Yogyakarta dan Istanbul (Kado 70 Tahun Prof Dr HM Amin Abdullah)

26 August 2023 | 3766 hits
MI26082023.jpg

TAHUN 2006 pertama kali saya menginjakkan kaki di Yogyakarta. Kota itu menjadi magnet bagi mereka yang haus akan ilmu pengetahuan. Yogyakarta juga semakin istimewa dengan kekayaan budaya, keindahan alam, dan (terutama) keramahtamahan masyarakatnya. Apalagi, pada 2006-2010-an saat saya menempuh S-1, saat Yogyakarta belum banyak terkontaminasi dengan kaum 'borjuis', tetapi dipenuhi dengan kaum warung 'burjo' dan intelektual.  

Yogyakarta

Saya diterima di kampus perjuangan UIN Sunan Kalijaga, Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi, melalui jalur bibit unggul (BU) atau menggunakan rapor. Saat itu, yang menjadi rektor ialah Prof Dr HM Amin Abdullah. Inilah pertama kali saya mendengar nama beliau. Dalam forum diskusi kami para mahasiswa, nama Prof Amin, begitu kami akrab memanggil beliau, menjadi salah satu nama yang sering di-mention. Banyak yang mengidolakan kedalaman ilmu dan sepak terjangnya.

Pemikirannya yang genuine agar kita bisa membedakan antara 'Islam' dan 'pemikiran keislaman', ilmu yang borderless, serta integrasi dan interkoneksi menjadi ciri khas khazanah pemikirannya yang menyebar menjadi topik perbincangan para mahasiswa di seluruh Indonesia, terutama mahasiswa UIN/IAIN/STAIN baik di warung kopi, angkringan, kelas, maupun di seminar.

 Dalam satu kesempatan saat masih mahasiswa, saya pernah mengikuti acara dengan beliau menjadi keynote speaker. Setelah menyimak materi yang disampaikan, saya semakin mengagumi pemikiran, gaya menyampaikan, dan humor-humor berkelasnya. Bagi saya, Prof Amin ialah filsuf, ilmuwan, pakar hermeneutika, dan cendekiawan muslim.

Konsep integrasi-interkoneksi keilmuan yang pada waktu itu membuka mata kami bahwa keilmuan itu tidak linear dan terkotak-kotak. Dunia sains, sosial, dan humaniora sangat bisa diintegrasikan. Tidak berhenti di teori, Prof Amin mengimplementasikan pemikirannya dengan menjadi bagian kunci dalam mengawal transformasi IAIN menjadi UIN Sunan Kalijaga serta membuka fakultas baru, yaitu Fakultas Sains dan Teknologi.

Prof Amin lahir di Pati, Jawa Tengah, 28 Juli 1953, menempuh pendidikan di Pesantren Gontor, menyelesaikan sarjana pendidikan agama (SPA) di IAIN Sunan Kalijaga, S-2 dan S-3 di Middle East Technical University (METU) Ankara, Turki, dengan disertasi berjudul The Idea of Universality of Ethical Norms in Ghazali and Kant, lalu mendapatkan postdoctoral fellowship di McGill University Kanada.  

Integrasi-interkoneksi dan tantangan zaman

Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, Indonesia memiliki peran dan tanggung jawab dalam menampilkan wajah Islam yang rahmatan lil alamin. Tidak hanya untuk menjaga toleransi di Indonesia itu sendiri, tetapi lebih jauh Indonesia juga harus menjadi kiblat ketika dunia ingin melihat nilai ajaran Islam karena jika kita lihat, negara Timur Tengah yang selama ini dianggap basis dan tempat lahirnya Islam tidak mampu mempresentasikan nilai luhur keislaman mereka itu sendiri.

Dalam satu kesempatan Prof Amin pernah menyampaikan, “Agama harusnya membahagiakan. Jika agama tidak membahagiakan, kemungkinan ada sesuatu yang salah dalam kita beragama. Saat ini agama terasa tidak membahagiakan.” Ajaran Islam dipahami hanya secara tekstual, monoton, dan eksklusif yang berakibat pada kejumudan berpikir. Itu salah satu faktor utama mengapa negara Islam dan berpenduduk mayoritas muslim mengalami stagnasi, bahkan tertinggal.

