Opini

no image

Debu COP27 Sudah Dikibaskan

29 November 2022
Oleh : Daniel Murdiyarso
Unduh PDF


COP27 tampaknya jauh dari harapan dan kesepakatan yang dicapai di Glasgow tahun lalu. Stagnasi yang terjadi dalam COP27 akan mengakibatkan kerja-kerja penurunan emisi yang makin berat di waktu akan datang.

 Setelah diperpanjang hampir dua hari, Pertemuan Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim Ke-27 (COP27) di Mesir akhirnya ditutup dengan keputusan-keputusan yang kurang menggigit.

eskipun berjudul ”Sharm el-Sheikh Implementation Plan”, tak terlalu jelas apa yang akan diimplementasikan karena keputusan-keputusan itu tak lebih baik dan tak menunjukkan kemajuan dari apa yang sudah dicapai di COP26 di Glasgow, Skotlandia, tahun 2021.

Di Glasgow, kalangan swasta, termasuk bank, asuransi, dan penanam modal yang sempat dicap greenwashing, sepakat dengan para perunding, bahwa agar suhu Bumi tak meningkat melebihi 1,5 derajat celsius dari zaman praindustri tahun 2030, maka emisi nol bersih harus dicapai pada tahun 2050.

Mereka bahkan bertekad agar pertumbuhan ekonomi tetap ramah lingkungan. Di samping itu, dalam rangka transisi energi, investasi berbasis bahan bakar fosil juga akan dikurangi. Semua ini akan menelan dana sebesar 130 triliun dollar AS.

Pilihan batas kenaikan 1,5 derajat celsius yang lebih baik dari 2 derajat celsius memiliki dasar ilmiah.

”Cover text”

Para delegasi sempat frustrasi dan terpaksa mengubah jadwal penerbangan serta memperpanjang waktu pemesanan kamar hotel. Alasannya, hingga Jumat tengah malam saat COP27 seharusnya berakhir, tak ada tanda-tanda tercapai kesepakatan di berbagai agenda penting, khususnya soal pendanaan perubahan iklim.

Keputusan itu akhirnya keluar pada sidang pleno pada hari Minggu sekitar pukul lima pagi waktu setempat.

Halaman pembuka (cover text) keputusan biasanya diberi kode bilangan sesuai urutan keputusan COP, dalam hal ini Decision 1/COP.27 secara cantik dan teratur mengenali, memperhatikan, mencatat, menganjurkan, menekankan, dan menggarisbawahi pentingnya pendekatan ilmiah, mitigasi, adaptasi, pendanaan, dan transisi yang adil.

Sains sumbangan IPCC Working Group II dan III menjadi pertimbangan utama, sebab tanpa bukti ilmiah, upaya penanggulangan perubahan iklim tidak memiliki alasan yang kuat untuk disepakati. Pilihan batas kenaikan 1,5 derajat celsius yang lebih baik dari 2 derajat celsius memiliki dasar ilmiah.

Upaya mitigasi melalui penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) adalah pilihan yang realistis dan terukur yang dituangkan dalam Nationally Determined Contributions (NDC). Langkah ini dianjurkan dilakukan secara sistematis dan dikomunikasikan secara teratur.

Sementara itu, peningkatan kapasitas adaptasi, penguatan ketahanan iklim dan pengurangan kerentanan perlu dilakukan secara simultan dengan mengintegrasikan program dan dana yang secara menyeluruh meningkatkan daya tahan masyarakat dan ekosistem terhadap perubahan iklim.

Penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) paling sedikit akan membutuhkan dana investasi 4 triliun dollar AS per tahun hingga 2030. Agar terjadi jalur transisi yang adil dalam memperoleh akses EBT, teknologi, dan lapangan kerja, perlu pengaturan yang terbuka, transparan, dan netral untuk semua pihak.

Selain menjadi bungkus atau kulit, Halaman Pembuka hendak memberi kesan bahwa keputusan COP adalah dokumen hidup (living document) yang selalu dapat dibongkar-pasang. Di sini juga dapat dijumpai pengenalan akan komitmen negara-negara anggota G20 yang baru bersidang di Indonesia.

Terobosan dan stagnasi

Di hari terakhir, delegasi COP27 berhasil membuat terobosan baru. Artikel 8 Persetujuan Paris tentang Kerugian dan Kerusakan (Loss and Damage, L&D) adalah salah satu agenda yang paling alot, tetapi berhasil disepakati dengan membentuk Dana L&D. Dana yang paling ditunggu oleh negara-negara berkembang yang terdampak serius akibat perubahan iklim disepakati setelah masa sidang diperpanjang.

Meski mekanisme pendanaan L&D belum jelas, Panitia Transisi telah dibentuk dan akan bertemu pertama kali Maret 2023 guna menyusun rekomendasi mekanisme pendanaannya kepada COP28 tahun depan. Dana L&D akan melengkapi mekanisme pendanaan lainnya, seperti Special Climate Change Fund (SCCF), Global Environmental Facility (GEF), Green Climate Fund (GCF), dan Adaptation Fund (AF).

Barangkali capaian sementara tentang L&D adalah satu- satunya hiburan dalam perundingan panjang dan melelahkan. Bagi sebagian negara berkembang, capaian ini agak membantu dalam menelan pil pahit—agenda yang gagal dituntaskan—yang menyangkut di tenggorokan. Perundingan yang nyaris stagnan ditengarai oleh gagalnya meningkatkan ambisi pemangkasan emisi GRK.

Meski komitmen untuk membatasi kenaikan suhu tak melebihi 1,5 derajat celsius tetap dipertahankan, tak ada komitmen baru untuk menurunkan emisi melalui NDC yang didemonstrasikan. Global Stocktake yang akan dilakukan pada 2023 dikhawatirkan tak menunjukkan penurunan konsentrasi GRK yang membahayakan atmosfer Bumi dari pemanasan global.

Stagnasi ini akan mengakibatkan kerja-kerja penurunan emisi yang makin berat di waktu akan datang dan memberatkan pertumbuhan ekonomi yang didorong untuk mengatasi ketinggalan akibat pandemi.

Begitu juga semangat penghapusan secara bertahap penggunaan batubara dan bahan bakar fosil lain (fossil fuel phase out) terasa memudar dengan perkembangan geopolitik terbaru. Lusinan negara ingin frasa ”penghapusan bertahap” muncul di dalam teks keputusan. Namun, hingga detik-detik terakhir, keinginan itu terabaikan.

Besar kemungkinan perjuangan penghapusan bertahap penggunaan bahan bakar fosil mengalami nasib sama di COP28 tahun depan di Dubai. Salah satu indikator sebuah perundingan berseri semacam COP-UNFCCC gagal atau berhasil adalah apakah agenda perundingan lama diangkat kembali dan diselesaikan.

COP27 tampaknya jauh dari harapan dan kesepakatan yang dicapai di Glasgow tahun lalu.

Ungkapan ”mengibaskan debu” (sifting through the dust) untuk menggambarkan berakhirnya sebuah tugas panjang melelahkan nyaris relevan untuk mereka yang terlibat dalam perhelatan akbar di tengah kawasan padang pasir itu.

Kita beri acungan jempol untuk para perunding yang memiliki stamina tinggi meskipun tidak semua orang atau delegasi puas dan menemui harapannya. Bahkan di antara mereka banyak yang kecewa dengan capaian COP27.

 

Daniel Murdiyarso, 
Guru Besar Ilmu Atmosfer IPB, Peneliti Utama (CIFOR), dan mantan UNFCCC National Focal Point dan Anggota Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar,  Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Harian Kompas 29 Novembar 2022

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.