Opini

no image

Kebijakan Pertanahan dan Keadilan Sosial

25 September 2024
Oleh : Maria S.W. Sumardjono
Unduh PDF


Seyogianya penuntasan Rencana Aksi Program Reforma Agraria menjadi salah satu program prioritas pemerintahan baru.

Pidato Paus Fransiskus di Istana Negara, 4 September lalu, relevan untuk mempertanyakan kembali sejauh mana kebijakan pertanahan telah menerapkan prinsip keadilan sosial.

”Terlebih, terlepas dari kebijakan-kebijakan yang mengesankan, terdapat juga kurangnya komitmen sejati yang berorientasi ke depan untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Akibatnya, sebagian besar umat manusia terpinggirkan tanpa sarana untuk menjalani hidup yang bermartabat dan tanpa perlindungan dari ketimpangan sosial yang serius dan bertumbuh, yang memicu konflik-konflik yang parah,” demikian ungkap Paus.

UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang terbit 24 September, 64 tahun lalu, meletakkan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 sebagai dasar pembentukannya.

Frasa ”untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”, sebagai perwujudan dari prinsip keadilan sosial itu, melalui Putusan MK No 30/PUU-VIII/2010 dimaknai sebagai manfaat suatu kebijakan bagi masyarakat, yang dirinci menjadi empat hal. Empat hal itu adalah manfaat yang diperoleh masyarakat, pemerataan manfaat tersebut, peran serta masyarakat dalam menentukan manfaat, dan penghormatan pada hak masyarakat yang dipunyai secara turun-temurun.

Sangat ironis. Untuk menarik investasi, penerbitan peraturan tentang jangka waktu hak atas tanah di IKN yang merupakan aturan pelaksana dari UU tentang IKN berjalan lancar.

Sejak berlakunya UU No 11/2020 yang ditegaskan kembali dengan UU No 6/2023 tentang Cipta Kerja (UUCK), kebijakan pertanahan kian menjauh dari prinsip keadilan sosial. UUPA disikapi secara mendua: diadopsi atau disimpangi, disesuaikan dengan kepentingan pemerintah, dengan segala dampaknya.

Pemerintahan baru periode 2024-2029 perlu menentukan kembali arah kebijakan pertanahan sesuai amanat konstitusi mengingat bahwa tanah merupakan kebutuhan dasar manusia dan bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi yang tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun [Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945]. Bukankah ”memegang teguh UUD 1945” diucapkan dalam sumpah/janji pelantikan presiden?

Keadilan sosial dalam pengadaan tanah

Paradigma pembangunan ekonomi dan tolok ukur keberhasilan berdasarkan pembangunan fisik telah menempatkan ketersediaan dan perolehan tanah sebagai fokus kebijakan pengadaan tanah, khususnya bagi pembangunan untuk kepentingan umum berlandaskan UU No 2/2012. Kebijakan itu belum menempatkan masyarakat, termasuk masyarakat hukum adat, sebagai subyek.

Data tentang tanah dan hal-hal yang berkaitan dengan pemilikan tanah lebih diutamakan dibandingkan data tentang kondisi sosial-ekonomi masyarakat terdampak. Ganti kerugian diberikan terhadap kerugian fisik dan diutamakan dalam bentuk uang. Ganti kerugian nonfisik dalam bentuk pemulihan pendapatan masyarakat terdampak belum menjadi perhatian.

Permasalahan sosial-ekonomi yang dialami masyarakat terdampak pascapelepasan hak atas tanahnya bisa dijumpai dalam berbagai pemberitaan dan publikasi hasil penelitian.

Dengan kian maraknya berbagai proyek pembangunan melalui kebijakan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dilandasi Perpres No 42/2021 tentang Kemudahan PSN, dampak positif pembangunan infrastruktur lebih dinikmati oleh pihak di luar masyarakat terdampak yang tanahnya diambil alih untuk proyek pembangunan.

PSN itu memperoleh berbagai kemudahan dan penyediaan tanahnya dapat ditempuh melalui berbagai alternatif. PSN yang dilaksanakan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan/atau badan usaha dalam berbagai kasus menimbulkan dampak negatif terhadap kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat terdampak. Selain itu, memunculkan konflik di implementasinya, yang dalam beberapa kasus berpotensi melanggar HAM.

Paradigma kebijakan pengadaan tanah yang belum memperlakukan manusia sebagai subyek pembangunan perlu diubah dengan menjadikan hak atas pembangunan sebagai paradigmanya.

