Pandangan

no image

Kepemimpinan Perguruan Tinggi

Oleh : Satryo S. Brodjonegoro
Unduh PDF Baca PDF


Minimnya otonomi PT dan dominannya peran pemerintah memberi kesan bahwa seluruh PT Indonesia dikepalai dan dijalankan oleh kementrian yang membidangi pendidikan melalui berbagai peraturan tingkat menteri maupun dirjen.

 “The Toughest Job in the Nation". Ungkapan ini menggambarkan betapa sulitnya memimpin perguruan tinggi. Dan kalimat itu diungkapkan oleh Chancellor University of Texas, William McRaven.

Padahal, kaliber kepemimpinan William McRaven sebagai panglima angkatan laut Amerika Serikat , sebelum menjadi Rektor Universitas Texas, sangat mumpuni. Tidak dapat dipungkiri bahwa memimpin perguruan tinggi adalah tugas yang sangat kompleks sehingga memerlukan kecakapan tersendiri, tidak sekedar memberi perintah tetapi harus mampu menumbuhkan penghargaan.

Berbeda dengan William McRaven, Rektor Universitas Simon Fraser Canada Michael Stevenson menyatakan bahwa perguruan tinggi adalah institusi yang paling inovatif, lebih inovatif daripada pemerintah maupun korporasi, karena perguruan tinggi memiliki otonomi. Universitas Texas adalah institusi yang otonom seperti layaknya seluruh perguruan tinggi di dunia, terkecuali di Indonesia, namun gaya kepemimpinan komando William MacRaven tidak cocok untuk institusi yang otonom makanya muncul ungkapan di awal tulisan ini.

Mengawali otonomi

Belajar dari pengalaman ke dua rektor universitas ternama dunia tersebut , maka sudah seharusnya perguruan tinggi Indonesia juga memiliki otonomi sehingga dapat sejajar dengan perguruan tinggi di dunia. Upaya mengotonomikan perguruan tinggi Indonesia telah dimulai sejak tahun 2000 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum. Sebagai badan hukum maka perguruan tinggi mempunyai otonomi dalam hal tatakelola, pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan, serta melakukan tindakan hukum.

Sebelum ditetapkan sebagai badan hukum, perguruan tinggi negeri merupakan perangkat struktural kementrian yang membidangi pendidikan dan perguruan tinggi swasta merupakan perangkat atau unit usaha yayasan. Untuk mengukuhkan keberadaan badan hukum perguruan tinggi, diperlukan adanya undang undang karena peraturan pemerintah tidak cukup kuat sebagai landasan pendirian badan hukum.

Setelah diperjuangkan selama beberapa tahun akhirnya Undang Undang nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) disahkan Dewan Perwakilan Rakyat. Undang undang tersebut merupakan tonggak sejarah dimulainya independensi atau otonomi perguruan tinggi Indonesia, yang merupakan awal kebangkitan perguruan tinggi Indonesia supaya berwibawa.

Hambatan otonomi

Untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi ternyata tidak cukup hanya dengan undang undang, harus disertai juga kemauan politik pemerintah. Kultur birokrasi pemerintah dan kultur kepemimpinan institutional kita masih belum terbiasa dengan pola otonomi, artinya belum tebiasa mendelegasikan kewenangan dan kekuasaan kepada pemangku kepentingan, belum mau memberikan kebebasan atau ruang gerak yang signifikan, khawatir bahwa akan terjadi banyak pelanggaran dan penyalahgunaan apabila diberikan kewenangan, dan lainnya. Prinsipnya terjadi kecurigaan antara pemerintah dengan pemangku kepentingan sehingga semua keputusan dan kebijakan harus diproses secara sentralistik oleh pemerintah.

Keberadaan UU BHP yang kental dengan nuansa otonomi ternyata belum dapat diterima sepenuhnya oleh pemerintah maupun masyarakat, terbukti dengan adanya upaya gugatan ke Mahkamah Konstitusi oleh kelompok masyarakat. Akibat gugatan kelompok masyarakat dan karena pemerintah kurang gigih mempertahankan undang undang tersebut maka pada April 2010 Mahkamah Konstitusi memenuhi permintaan penggugat dengan membatalkan UU BHP.

Putusan Mahkamah Konstitusi tesebut dikategorikan sebagai ultra petitum karena putusannya melebihi gugatan. Penggugat mengusulkan penghapusan beberapa pasal sedangkan Mahkamah Konstitusi justru membatalkan seluruh isi undang undang. Hal ini menunjukkan bahwa memang ada upaya agar UU BHP dibatalkan supaya tidak mengganggu zona nyaman lingkaran kekuasaan yang tidak pro otonomi perguruan tinggi.

