Opini

no image

Mandat COP15: Mengapa target perluasan kawasan lindung minimal 30% harus melibatkan swasta dan penduduk

04 January 2023
Oleh : Jatna Supriatna
Unduh PDF


 

Jatna Supriatna
Professor of Conservation Biology, Universitas Indonesia

Pengungkapan
Jatna Supriatna tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan bahwa ia tidak memiliki afiliasi selain yang telah disebut di atas.

Mitra
Akhir tahun lalu, Konferensi Biodiversitas ke-15 Perserikatan Bangsa Bangsa (COP15) menyepakati Kerangka Kerja Biodiversitas Kunming-Montreal 2022 yang memuat 4 tujuan dan 23 target pelestarian keanekaragaman hayati di muka bumi.

Salah satu target yang cukup kontroversial adalah penetapan kawasan lindung (protected areas) minimum 30% masing-masing dari total wilayah daratan, perairan darat, laut dan pesisir di setiap negara pada 2030.

Indonesia, sebagai salah satu negara peserta, juga harus memenuhi target tersebut. Namun, pemerintah memberi catatan bahwa negara maju harus membantu pembiayaannya lantaran ongkos penetapan kawasan lindung amat besar, sekitar US$ 700 miliar (sekitar Rp 10.914 triliun).

Sejauh ini, kawasan lindung di daratan Indonesia mencapai 12,2% dari total luas daratan. Angka ini bisa lebih besar – mungkin melebihi 30% – apabila dihitung dengan Kawasan Hutan yang dikenakan kebijakan moratorium perkebunan.

Pekerjaan rumah sebetulnya ada di lautan. Per 2021, baru sekitar 3,1% dari total luas lautan yang berstatus kawasan lindung. Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan perluasan kawasan lindung laut hingga 30% baru tercapai pada 2045.

Tujuan dan target baru yang disepakati dalam COP15 lalu semestinya menjadi pemantik bagi pemerintah Indonesia untuk mengubah cara pandang pengelolaan kawasan lindung. Salah satunya adalah perubahan paradigma bahwa konservasi adalah urusan pemerintah semata.

Padahal, biodiversitas – terkait dengan seluruh makhluk hidup di muka bumi – adalah hajat hidup orang banyak, bahkan melampaui batas-batas negara. Berangkat dari pandangan ini, pemerintah harus menggerakkan seluruh elemen masyarakat untuk turut andil dalam pelestarian keanekaragaman hayati sesuai tujuan global yang telah disepakati.

Menggerakkan partisipasi

Paradigma lama memuat urusan pelestarian biodiversitas melalui penetapan kawasan lindung yang tidak boleh dirambah siapapun. Namun, selain sudah usang, pandangan ini justru memicu sejumlah masalah sosial – misalnya eksklusi masyarakat tradisional yang hidup di suatu kawasan lindung.Sedangkan pandangan baru merekomendasikan kawasan lindung yang memuat sejumlah area-area dengan peruntukan tertentu agar lebih inklusif serta mengakomodasi kepentingan sosial, ekonomi, dan ekologi yang lebih luas.

Di dalam kawasan lindung, ada area tertentu yang dikhususkan untuk perlindungan spesies. Namun, ada juga area-area khusus mulai dari perikanan tradisional di lautan, bahkan pertambangan (dengan standar operasional yang amat ketat) di daratan.

Hal ini diperkuat dengan Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) sejak 2008 memiliki panduan penetapan kawasan lindung untuk mengharmoniskan konservasi dengan masyarakat.

Salah satu contohnya di Taman Nasional Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun Salak di Jawa Barat. Kawasan lindung ini adalah sumber air bagi jutaan warga Jabodetabek. Pengelola kawasan ini semestinya menghitung jasa ekosistem yang timbul karena pemanfaatan air tersebut, lalu memungut bayaran dari korporasi yang menyedot airnya. Nantinya dana tersebut dapat digunakan kembali untuk aktivitas konservasi di taman nasional.

Aktivitas ekowisata juga menjadi sektor usaha berkelanjutan yang menjanjikan. Pemerintah dapat melibatkan masyarakat dan pihak swasta untuk mengelola area tertentu dalam kawasan lindung untuk menjaga kelestariannya, sekaligus menjadi pengungkit aktivitas ekonomi di sekitarnya.

Di Indonesia, ada praktik ekowisata bersama warga sekitar Taman Nasional Gunung Leuser di Kabupaten Tangkahan, Sumatra Utara. Di Tangkahan, warga desa memanfaatkan sekitar 17.500 hektare kawasan taman nasional untuk menjadi kawasan wisata alam liar.

Contoh lainnya dapat dilihat di Hawaii yang memiliki kawasan lindung laut seluas 150 juta ha sejak 2016. Di kawasan ini, pemerintah Amerika Serikat masih membolehkan aktivitas perikanan tradisional dan pariwisata.

Berakar dari riset

Karena mengakomodasi berbagai fungsi, pengelolaan kawasan lindung yang inklusif mungkin akan lebih rumit ketimbang sekadar memasang ‘pagar-pagar’ di kawasan lindung.

Untuk itu, pemerintah membutuhkan panduan-panduan yang berbasiskan bukti ilmiah untuk meredam risiko kerusakan ataupun konflik yang ada di kemudian hari.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan gap analysis atau analisis ketimpangan. Berapa banyak perluasan kawasan lindung yang dibutuhkan di darat dan laut untuk memenuhi target COP15?

Berikutnya, pemerintah harus melakukan riset untuk mengidentifikasi daerah-daerah potensial untuk menjadi kawasan lindung. Penelitian lanjutan juga dibutuhkan untuk mengenali area-area yang penting untuk kelangsungan populasi suatu spesies, ataupun aktivitas manusia seperti pariwisata, kehutanan, perikanan, dan lainnya.

Kawasan lindung ini juga dapat mencakup ruang hidup bagi masyarakat adat. Namun, pengelolaan area ini perlu diawasi. Jangan sampai kearifan adat tercemar oleh pengaruh pihak-pihak luar yang hanya ingin mengeksploitasi area tersebut. Harus ada mekanisme reward and punishment untuk menjaga kelangsungan wilayah adat.

Perubahan regulasi

Peraturan di Indonesia masih belum mengakomodasi kebijakan kawasan lindung yang inklusif, misalnya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Aturan ini sudah berusia lebih dari tiga dekade, sehingga membutuhkan perubahan-perubahan.

Sejak beberapa tahun lalu, DPR mulai merencanakan perubahan ini. Demi pemenuhan target COP15, perubahan UU No. 5 Tahun 1990 harus menjadi proyek prioritas, terutama perlunya memasukkan kebijakan kawasan lindung yang multiguna.

Tak hanya di tingkat pusat, pakar-pakar konservasi juga harus bergerak ke pemerintah daerah. Harapannya, kebijakan konservasi lebih menekankan tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah pusat.

Jatna Supriatna,
Anggota Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar,  Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

 

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.