PSN untuk Rempang Eco City, misalnya, sampai saat ini masih ditentang masyarakat Kampung Tua yang telah turun-temurun tinggal selama 200 tahun di lokasi itu. Demi PSN, mereka direlokasi ke tempat lain tanpa konsultasi publik bermakna dan tanpa perencanaan relokasi yang menjamin kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat.

Masalah pembebasan lahan di IKN seluas 2.086 hektar, yang pada Juni akan diselesaikan melalui skema Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan (PDSK) Plus, pada Agustus melalui Perpres No 75/2024 diselesaikan melalui pemberian ganti kerugian.

Pemerintah menyiapkan dana Rp 140 miliar untuk ganti rugi pembangunan jalan tol, pengendalian banjir Sepaku, dan pembangunan Masjid Negara. Jika dihitung, rata-rata harga tanah sekitar Rp 6.700 per meter persegi.

Belum reda masalah pembebasan tanah di IKN, muncul berita tentang ganti rugi tanah untuk proyek PSN PIK-2 di Provinsi Banten di atas lahan seluas 1.756 hektar. Terlepas dari pemberitaan bahwa dalam pembebasan lahan itu telah dilakukan prapenetapan PIK-2 sebagai PSN, kepada masyarakat terdampak ditawarkan untuk melepaskan tanahnya dengan harga per meter persegi jauh di bawah NJOP yang mereka bayarkan untuk bidang tanah bersangkutan.

Pengurukan bahkan dilakukan di atas lahan yang belum disepakati ganti ruginya. Namun, menurut Ombudsman Perwakilan Banten, warga takut melaporkan kejadian itu (Tempo.co, 31/5/2024).

Paradigma kebijakan pengadaan tanah yang belum memperlakukan manusia sebagai subyek pembangunan perlu diubah dengan menjadikan hak atas pembangunan sebagai paradigmanya. Hak atas pembangunan dideklarasikan melalui Resolusi Majelis Umum PBB No 41/128 tanggal 4 Desember 1986.

Hak atas pembangunan sebagai HAM menyebutkan bahwa setiap orang berhak untuk berpartisipasi, berkontribusi, dan menikmati pembangunan ekonomi, sosial, budaya, dan politik; dan bahwa negara wajib merumuskan kebijakan pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat ataupun orang perseorangan.

Perubahan paradigma ini mendesak untuk dilakukan karena sejalan dengan pemenuhan Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2030, yang menekankan pada pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan.

Instrumen untuk menjamin kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat terdampak pascapengadaan tanah adalah Penilaian Dampak Sosial (Social Impact Assessment/SIA) yang diterapkan dalam setiap tahap pengadaan tanah berdasarkan UU No 2/2012. Ini diberlakukan bagi setiap kegiatan penyediaan tanah yang berdampak terhadap masyarakat.

Hal itu meliputi dampak terhadap ekonomi, demografi, kualitas budaya, jender, kesejahteraan dan keadilan, kelembagaan, HAM, tata kelola dan demokrasi, modal sosial dan individual, dan dampak lain dari aspek kehidupan manusia.

Kelambanan implementasi Perpres RA itu mestinya tidak terjadi jika dipahami bahwa RA merupakan program strategis nasional dan harus dipercepat implementasinya dalam rangka mewujudkan ekonomi berkeadilan.

Pengintegrasian SIA dalam kebijakan pengadaan/penyediaan tanah dilakukan dengan menyusun prediksi dan penilaian dampak serta pengembangan langkah mitigasi sejak tahap perencanaan proyek, dan bukan setelah proyek berjalan.

Tujuan SIA adalah memaksimalkan manfaat dan meminimalkan biaya yang harus ditanggung masyarakat yang terdampak langsung ataupun tak langsung oleh pembangunan itu. Melalui integrasi SIA ke dalam kebijakan penyediaan tanah, tak seorang pun ditinggalkan dalam pembangunan.

Penguasaan tanah dan jangka waktu hak atas tanah

Sampai dengan saat ini, belum diatur pembatasan luas maksimum tanah yang dapat dipunyai badan hukum dengan sesuatu hak atas tanah sesuai amanat Pasal 17 Ayat (1) UUPA. Akibatnya, di satu pihak terdapat penguasaan tanah dalam skala besar oleh badan hukum, sementara di lain pihak upaya memperkecil ketimpangan pemilikan/penguasaan tanah melalui reforma agraria (RA) masih jauh dari harapan.

Tanah obyek reforma agraria (TORA) yang berasal dari nonkawasan hutan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 Ayat (1) Perpres No 62/2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria (Perpres RA), ternyata tumpang tindih dengan aset Badan Bank Tanah (BBT) menurut Pasal 7 PP No 64/2021 tentang Badan Bank Tanah.