Hanya dalam waktu 1 tahun upaya untuk mengotonomkan PT Indonesia gagal sehingga 7 PT yang pada saat itu berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yaitu ITB, UI, IPB, UGM, Unair, USU, dan UPI harus diubah menjadi Badan Layanan Umum (BLU), artinya terjadi kemunduran dan tidak otonom lagi. Upaya pemulihan otonomi PT dilakukan melalui pembentukan Undang Undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU PT) yang memberikan status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-bh) bagi mereka yang memenuhi syarat. Pada kenyataannya otonomi PTN-bh tidak sebesar BHMN karena peran pemerintah masih dominan.

Dominasi kekuasan

Minimnya otonomi PT dan dominannya peran pemerintah memberi kesan bahwa seluruh PT Indonesia dikepalai dan dijalankan oleh kementrian yang membidangi pendidikan melalui berbagai peraturan tingkat menteri maupun direktur jendral. Akibatnya ruang gerak inovasi, yang menjadi kunci kemajuan PT, nyaris tidak ada karena semua diatur dan ditetapkan oleh kementrian.

Regulasi pemerintah terkait PT sangat banyak dan kaku sehingga PT tidak dapat berkembang karena para akademisi sudah dipasung sedemikian rupa sehingga tidak punya kebebasan akademik yang justru menjadi ruhnya PT. Sebagai contoh PP nomor 4 tahun 2022 tentang Perubahan atas PP nomor 57 tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 51A ayat (2) menyatakan bahwa Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri. Hal ini tidak lazim karena seharusnya akreditasi dilaksanakan oleh lembaga independen di luar pemerintah dan yang bertanggung jawab kepada masyarakat.

Contoh berikutnya PP nomor 75 tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia menggantikan statuta terdahulu PP nomor 68 tahun 2013. Ternyata isi PP nomor 75 tersebut sangat bertentangan dengan RPP Statuta UI yang telah disepakati pada tanggal 26 Juni 2020 oleh 4 organ UI yang terdiri atas Majelis Wali Amanat, Senat Akademik, Rektor, dan Dewan Guru Besar. Statuta adalah nyawa perguruan tinggi sehingga penetapannya harus bottom-up sesuai hakekat otonomi independensi perguruan tinggi dan bukan top-down.

Satu contoh lagi yang substansinya agak berbeda tetapi kental sekali kewenangan dan kekuasaan pemerintah sehingga para ilmuwan dan peneliti tidak memiliki lagi kebebasan akademik, yaitu Peraturan Presiden nomor 33 tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Pasal 4 Peraturan Presiden tersebut mencantumkan fungsi BRIN yang terdiri atas 12 butir yang disusun sedemikian rupa sehingga seluruh fungsi yang terkait dengan riset dan inovasi dilakukan hanya oleh BRIN. Tindakan pertama BRIN segera setelah dibentuk adalah meleburkan dan memaksa lebur sejumlah lembaga riset beserta personilnya. Hal ini jelas bertentangan dengan hakekat otonomi.

Contoh di atas hanya sebagian kecil dari sekian banyak regulasi yang memasung kebebasan akademik PT, itu sebabnya PT Indonesia kurang berwibawa baik di tingkat nasional apalagi internasional. Padahal potensi para akademisi, ilmuwan, dan peneliti kita sangat luar biasa, tidak kalah bahkan lebih baik dibandingkan dengan rekan sejawat internasionalnya. Secara individu potensi dan prestasi kita sejajar dengan internasional akan tetapi secara kelembagaan terpuruk karena ekosistem yang tidak mampu menciptakan iklim akademik dan ilmiah yang kondusif.

Jika diibaratkan para akademisi, ilmuwan, dan peneliti sebagai bibit unggul, maka diperlukan lahan yang subur dan proses pemeliharaan yang kontinyu agar supaya tumbuh menjadi insan unggulan. Sebaliknya jika lahannya tandus dan tidak ada pemeliharaan maka bibit unggul tersebut tidak akan tumbuh sama sekali. Tidak ada kata terlambat untuk memajukan PT Indonesia, diawali dengan komitmen para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan untuk selalu menjadi enabler atau pemberdaya bagi masyarakatnya.

Hindarilah penggunaan kekuasaan semata dalam tata kelola pemerintahan dan gunakanlah kearifan seorang pemimpin, karena pada dasarnya pemerintah bukanlah penguasa akan tetapi pemberdaya, pelayan, dan penggembala bagi rakyatnya. Singkat kata berikanlah otonomi dan kepercayaan kepada PT dan lembaga riset untuk berkiprah secara maksimal dan berwibawa sehingga bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia.

 

Satryo Soemantri Brodjonegoro,
Dirjen Dikti (1999-2007); Guru Besar Emeritus ITB; Konsil Kedokteran Indonesia, Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Harian Media Indonesia 29 Januari 2022

 

 

 

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.