelajari.
Dalam pelajaran sejarah, mereka tidak hanya memahami Perang Dunia II secara kronologis, tetapi juga menganalisis dampak terhadap masyarakat dan membahas bagaimana demokrasi berkembang setelahnya.
Kedua, selalu sadar akan adanya perspektif berbeda, tak terpaku pada satu jawaban benar, tetapi mencari alternatif. Kolaborasi dan empati penting. Peserta didik belajar untuk memecahkan masalah dalam konteks yang konkret.
Ketiga, “peka konteks” membantu mencipta dan membentuk kategori baru sehingga menghasilkan pemahaman baru. Dalam pelajaran sains, mereka tidak hanya belajar teori perubahan iklim, tetapi juga menganalisis data lingkungan dan menyusun solusi untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim daerahnya.
Pembelajar bukan hanya pemecah masalah yang andal, melainkan juga peduli, reflektif, dan siap menghadapi tantangan.
Pembelajaran bermakna (meaningful learning) merupakan proses belajar yang menekankan relevansi dan dampak pada kehidupan peserta didik serta masyarakat. Dengan orientasi-tujuan, peserta didik memahami mengapa mereka belajar suatu materi dan bagaimana memanfaatkan untuk kehidupan mereka.
Di pelajaran matematika, mereka menerapkan konsep statistik untuk menganalisis tren konsumsi energi di sekolah, lalu mengusulkan solusi hemat energi. Di pelajaran bahasa, mereka membuat cerita digital yang mengangkat isu kesetaraan jender untuk advokasi sosial. Jadi teknologi berperan sebagai technology-enhanced learning, memperluas akses ke informasi dan membantu eksplorasi pembelajaran lebih mendalam (Kirkwood & Price, 2014).
Pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning) terwujud ketika peserta didik merasa gembira dan tumbuh rasa ingin tahu (Caine & Caine, 1991). Deep learning memberikan kepuasan, kegembiraan, dan motivasi karena pencapaian atau dapat memecahkan masalah. Dalam pelajaran sains, mereka membuat roket air untuk belajar tentang tekanan dan gaya dorong.
Kreativitas tumbuh karena suasana kelas dirancang agar memberikan rasa nyaman dan dihargai sehingga mudah kolaborasi dan menciptakan iklim kebebasan. Dalam kebebasan, ”imajinasi mendahului kehendak”, lalu kreativitas merekah (Ricoeur, 1986). Pembelajaran menyenangkan bisa dikemas dengan role-play, game-based learning, storytelling, atau exploratory learning. Melalui kemasan AI, pilihannya Edpuzzle, ClassDojo, Nearpod, atau Minecraft Education Edition.
Instrumen “deep learning”
Deep learning melibatkan pembelajaran berbasis proyek. Peserta didik belajar melalui proyek-proyek yang terkait realitas yang bermakna secara pribadi (Larmer et al, 2015). Pembelajaran berbasis proyek efektif dengan empat model pemecahan masalah: logika abduksi, lima langkah memecahkan masalah, berpikir komputasional, dan design thinking.
Logika abduksi adalah penalaran untuk menemukan hipotesis pemecahan masalah yang terbaik dari serangkaian pengamatan atau fakta. Logika ini melibatkan proses pembuatan dan evaluasi hipotesis berdasar konsistensi penjelasan dari bukti (Douven, 2021).
Karena terbuka terhadap berbagai hipotesis, abduksi mendorong peserta didik kreatif. Mereka akan berani mengusulkan beragam gagasan dan penjelasan alternatif, berbeda dari logika induksi yang hanya mengarahkan ke satu kebenaran.
Dengan abduksi, peserta didik belajar menganalisis fakta, mengajukan hipotesis yang masuk akal, dan melatih kemampuan menyusun argumen. Karena abduksi tak selalu memberi jawaban pasti, pembelajar disiapkan menghadapi dunia nyata yang penuh ketidakpastian.
Lima langkah memecahkan masalah meliputi: (i) merumuskan masalah secara spesifik; (ii) mengamati data untuk seleksi informasi yang relevan; (iii) mengusulkan kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah; (iv) memberikan penalaran dan evaluasi atas pilihan pemecahan masalah dan konsekuensinya; (v) menerapkan, menguji dan menindaklanjuti pemecahan masalah (Moon, 2004; Dewey, 1933).
Mereka dilatih merumuskan masalah secara tajam, mengusulkan pemecahan kreatif tetapi realistis, serta membiasakan bersikap reflektif.
Berpikir komputasional adalah metode pembelajaran untuk memecahkan masalah yang kompleks menjadi bagian-bagian lebih kecil agar mudah diselesaikan dengan algoritma. Model ini membantu memberikan solusi kreatif serta menumbuhkan penalaran logis, pemecahan masalah sistematis, dan desain algoritma (Barr et al., 2011).
