SEMINAR NASIONAL DARING: Scientist dan Lapangan Kerjanya di Indonesia - 23 Agustus 2023

20 August 2023 | 2470 hits
Perlukah_Scientist_23082023_KIS.jpg

Siaran Pers AIPI

Jakarta, 20 Agustus 2023. Perlukah Indonesia Memiliki Scientist Ketika Tempat Kerja Belum Terbangun? Sebuah judul webinar nasional yang bernada profokatif; sama halnya dengan mempertanyakan mana duluan antara punya scientiest atau ilmuwan dan menyiapkan lapangan kerja buat mereka dahulu di Indonesia. Pendek kata menyoal mana duluan antara ayam dan telur?

Untuk memperbincangkan hal itu, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) akan menyelenggarakan Seminar Nasional daring bertajuk, “Perlukah Indonesia Memiliki Scientist Ketika Tempat Kerja Belum Terbangun?”, pada Rabu, 23 Agustus 2023 pukul 13.00-16.00 WIB. Seminar ini dapat juga diikuti melalui aplikasi Zoom dengan tautan https://s.id/Scientiest  dan disiarkan pula melalui kanal YouTube https://s.id/YTScienties . Seminar terbuka untuk perumus kebijakan pendidikan, tenaga kerja, kalangan cerdik cendekia, ilmuwan, peneliti, dosen, para mahasiswa, LSM dan peserta umum lainnya. Bagi peserta yang mengikuti hingga akhir seminar, disediakan e-sertifikat secara gratis.

Seminar yang dihelat Komisi Ilmu Sosial AIPI ini menghadirkan narasumber yang kompeten yaitu: 1) Prof. Dr. Satryo Soemantri Brodjonegoro, Ketua AIPI 2018-2023, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi pada tahun 1999-2007, akan membahas tema Strategi Keluar Dari Jebakan Pendapatan Menengah”; 2) Dr. Diahhadi Setyonaluri, Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), akan mendiskusikan judul paparan “Gender Segregation in Stem Education And The Labor Market; 3) Gita Irawan Wirjawan, MBA, wirausahawan, investor, pemusik, produser, politikus, dan negarawan, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal 2009-2012 dan Menteri Perdagangan Republik Indonesia 2011-2014, akan membawakan pemikirannya berjudul “Brain Drain: Kekhawatiran Yang Salah Parkir?”; 4) Prof. Dr. Ismunandar, anggota AIPI, Guru besar ITB, dan Duta Besar/Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO, Paris, akan menyampaikan paparan bertemaSains dan Pendidikan Tinggi untuk Kemanusiaan”; dan 5) Dr. Fitra Faisal, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Direktur Eksekutif Next Policy, mengemukakan pemikirannya tentang “Mainstreaming The Globotics Upheavals Through Innovative Education.”

Rangkaian acara Seminar Nasional Daring ini akan dipandu oleh moderator Prof. Dr. Mayling Oey-Gardiner, Ketua Anggota Komisi Ilmu Sosial AIPI yang juga Guru Besar (Emeritus) bidang demografi FEB, UI. Acara seminar daring ini akan diawali dengan Sambutan Pembuka oleh Ketua AIPI, Prof. Dr. Daniel Murdiyarso. Sedangkan Sambutan Penutup akan disampaikan oleh Prof. Syarif Hidayat, Anggota Komisi Ilmu Sosial AIPI, yang juga profesor riset BRIN.

Seminar ini sangat diharapkan dapat memberikan pemikiran membangun permintaan tenaga Scientist atau Ilmuwan yang berkiprah dibidang ilmunya, menghasilkan invensi dan inovasi membangun industri domestik Indonesia sebagai penggerak perekonomian masa depan yang makin ditentukan oleh kekuatan teknologi. Luaran seminar akan disarikan ke dalam bentuk policy brief yang akan dikirimkan ke semua pemangku kepentingan yang relevan dan didiseminasikan ke masyarakat ilmiah dan masyarakat umum.

Tema perdebatan ini mengemuka setelah diungkapnya sinyalemen banyaknya scienties lulusan luar negeri memilih menjadi warga negara Singapura tiap tahunnya. Belum lagi di negara-negara maju lainnya. “Kita harus bersaing berebut orang-orang hebat dan pintar,” ujar Silmy Karim pejabat Dirjen Imigrasi Kemenhukham yang baru dilantik Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, 4 Januari 2023 lalu.