 Nah, pemikiran Prof Amin berupa integrasi-interkoneksi keilmuan yang kemudian beliau kembangkan lebih tinggi menjadi multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin. Menjadi corak hubungan antara disiplin ilmu keagamaan dan disiplin ilmu alam, sosial, dan humaniora di era modern dan pascamodern ialah saling menembus (semipermeable), keterujian intersubjektif (intersubjective testability), dan imajinasi kreatif (creative imagination).

Pemikiran tersebut beliau tuangkan ke dalam buku berjudul Multidisiplin, Interdisiplin, dan Transdisiplin: Metode Studi Agama & Studi Islam di Era Kontemporer (IB Pustaka, 2020). Merupakan 'jalan kedua' dari paradigma integrasi-interkoneksi keilmuan. Buku itu memberikan 'world view keagamaan (Islam) yang baru' sebagai bekal menghadapi era perubahan sosial yang cepat.

Sebuah budaya berpikir baru yang secara mandiri mampu mendialogkan sisi subjektif, objektif, dan intersubjektif dari kelimuan dan keberagamaan menjadi niscaya dalam kehidupan multireligi-multikultural, dan terlebih di era multikritis yang melibatkan sains, kesehatan, sosial, budaya, agama, politik, dan ekonomi sebagai akibat dari pandemi Covid-19.

Prof Amin termasuk satu dari sebagian kecil pemikir besar yang, meskipun diamanahkan banyak jabatan, tetap produktif menulis. Banyak karya baik buku maupun artikel jurnal yang kini menjadi rujukan utama terutama dalam bidang filsafat Islam. Beberapa posisi sentral pernah beliau emban, di antaranya Direktur Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Rektor UIN Sunan Kalijaga selama dua periode (2002-2010), Staf Ahli Menteri Agama Bidang Pendidikan (2012-2015), anggota Majelis Pendidikan Kemenristek-Dikti (2016-2020), serta Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2000-2005). Saat ini, ia masih dimanahkan sebagai Ketua Komisi Kebudayaan AIPI, anggota Parampara Praja Gubernur DIY, dan anggota Dewan Pengarah BPIP RI.

Jihad pendidikan dengan jalur mengajar di kampus dan menulis menjadi pilihan hidupnya. Kampus menjadi lokomotif utama dalam mendidik kader masa depan bangsa. Beruntung sekali mereka yang pernah diampu secara langsung oleh Prof Amin. Setelah lulus dari UIN mereka kembali ke kampung halaman dan menyebar ke pelosok negeri.

 Integrasi-interkoneksi keilmuan membuka nalar bahwa beragama itu tidak hanya tentang halal-haram dan kehidupan juga tidak hanya hitam-putih dan benar-salah. Lebih jauh bagi alumnus saintek seperti saya, memberikan pemahaman bahwa dimensi keilmuan sains, teknologi, sosial, dan humaniora itu saling membutuhkan dan memiliki kaitan erat satu sama lain seperti jaring laba-laba. Tentu bukan berarti tidak memiliki spesialiasasi, melainkan memiliki spesialisasi dengan tambahan multipengetahuan.

Keunikan yang khas dari Prof Amin, selain pemikirannya yang genuine dan melampaui zamannya, ialah cara penyampaian yang lugas dengan artikulasi yang khas dan pembawaan yang karismatik. Banyak yang terpukau ketika beliau di atas podium. Juga faktor Yogyakarta sebagai 'pilihan kawasan' menjadikan pemikiran Prof Amin autentik terhindar dari 'polusi ibu kota' yang penuh dengan intrik politik.

Setelah lulus S-1 pada 2010 dari Fakultas Saintek UIN Yogyakarta, saya termasuk salah satu yang memanen buah dari konsep integrasi-interkoneksi Prof Amin. Sebagai alumnus saintek yang belajar ilmu eksakta di UIN yang notabenenya kampus Islam, awalnya saya gamang.

Timbul pertanyaan dalam diri, apakah bisa saya melanjutkan sekolah lebih tinggi? Apakah bisa saya bersaing di dunia kerja dan yang paling penting apakah bisa saya memanfaatkan ilmu yang dipelajari?