Ada lima komponennya (Barr et al. 2011): (i) dekomposisi: memecah data, proses atau masalah yang kompleks menjadi bagian-bagian lebih sederhana; (ii) mengenali pola: mengamati pola, tren, dan keteraturan data agar persoalannya terpetakan; (iii) abstraksi: merumuskan masalah hanya fokus pada masalah utama dengan mengurangi informasi-informasi yang tidak diperlukan.
Kemudian; (iv) mendesain algoritma atau petunjuk langkah-langkah memecahkan masalah (urutan tindakan ke solusi); (v) evaluasi: memastikan solusi tepat dengan menguji efisiensi dan efektivitasnya.
Berpikir komputasional mengasah cara berpikir sistematis dan terstruktur berkat latihan mengurai masalah besar jadi bagian-bagian kecil. Dengan membuat algoritma, peserta didik dibantu mengembangkan kemampuan berpikir logis dan kritis.
Kegagalan itu berharga. Melalui proses interatif, kegagalan di zona aman dapat dibingkai ulang menjadi bagian proses penyempurnaan solusi. Lalu daya tahan pembelajar meningkat ketika menghadapi masalah kompleks. Berpikir komputasional ini membentuk pola-pikir problem-solver sejati.
Design thinking adalah proses membuat rancangan tindakan untuk memperbaiki situasi dengan sintesa ”peka konteks” dan empati. Penalaran ini membutuhkan pemikiran analitis dan kreatif. Prioritasnya, empati terhadap pemangku kepentingan. Pola pikir terbuka terhadap beragam gagasan. Masalah didefinisikan, diteliti, dan dianalisis (Pressman 2019).
Lima langkah design thinking (Ambrose & Harris, 2010): (i) menumbuhkan empati dan mengumpulkan informasi; (ii) menganalisis dan mendefinisikan masalah; (iii) mencipta gagasan baru (ideate) untuk memberi solusi; (iv) membuat sintesis dengan membuat prototipe untuk diimplementasikan; (v) evaluasi kritis untuk peningkatan produk atau solusi.
Design thinking melatih peserta didik menumbuhkan empati dan kepedulian sosial dengan melihat masalah dari perspektif orang yang terdampak. Empati mendorong kreativitas karena pada tahap ideate dan prototipe, mereka harus berpikir di luar kebiasaan, dan dituntut komitmen mengupayakan berbagai alternatif.
Berkat kerja kelompok, pembelajaran ini meningkatkan keterampilan kolaborasi. Rasa percaya diri tumbuh karena mereka harus menguji sendiri pemecahannya sehingga merasa punya kendali dan kontribusi. Pembelajaran ini membangun growth mindset (Dweck, 2016): terus berusaha menerima umpan balik, dan tidak takut terhadap tantangan atau kegagalan.
Pola pikir guru harus berubah
Dalam deep learning, peserta didik menjadi pusat pembelajaran. Maka pola pikir guru harus berubah. Guru harus reflektif dan adaptif, terbuka terhadap perubahan dan selalu memperbaiki metode pembelajaran agar efektif. Teori harus diterapkan. Pembelajar memecahkan masalah nyata, bekerja sama dalam tim, dan menghasilkan produk atau solusi.
Pendidik menempatkan diri sebagai narasumber terbatas (Jukes & Schaaf, 2019): membantu menempatkan pengetahuan dalam konteksnya dengan melontarkan problematika untuk diolah, diseleksi, dikritisi atau ditolak. Pembelajar dapat mengusulkan materi alternatif.
Pendidik mengajak fokus pada penyelidikan sendiri, selalu bertanya, menguji, kritis, dan merelatifkan pendapat. Maka, guru harus memberikan informasi soal tujuan kegiatan, sarana, metode, tugas, keterlibatan, indikator pencapaian, dan evaluasi.
Proses belajar diprioritaskan daripada hasil akhir (nilai ujian), maka guru diajak membuat evaluasi formatif (Ornstein & Hunkins, 2013). Karena melibatkan pembuatan portofolio dan pendampingan refleksi diri pembelajar, evaluasi formatif menyita lebih banyak waktu daripada sumatif. Namun, penting demi pertumbuhan dan pemahaman peserta didik.
Guru memfasilitasi kerja kelompok dan pribadi untuk memastikan efisiensi dalam menggunakan waktu, fasilitas, teknologi, dan interaksi agar memenuhi tujuan penelitian. Guru mengajukan pertanyaan kritis, dan mendorong eksplorasi, bukan memberikan jawaban langsung (Jukes & Schaaf, 2019).
Bagi sekolah-sekolah yang sudah memberikan pelatihan keempat model pemecahan masalah itu kepada guru-guru, pendekatan deep learning tidak akan menimbulkan kesulitan.
Haryatmoko,
Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP, Anggota Komisi Kebudayaan dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).
Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas, 01 Mei 2025