Tak kurang itu presiden Jokowi, pada acara LPDP Fest di Kota Kasablanka, Kamis 3 Agustus 2023 lalu, meminta kepada seluruh penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) untuk segera kembali ke tanah air segera setelah menyelesaikan studinya di universitas-universitas luar negeri. “Saya titip, pulang, pulang, pulang,” begitu presiden berpesan dengan  mengulang kata “pulang” hingga tiga kali.

Presiden meminta penerima beasiswa LPDP untuk berkarya di Indonesia meski gaji di Indonesia lebih rendah dengan fasilitas yang lebih rendah dibandingkan di luar negeri. Jangan mengendapkan ilmunya untuk diri sendiri.

Namun di berbagai kalangan cendekiawan berkembang pendapat berbeda. Mereka umumnya mendukung para ilmuwan “jebolan” universitas tidak segera pulang ke tanah air. Umumnya mereka mengkhawatirkan karier para ilmuwan itu tidak akan berkembangnya di tanah air lantaran ekosistem riset di dalam negeri terbilang masih labil.

 “Kasihan, mereka (ilmuwan) tidak akan berkembang, karena lingkungan riset tidak menunjang,” ujar Satryo Soemantri Brodjonegoro, Ketua AIPI 2018-2023, di sebuah media nasional. Ia melanjutkan mengungkapkan bahwa pandangan universal dunia riset sebagai lapangan kerja profesi para ilmuwan, semestinya membuat kapasitas kelembagaan semakin kuat sehingga mampu memberdayakan para periset/ilmuwan untuk mencapai pemutakhiran keilmuannya, menaiki tangga intelektualitas atau kecendekiawanan. Profesi riset bukan kerja rutin. Mereka pencari ilmu baru yang belum diketahui.

Banyak kalangan cendekia lain, doktor lulusan universitas luar negeri, menyarankan para mahasiswa lulusan S3 luar negeri tidak perlu buru-buru pulang ke tanah air. Umumnya mereka menyarankan selepas S3 memperkuat praktik bekerja di dunia keilmuannya dengan mengikuti post-doc, di luar negeri, misalnya. Menimba dan memperkaya pengalaman di dunia kerja di luar negeri. Kalau toh berkarier di luar negeri yang iklimnya dirasa lebih memungkinkan berkembang, tidak akan menghilangkan nasionalisme ke”Indonesiaan”nya. Banyak contoh, salah satunya pemenang nobel fisika 1979 Abdus Salam, meski berkarir di Inggris, tetapi keharuman nama Abdus Salam yang berasal dari Pakistan tidak terhapuskan.

Persyaratan untuk menjadikan Scientiest atau ilmuwan memerlukan investasi besar dan jangka panjang. Indikator jumlah ilmuwan dalam persen menunjukkan tingkat perhatian negara terhadap pembangunan ilmu pengetahuan untuk pembangunan bangsa. Data dari Bank Dunia 2019 menggambarkan persen penduduk berusia lebih 25 tahun bergelar doktor, di ASEAN, menyajikan Malaysia mencapai nilai tertinggi dengan 0,3%  penduduknya bergelar doktor. Brunei Darussalam menempati posisi kedua dengan 0,2% penduduk berusia lebih dari 25 tahun berpendidikan doktor. Disusul oleh Cambodia, Philippina, Thailand dan Viet Nam dengan 0,1% penduduk berusia lebih dari 25 tahun berpendikan doktor. Sedangkan Indonesia masih jauh berada pada posisi 0,0 %, dan data dari Sakernas 2019 menunjukkan Indonesia baru mencapai 0,04% lulusan doktor dari penduduk berusia +25 tahun. Fakta ini semestinya menjadikan kerisauan kita bersama, dan terutama bagi penentu kebijakan, akan gambaran daya saing kita di tataran ASEAN. 

 

Website         :  aipi.or.id  
Instagram     :  aipi_Indonesia
Tweeter         :  AIPI_id
Youtube         : AIPI_Indonesia

 

Penulis berita:
Sigit Asmara Santa
Biro Adm. Ilmu Pengetahuan AIPI.

Hak Cipta © 2014 - 2024 AIPI. Dilindungi Undang-Undang