Opini

no image

Mengarahkan Pemberian Vaksin Penguat Covid-19 pada Target yang Tepat

02 February 2023
Oleh : Bachti Alisjahbana
Unduh PDF


Sudah saatnya pemerintah membebaskan distribusi vaksin sebagai produk farmasi komersial seperti obat atau vaksin lainnya. Dengan cara ini, dokter dan pasien lebih mudah memilih jenis vaksin serta lokasi yang nyaman.

Covid-19 sudah hidup bersama kita selama hampir tiga tahun. Kita sudah melampaui sedikitnya tiga gelombang wabah dan bisa menyatakan diri kita adalah penyintas (survivor) dari badai Covid-19.

Cakupan vaksinasi di Indonesia dianggap berhasil oleh badan dunia dan negara-negara tetangga. Pemerintah tampaknya sudah terbuka dengan menetapkan bahwa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) bisa dicabut. Liburan akhir tahun lalu juga tampaknya aman-aman saja tanpa lonjakan kasus yang mengganggu.

Dalam kondisi seperti ini, apakah benar vaksin penguat (booster) kedua untuk umum diperlukan? Apakah distribusi vaksin masih harus dilakukan oleh fasilitas kesehatan publik seperti puskesmas, sementara para tenaga kesehatan di sana sudah kembali disibukkan dengan pekerjaan lain yang terbengkalai selama pandemi?

Melihat dari kondisi klinis pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit saat ini dan cakupan vaksin yang masih rendah pada pasien dengan komorbiditas, seharusnya vaksin penguat bisa didistribusikan dengan lebih efisien dan tepat sasaran.

Kekebalan kelompok pada Covid-19

Acungan jempol harus diberikan kepada Pemerintah Indonesia atas keberhasilannya dalam mendistribusikan vaksin dengan cakupan yang luas dan cepat. Dengan vaksinasi Sinovac dasar disertai booster satu kali, ditambah lagi dengan adanya dua kali gelombang besar wabah Delta dan Omicron, Indonesia sebenarnya sudah mencapai kekebalan kelompok.

Apakah tandanya kita sudah mencapai kekebalan kelompok? Pertama, vaksinasi dasar di Indonesia sudah mencapai cakupan lebih dari 70 persen. Kedua, yang lebih meyakinkan lagi, adalah penelitian sero-survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan sudah menunjukkan bahwa 87,8 persen dari penduduk kita sudah memiliki antibodi terhadap Covid-19 pada Desember 2021. Angka ini meningkat menjadi 98,5 persen pada Juli 2022.

Covid-19 memberikan pelajaran yang sangat baik kepada kita mengenai efek vaksin dan imunitas. Wabah datang bertubi-tubi dan vaksin cepat didistribusikan. Di samping itu, alat deteksi kadar antibodi anti-Covid-19 juga cepat tersedia sehingga efek dari vaksin dan paparan alami Covid-19 dapat terpantau dengan baik.

 Program vaksinasi penguat yang kedua kembali dilakukan untuk mencegah merebaknya Covid-19 di Kantor Balai Kota, Kota Semarang, Jawa Tengah, Rabu (25/1/2023). Vaksin penguat ini juga diprioritaskan untuk warga lanjut usia, pelayan publik dan kesehatan, serta warga yang berisiko tinggi. Program vaksinasi ini juga dilakukan di seluruh puskesmas dan beberapa tempat publik.

Saat gelombang Omicron muncul di awal tahun 2022, sebenarnya bisa dilihat resiliensi masyarakat kita yang baik. Kenaikan kejadian Covid-19 selama tahun 2022 tidak disertai dengan kondisi rumah sakit yang penuh dan kewalahan dengan pasien Covid-19.

Nah, dalam kondisi seperti ini, apakah vaksin penguat kedua masih perlu untuk umum? Apakah para tenaga kesehatan masih akan sanggup untuk mendistribusikannya dengan cepat dan luas? Sebenarnya, siapakah sasaran yang terbaik untuk vaksin penguat ini?

Perbedaan kondisi rumah sakit di Indonesia saat wabah Delta pada bulan Juli dan Agustus 2021 dengan sekarang sangatlah besar. Pada 2021 rumah sakit menerima belasan pasien masuk setiap hari, di mana seperempatnya memerlukan perawatan intensif.

Sementara itu, selama wabah Omicron pada awal 2022, hal ini tidak terjadi. Rumah sakit hanya menerima dan merawat beberapa pasien yang berat saja. Pasien yang ringan secara legowo bersedia untuk pulang dan tidak khawatir untuk merawat diri di rumah.

Covid-19 memberikan pelajaran yang sangat baik kepada kita mengenai efek vaksin dan imunitas. Wabah datang bertubi-tubi dan vaksin cepat didistribusikan.

