Tempe dan pengetahuan tradisional lainnya, baik pangan maupun nonpangan, sudah selayaknya mendapat perlindungan khusus.
Pada 24 Mei 2024, di Geneva, Swiss, Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) menyepakati Traktat Internasional bagi Perlindungan Kekayaan Intelektual, Sumber Daya Genetika, dan Pengetahuan Tradisional (Treaty on Intellectual Property, Genetic Resources, and Associated Traditional Knowledge). Pemerintah seharusnya segera menindaklanjuti traktat yang telah diperjuangkan selama 24 tahun ini supaya Indonesia mendapat manfaatnya.
Tindak lanjut traktat tersebut, antara lain, dengan menerbitkan peraturan yang mewadahi penghargaan dan mempertegas aturan koleksi contoh terkait kearifan tradisional, baik yang berupa materi maupun nonmateri. Selain itu, sudah seharusnya Indonesia memberikan perhatian khusus kepada produk tradisional unik yang telah menjadi incaran dunia seperti tempe.
Mestinya bukanlah suatu yang berlebihan apabila Indonesia mempunyai pusat penelitian khusus yang mengkaji tempe secara komprehensif dan interdisiplin sehingga kekayaan intelektual terpaut kearifan lokal ini dapat sebanyak mungkin dimiliki dan dimanfaatkan oleh inovator sejatinya.
Tulisan ringkas ini adalah sebagian kecil contoh tentang tempe sebagai salah satu kekayaan tradisional atau etnik Indonesia yang apabila dikelola dengan baik dapat menjadi kekayaan intelektual. Namun, harta karun ini bisa diklaim atau lebih dulu dimanfaatkan oleh orang atau negara lain apabila kita terlalu lambat dalam implementasi traktat tersebut.
Sobat renik
Seorang individu manusia dewasa terdiri dari sekitar 10 triliun sel dengan ratusan ragamnya, mulai dari sel kulit, gigi, mata, tulang, sampai darah, dan otak. Selain itu, ada sekitar 100 triliun mikroorganisme (antara lain bakteri, khamir, kapang, protozoa, dan virus) yang menjadi bagian integral dari tubuh manusia yang sehat dan bugar.
Sebagian besar bakteri itu hidup di usus besar dan menghasilkan beragam imunoglobulin untuk daya tahan tubuh, serta berbagai senyawa atau hormon penting untuk komunikasi dengan sel-sel otak. Oleh karena itu, komposisi atau komunitas mikroorganisme usus ini menjadi salah satu faktor penting dalam menjaga sistem kekebalan (imunitas), kebugaran fisik dan mental individunya.
Saat ini banyak sekali penelitian yang ditujukan untuk mencari tahu faktor penentu yang membuat manusia bahagia atau sebaliknya yang membuatnya depresi atau penuh cekaman. Sejumlah bakteri telah dilaporkan dapat menjadi faktor penentu kebugaran mental manusianya, dan kelompok bakteri semacam ini disebut psikobiotik (psychobiotics). Sel bakteri yang dapat hidup di usus dan memberi kebugaran fisik secara umum disebut probiotik.
Sementara sel-sel bakteri yang sudah mati, tetapi masih mampu memberi efek seperti probiotik atau psikobiotik disebut para-probiotik. Sedangkan komponen makanan yang dapat memicu pertumbuhan bakteri ”baik” di dalam usus disebut prebiotik. Probiotik, psikobiotik, para-probiotik, prebiotik atau turunannya dapat diperoleh dari makanan yang dikonsumsi.
Makanan fermentasi asal Indonesia seperti tempe, tape, kecap, tauco, dan terasi secara alami kaya dengan beragam mikroorganisme. Satu gram tempe segar dapat mengandung bakteri sebanyak 1 triliun, belum termasuk beragam kapang dan khamir yang menjadi bagian dari tempe yang normal. Apabila dibandingkan dengan produk probiotik pangan komersial yang umumnya di Indonesia hanya berisi 1 juta bakteri per mililiter, maka selain membawa beragam jenis mikroorganisme, konsentrasi bakteri di tempe itu telah mencapai sejuta kali lebih banyak.
