Opini

no image

Pertarungan Ideologi

11 April 2019
Oleh : Azyumardi Azra
Unduh PDF


Artikel ini pertama kali diterbitkan di Harian Kompas

Mendekati hari pencoblosan 17 April, semakin berkembang wacana di kalangan masyarakat bahwa Pemilu 2019, khususnya pemilihan presiden, adalah pertarungan ideologis. Wacana, perdebatan, dan kontroversi, baik di media cetak maupun elektronik, tentang hal ini terakhir sekali dipicu pernyataan AM Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara, bahwa Pemilu 2019 (pilpres) adalah pertarungan ideologis antara pendukung Pancasila dan penyokong khilafah.

Dalam perkembangan kontroversi selanjutnya, pertarungan ideologis itu konon juga terjadi di antara pihak yang disebut sebagai ”pro-PKI” melawan pihak ”pro-Islam” (Islamis); atau antara pihak ”pro-Aseng”, kebijakan liberalisasinya di satu pihak menghadapi pihak ”pro-rakyat” yang menolak liberalisasi ekonomi.

Kemudian, berkembang semacam kegelisahan dan kekhawatiran menggayuti masyarakat yang tidak mudah dilenyapkan. Untuk itu, penulis telah diminta beberapa kalangan dan lembaga strategis membahas isu tersebut.
Apakah Pemilu 2019 merupakan pertarungan ideologis?

Tidak ada jawaban sederhana atas pertanyaan ini. Akan tetapi, yang pasti, anggapan Pilpres 2019 adalah semacam pertarungan ideologis sebenarnya tidak terlalu baru. Beberapa waktu sebelumnya, sejumlah pengamat politik Indonesia sudah mulai mengantisipasi perkembangan ke arah sana.

Salah satu di antaranya adalah Max Lane, peneliti dan konsultan asal Australia yang telah lebih dari seperempat abad meneliti Indonesia. Hal ini dapat disimak dari artikelnya, ”A New Ideological Contestation Emerging in Indonesia?” (Singapura: ISEAS, 2017).

Dalam artikelnya, Lane berargumen tentang adanya sejumlah gejala dan fenomena politik yang mengindikasikan bangkitnya kembali kontestasi ideologis antara Presiden Joko ”Jokowi” Widodo dan para pendukungnya di satu pihak dengan para oposisi di pihak lain.

Lane melihat bibit-bibit kontestasi ideologis itu sudah ada sejak menjelang dan meningkat pada masa pasca-Pilpres 2014. Namun, Lane mengakui tidak mengetahui bagaimana perkembangan kontestasi ideologis selanjutnya, khususnya terkait Pilpres 2019.

Menulis pada 2017, Lane tidak berspekulasi tentang gejala pertarungan ideologis tersebut selanjutnya. Akan tetapi, penulis kolom ini sepakat ketika dia melihat tentang akar pertarungan ideologis tersebut, antara lain, ada pada bangkitnya politik identitas dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

Meski Pilkada DKI Jakarta 2017 berskala lokal, dampaknya memengaruhi politik nasional, termasuk Pilpres 2019. Aksi-aksi besar yang dilakukan kalangan umat Islam menentang calon gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) juga menghasilkan aktivisme politik Islam.

Keberhasilan kalangan umat Islam yang kemudian menyebut diri sebagai Alumni 212 untuk memenangkan cagub Anies Baswedan menghasilkan euforia politik dan keagamaan. Selain itu, memunculkan momentum untuk memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai agenda umat Islam.

Momentum politik identitas Islam 212 tidak terlalu berhasil; sebaliknya terlihat mengalami fragmentasi. Berbagai manuver gerakan 212 yang bukan partai politik tidak memiliki daya tawar dan pengaruh cukup signifikan untuk mengarahkan perkembangan politik Indonesia ke arah politik berbasis identitas keagamaan (religious identity-based politics).

Fenomena ini terlihat ketika Prabowo tidak memilih salah satu di antara figur-figur yang mereka usung sebagai cawapres; tidak mengikuti keputusan atau rekomendasi ijtimak ulama yang diselenggarakan gerakan 212. Sebaliknya, sebagai capres Prabowo memilih Sandiaga Uno sebagai cawapres.

Sementara itu, tokoh yang juga menjadi figur penting dalam mendorong kebangkitan gerakan 212, KH Ma’ruf Amin, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, diambil capres Joko Widodo sebagai cawapres. Masih ada pula figur-figur gerakan 212 yang bergabung ke kubu parpol pendukung capres Jokowi.

Dilihat dari sudut ini saja, pertarungan ideologis yang dianggap terjadi dalam Pilpres 2019 jauh dari akurat. Konfigurasi politik Indonesia menjelang Pemilu 2019 cukup kompleks untuk disederhanakan menjadi dua pihak yang secara ideologis bertolak belakang dalam binary opposition.

Jika dilihat lebih cermat, koalisi politik pasangan calon (paslon) 01 merupakan gabungan dua kecenderungan ideologis parpol. Pertama, parpol berorientasi nasionalisme Pancasila (PDI-P, Partai Golkar, PKB, Partai Nasdem, Partai Hanura,
PKPI, Partai Perindo, PSI); dan kedua, parpol berorientasi nasionalisme Islam (PPP dan PBB).

Meski ada sedikit perbedaan tekanan ideologis dari setiap parpol, kedua kelompok berkomitmen penuh pada Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Lagi pula corak Islam yang ada dalam keseluruhan parpol ini adalah Islam wasathiyah yang moderat, inklusif, dan toleran.

Sementara itu, koalisi paslon 02 juga menampilkan parpol dengan dua kecenderungan; nasionalisme Pancasila (Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, Partai Berkarya); dan nasionalisme Islam (PKS). Parpol-parpol ini juga memiliki
komitmen penuh pada Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Islam yang tercakup dalam parpol-parpol ini juga Islam wasathiyah yang moderat, inklusif, dan toleran.

Masalahnya kemudian, paslon 02 juga mencakup sebagian besar alumni 212 dan juga eks HTI. Mereka ini adalah simpatisan atau pendukung pembentukan khilafah dan penerapan syariah. Namun, capres Prabowo Subianto, dalam debat keempat (30/3/2019), menegaskan berkomitmen sepenuhnya kepada Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika; serta menolak khilafah. Meski demikian, agaknya tarik-menarik dalam ideologis ini terjadi dalam kubu paslon 02.

Dengan demikian, pertarungan ideologis jelas bukan fenomena dominan Pilpres 2019. Arus utama kekuatan politik Indonesia tetap berada dalam kerangka Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika. Ideologi lain di luar itu, seperti khilafah, berada hanya di marjin; tidak secara signifikan memengaruhi dinamika politik Indonesia.

 

 Azyumardi Azra,
Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.