Namun, kenapa masih ada pasien yang sampai dirawat di rumah sakit? Hal ini perlu diperhatikan karena sebenarnya pasien-pasien inilah kelompok target yang harus diprioritaskan mendapatkan vaksin yang tersedia saat ini.

Pasien Covid-19 berat yang dirawat di rumah sakit adalah pasien dengan penyakit komorbid atau kronis. Seperti mereka yang memiliki penyakit diabetes, sakit ginjal, stroke, keganasan, atau mereka dengan gangguan imunitas.

Ada beberapa alasan mengapa mereka masih berisiko terkena Covid-19 berat. Pertama, sangat disayangkan bahwa sepertiga dari pasien dengan komorbid ini belum divaksinasi. Cakupan vaksinasi mereka lebih rendah dari cakupan nasional di komunitas umum.

Kedua, di antara pasien-pasien dewasa dengan komorbid, tidak semua bisa memberikan respons imunitas yang baik setelah vaksin. Terdapat sebagian dari mereka yang tak menunjukkan peningkatan antibodi yang cukup dengan vaksinasi.

Pasien-pasien seperti ini adalah mereka yang memiliki penyakit ginjal atau penyakit hati yang berat, pasien kanker yang mendapatkan kemoterapi, serta pasien dengan gangguan imun lain, seperti penderita HIV atau otoimun yang mendapatkan obat penekan imunitas.

Tenaga medis memeriksa kesehatan warga lansia sebelum menerima suntikan vaksin Covid-19 penguat kedua dalam vaksinasi di Kantor Wali Kota Jakarta Pusat di Jakarta, Rabu (25/1/2023).

 Tenaga medis memeriksa kesehatan warga lansia sebelum menerima suntikan vaksin Covid-19 penguat kedua dalam vaksinasi di Kantor Wali Kota Jakarta Pusat di Jakarta, Rabu (25/1/2023).

Jadi, sangat mengenaskan kalau pasien dengan komorbid tidak divaksin karena justru merekalah yang seharusnya difokuskan untuk mendapatkan proteksi dari vaksin dasar ataupun booster-booster berikutnya. Namun, sudah dua tahun lamanya Indonesia memiliki vaksin Covid-19, perhatian program masih kurang mengarah ke target ini.

Mengapa pasien komorbid luput dari program vaksinasi?

Saat ditanya mengapa mereka belum divaksin, sebagian pasien komorbid menjawab, ”Tidak mau atau takut.” Sebagian lagi menyatakan, ”Tidak boleh oleh dokter dan petugas kesehatan.” Sangat disayangkan bahwa ternyata salah satu alasan pasien-pasien ini luput dari program vaksinasi adalah karena cukup banyak dokter yang tidak memperbolehkan pasiennya memperoleh vaksinasi.

Selain itu, jenis vaksin dan program yang ada juga masih sangat membingungkan untuk masyarakat. Ada pasien diabetes dan pascastroke yang menyatakan ingin divaksin. Ia sudah divaksin satu kali dengan Sinovac satu tahun sebelumnya, tetapi terlambat mendapatkan vaksin Sinovac dosis kedua karena telanjur sakit Covid-19.

Saat pasien tiba di tempat vaksinasi, petugas menyatakan ia tak boleh mendapatkan booster vaksin (Pfizer) karena vaksinasi Sinovac-nya belum tuntas dua kali. Namun, di saat itu pasien pun sudah tak bisa mendapatkan dosis Sinovac tersebut karena sudah tidak tersedia. Apakah situasi ini masuk akal?

Kementerian Kesehatan sudah berkali-kali menyatakan bahwa vaksin yang sudah dapat izin penggunaan darurat ( emergency use) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) itu aman untuk digunakan.

Kementerian Kesehatan sudah berkali-kali menyatakan bahwa vaksin yang sudah dapat izin penggunaan darurat (emergency use) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) itu aman untuk digunakan. Terlebih lagi, penggunaan kombinasi seperti vaksin dasar Sinovac, kemudian Pfizer atau Astra Zeneca, akan memperkuat tingkat proteksi.

Sebenarnya vaksin Covid-19 mana pun yang sudah dikenal saat ini akan meningkatkan imunitas yang dia perlukan dalam menghadapi wabah galur-galur (strain) baru ini.

Pedoman vaksinasi yang sekarang diberlakukan masih mempersyaratkan bahwa pasien komorbid harus memiliki kadar gula darah dan tekanan darah di bawah batas tertentu.

Padahal, selama penyakit komorbidnya stabil dan tidak ada demam, vaksinasi dapat diberikan. Asesmen ini tidak mudah. Sering perlu merujuk ke dokternya sehingga vaksinasi menjadi tertunda.