TORA yang berasal dari kawasan nonhutan itu meliputi tanah bekas hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai (HP); tanah telantar; tanah timbul; dan tanah bekas tambang.

Hal itu menimbulkan kesan ”persaingan tidak sehat” dalam penetapan obyek redistribusi tanah antara TORA dan tanah negara yang ditetapkan sebagai aset BBT. Redistribusi TORA menjadikan penerima redistribusi sebagai pemegang hak milik (HM).

Sementara dalam redistribusi melalui skema hak pengelolaan (HPL) atas nama BBT, kepada penerima redistribusi diberikan HGB atau HP di atas HPL selama 10 tahun, baru setelah itu diubah menjadi hak milik (Maria Sumardjono, ”Jalan Berputar Reforma Agraria”, Kompas, 8/6/2021).

Pertanyaannya, pertama, sejauh mana alokasi 30 persen aset BBT yang diperuntukkan bagi RA sudah dilaksanakan? Kedua, berapa persen redistribusi tanah yang sudah dilengkapi dengan penataan akses/pemberdayaan ekonomi subyek RA?

Implementasi Perpres RA terkait penyelesaian konflik agraria di atas aset tanah BUMN juga belum menunjukkan hasilnya. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan, pada 4 Juni 2024 terjadi tindak kekerasan ketika petani Forum Tani Sejahtera Indonesia (Futasi) menuntut kembali tanahnya yang berada di atas lahan eks PTPN IV di Kelurahan Gurilla.

Hampir setahun setelah Perpres RA terbit, belum juga tersedia peraturan menteri BUMN tentang penyelesaian konflik pada aset PTPN.

Kelambanan implementasi Perpres RA itu mestinya tidak terjadi jika dipahami bahwa RA merupakan program strategis nasional dan harus dipercepat implementasinya dalam rangka mewujudkan ekonomi berkeadilan. Seyogianya penuntasan Rencana Aksi Program RA yang sudah disepakati pada saat terbitnya Perpres RA menjadi salah satu program prioritas pemerintahan baru.

Jangka waktu hak atas tanah di IKN, yang dipertegas dalam Perpres No 75/2024 tentang Percepatan Pembangunan IKN, telah memicu kegaduhan sebagai ”obral” hak atas tanah. Misalnya, HGU yang dapat diberikan hingga 190 tahun itu jangka waktunya jauh melebihi konsesi hak erfpacht selama 75 tahun pada zaman kolonial.

Jika pemberian hak atas tanah itu tidak ditegaskan dengan penambahan frasa bahwa ”pendaftaran perpanjangan dan pembaruan haknya dilakukan secara bertahap”, maka hal itu jelas melanggar Pasal 33 Ayat (3) UUD, sebagaimana dinyatakan dalam Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 (Maria Sumardjono, ”Hak atas Tanah di IKN”, Kompas, 27/3/2023).

Tanpa penambahan frasa tersebut, investor yang paham bahwa kepastian hukum merupakan salah satu faktor utama yang harus dipertimbangkan justru akan berpikir ulang untuk berinvestasi karena mereka paham bahwa aturan tentang pemberian jangka waktu HGU selama 190 tahun secara otomatis bertentangan dengan konstitusi.

Sangat ironis. Untuk menarik investasi, penerbitan peraturan tentang jangka waktu hak atas tanah di IKN yang merupakan aturan pelaksana dari UU tentang IKN berjalan lancar. Sementara penerbitan aturan pelaksana Perpres RA yang erat kaitannya dengan keadilan sosial justru berjalan lamban.

Pekerjaan rumah

Berbagai kebijakan pertanahan pasca-UUCK perlu dibenahi.

Misalnya, pertama, pengaturan tentang HPL yang eksesif, yang seolah menjadi ”keranjang sampah” untuk mewadahi kepentingan yang bersifat pragmatis-praktis-jangka pendek ketimbang fungsi HPL untuk pelayanan publik. Kedua, pengaturan tentang pemilikan apartemen bagi WNA yang rancu dengan pemilikan bangunan gedung.

Ketiga, pengaturan tentang bank tanah yang tak tegas orientasinya, dan lain-lain. Sudah saatnya menyusun kembali RUU Pertanahan dalam koridor konstitusi dengan partisipasi publik yang bermakna dalam setiap tahap pembentukannya.

 

Maria SW Sumardjono,

Guru Besar Fakultas Hukum UGM dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas 25 September 2024.

Hak Cipta © 2014 - 2024 AIPI. Dilindungi Undang-Undang