Jawaban itu terjawab ketika saya melanjutkan studi master ke Marmara University Istanbul, Turki, dan Technische Universitat Braunschweig, Jerman, serta doktoral di Southwest University, Tiongkok. Termasuk saat meniti karier hingga hari ini di Jakarta. Secara praktis saya menyimpulkan bahwa alumnus UIN memiliki kesempatan yang sama dengan alumnus kampus lain, bahkan jika mau berjuang lebih, kesempatannya bisa lebih besar.  

Istanbul

Harapan ialah doa. Saya mendapat wasilah dengan meneladani sang guru. Pada 2012 saya mendapatkan kesempatan untuk belajar ke negeri tempat Prof Amin menempuh master. Saat berkunjung ke kediaman, saya merasa terhormat sebagai mahasiswa yang baru lulus S-1 dan beliau merupakan mantan rektor dua periode yang sangat berprestasi dan dikagumi, bahkan salah satu gedung (gedung multi-purpose) di UIN Sunan Kalijaga diberi nama Gedung Prof Dr HM Amin Abdullah. Sesampainya di kediaman, saya disambut hangat Prof Amin dan dikenalkan kepada keluarga beliau yang sangat ramah. Setelah meminta saran, doa, dan petuah beliau, saya pamit dengan membawa spirit nawaitu belajar dengan serius ke Turki.

Lama tidak terhubung, pada 2014 Prof Amin ada acara ke Turki (Ankara dan Istanbul) bersama rombongan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Ada Prof Toeti H Rooseno (almarhum) dan Prof Musdah Mulia. AIPI sedang studi banding dan melakukan kerja sama akademik dan kebudayaan dengan kampus-kampus di Turki, salah satunya dengan Fakultas Ilahiyat Marmara University Istanbul Turki. Saya ikut mendampingi saat bertemu dengan Dekan Fakultas Ilahiyat Prof Dr Ali Kose beserta jajarannya.

Selepas studi banding, saya mengajak Prof Amin dan rombongan berkeliling ke beberapa tempat wisata seperti Blue Mosque dan Grand Bazar dan naik feri vapur melewati Selat Bosphorus yang indah. Saya sangat ingat momen itu. Momen saya mendengarkan ilmu dan pesan bijak bestari dari para guru. Bahkan, tepat di hari ulang tahunku 16 Juni 2014, Prof Toeti mempersembahkan petikan piano spesial untuk saya. Itu berkat bisikan Prof Amin ke beliau bahwa hari itu ialah hari ulang tahunku.

Terakhir saya bertemu dengan beliau sebelum pandemi, tepatnya 2020. Di lobi salah satu hotel di Jakarta, saya kembali mendengar nasihat-nasihat beliau dan diskusi seputar perkembangan diskursus masyarakat saat ini, fenomena global, dan peran milenial. Prof Amin yang saya temui terakhir (2020) rasanya masih sama dengan Prof Amin yang saya temui pertama kali pada 2006. Mungkin hanya warna rambutnya yang berbeda, kata beliau sambil guyon, "Aku wes tuo dan rambutku wes putih," kemudian kami sama-sama tertawa. Beliau sosok yang cerdas, karismatik, dan ktitis, tetapi tetap mau mendengarkan pendapat orang lain meskipun itu dari mahasiswanya seperti saya al fakir ini.

Saya rasa tidak berlebihan dengan membaca tumpukan karya pemikiran, sepak terjang, dan testimoni para tokoh, bahwa selain disebut filsuf, ilmuwan, pakar hermeneutika, dan cendekiawan muslim, Prof Amin pantas disemati status sebagai guru bangsa. Selamat ulang tahun yang ke-70 Prof Dr HM Amin Abdullah. Semoga senantiasa sehat dan menjadi figur teladan!

Tulisan ini merupakan bagian dari buku 70 Tahun M. Amin Abdullah Pemikir, Guru, dan Pemimpin, Laksbang Akademika, Yogyakarta (2023).

Budy Sugandi,
Ketua Umum Indonesian Council of Youth Development (ICYD), Wakil Rois Syuriah PCINU Tiongkok, menyelesaikan PhD dari Southwest University, Tiongkok

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Harian Media Indonesia 26 Agustus 2023

Hak Cipta © 2014 - 2024 AIPI. Dilindungi Undang-Undang