Vaksin yang masih didistribusikan melalui puskesmas juga merupakan hambatan bagi kelompok pasien komorbid. Cukup banyak pasien komorbid dan lansia yang mobilitasnya terbatas. Sulit bagi mereka untuk mengantre di puskesmas atau fasilitas umum.

Warga melakukan pendaftaran saat mengikuti vaksinasi Covid-19 dosis penguat kedua di Kantor Wali Kota Jakarta Pusat di Jakarta, Rabu (25/1/2023). Vaksinasi tersebut diikuti ASN dan masyarakat umum yang berusia 18 tahun keatas. Meski pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) telah dicabut pemerintah pada akhir Desember 2022, pemberian vaksin penguat kedua tetap penting untuk dilakukan.

Warga melakukan pendaftaran saat mengikuti vaksinasi Covid-19 dosis penguat kedua di Kantor Wali Kota Jakarta Pusat di Jakarta, Rabu (25/1/2023). Vaksinasi tersebut diikuti ASN dan masyarakat umum yang berusia 18 tahun keatas. Meski pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) telah dicabut pemerintah pada akhir Desember 2022, pemberian vaksin penguat kedua tetap penting untuk dilakukan.

Intervensi yang rasional

Memasuki tahun keempat penanganan Covid-19, program vaksinasi serta pemantauan hasil vaksinasi harus lebih difokuskan pada pasien komorbid karena nyatanya masih cukup banyak masyarakat dengan komorbid yang belum dapat vaksinasi dasar, apalagi booster.

Prasyarat kondisi pasien untuk mendapatkan vaksinasi pun sebaiknya dimudahkan. Prasyarat ini kemudian perlu disokong dengan surat keputusan dan sosialisasi yang mantap dari organisasi profesi. Namun, jika hal itu sulit dilakukan, penulis menganjurkan agar peran layanan vaksinasi dapat dialihkan kepada dokter yang rutin dikunjungi pasien.

Melanjutkan usulan itu, seyogianya kita dapat mengalihkan juga peran layanan vaksinasi Covid-19 saat ini pada petugas kesehatan di klinik dan rumah sakit. Pasien lansia dan komorbid umumnya adalah pelanggan rutin di klinik dan rumah sakit. Sudah seharusnya mereka diberikan kesempatan mendapat vaksin pada saat kunjungan rutin mereka.

Selanjutnya, selain puskesmas, semua klinik dan rumah sakit juga harus selalu memiliki persediaan vaksin Covid-19 untuk diberikan kepada pasien komorbid yang mereka kelola. Jika ada pasien komorbid dalam perawatan inap yang belum mendapatkan vaksin Covid-19 mencukupi, seharusnya dokter memberikan vaksin tersebut sebelum pasien pulang.

Melihat dari kebutuhan di atas yang lebih mengarah pada customize vaccination, kami berpendapat bahwa pemanfaatan pemeriksaan antibodi pascavaksinasi sangat diperlukan.

Melihat dari kebutuhan di atas yang lebih mengarah pada customize vaccination, kami berpendapat bahwa pemanfaatan pemeriksaan antibodi pasca-vaksinasi sangat diperlukan. Respons antibodi pasien komorbid sulit ditebak. Jika respons antibodi seorang pasien masih kurang, seharusnya dokter yang menangani diberi kewenangan untuk memberikan resep vaksin penguat tertentu yang baik dan sesuai dengan kebutuhan pasien tersebut.

Sekarang sudah saatnya pemerintah membebaskan distribusi vaksin sebagai produk farmasi komersial seperti obat atau vaksin lainnya. Dengan cara ini, dokter dan pasien lebih mudah memilih jenis vaksin serta lokasi yang nyaman. Pemberian vaksin dapat dijadwalkan secara komprehensif dengan vaksin lain, seperti pneumonia, influenza, dan dengue.

Kekakuan dalam aturan sekuens jenis vaksin Covid-19 perlu dibebaskan karena sebenarnya semua jenis vaksin yang sudah terbukti baik selama dua tahun ini dapat diberikan. Tidak perlu ada keharusan yang mana vaksin pertama dan yang mana vaksin kedua. Toh, kita semua juga sudah terpapar dengan infeksi alami yang datang tanpa terjadwal.

Dengan cara ini, kita bisa membagi delegasi kegiatan vaksinasi booster pada fasilitas kesehatan yang memiliki SDM memadai, dapat lebih cepat mengambil keputusan, dan lebih menjangkau pasien yang benar-benar memerlukan.

Efisiensi anggaran akan tercapai dan puskesmas dapat fokus kembali pada pengelolaan program pengentasan penyakit lain yang juga penting.

Bachti AlisjahbanaPusat Riset Infeksi (RC3ID) Universitas Padjadjaran- RS dr Hasan Sadikin, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas 02 Februari 2023

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.