Konsentrasi yang relatif rendah pada probiotik komersial, antara lain terjadi karena biaya produksi yang relatif mahal. Kondisi kultur murni dengan peralatan fermentasi yang kompleks merupakan salah satu sebab terbatasnya daya jangkau masyarakat terhadap probiotik semacam ini. Di sisi lain, mikroorganisme pada tempe dapat menjadi sumber probiotik, psikobiotik, para-probiotik, dan prebiotik secara bersamaan yang tersedia secara ekonomis hampir di setiap tempat dan waktu.
Sejumlah bakteri telah dilaporkan dapat menjadi faktor penentu kebugaran mental manusianya, dan kelompok bakteri semacam ini disebut psikobiotik.
Kearifan lokal khas Indonesia
Tempe kedelai hanya salah satu dari ragam tempe yang ada di Nusantara. Tempe dari biji-bijian lain, termasuk beragam oncom sangat jarang diteliti. Belum lagi beragam kemasan tradisional tempe seperti: daun pisang (dapat ditemukan di hampir di semua lokasi produsen tempe), daun jati (umumnya di Jawa), dan daun simpor (di Belitung).
Oncom jingga biasanya terbuat dari bungkil kacang tanah atau ampas tahu dengan inokulum Neurospora intermedia. Produk ini sebarannya tidak seluas tempe kedelai yang bahkan sudah di taraf internasional. Oncom jingga hanya beredar di daerah sunda atau Jawa bagian barat.
Neurospora diketahui mampu menurunkan kadar aflatoksin pada kacang tanah sehingga hal ini seharusnya memicu rasa ingin tahu apakah oncom jingga merupakan bentuk detoksifikasi mikotoksin pada produk-produk kacang tanah yang secara turun-temurun telah dikenal oleh nenek moyang masyarakat Sunda?
Karakter tingkat kematangan pada tempe telah dipelajari dengan baik oleh orang Jawa. Sebagai contoh, tempe semangit atau tempe bosok adalah tempe yang sudah kelewat matang (over fermented) sehingga berbau menyengat antara lain karena aroma amonia yang dihasilkan.
Tempe bosok ini sudah lama dimanfaatkan untuk pembangkit cita rasa pada masakan Jawa tertentu seperti sambel tumpang atau mendol. Belakangan diketahui bahwa tempe bosok memang kaya dengan asam amino dan peptida yang dapat memberikan rasa sedap atau ”umami”. Saat ini banyak industri termasuk industri pangan internasional menaruh perhatian khusus untuk meneliti aspek sensori, biokimia, sampai biologi molekuler tempe bosok ini.
Vitamin B12 umumnya diperoleh dari produk hewani, terutama dari daging dan kerang-kerangan. Meskipun demikian, tempe merupakan makanan nabati yang kaya akan vitamin B12. Untuk orang yang sepenuhnya vegetarian, maka asupan vitamin B12 sangat terbatas dan tempe menjadi salah satu andalannya. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa bakteri dari kelompok Enterobacteriaceae, khususnya Klebsiella pneumoniae merupakan sumber vitamin B12 pada tempe.
Secara umum K pneumoniae adalah bakteri patogen pada manusia. Meskipun demikian, penelitian kami menunjukkan bahwa yang ada di tempe adalah bakteri yang non-patogenik (tidak menyebabkan sakit) pada manusia, dan berasal dari kedelai itu sendiri. Adanya isolat bakteri yang secara genetik sangat mirip dengan kerabatnya yang patogen dapat menjadi semacam ”vaksin oral alami” terhadap infeksi pneumonia. Ini membutuhkan kajian yang lebih dalam dengan implikasi praktis yang sangat luas.
Tempe juga menjadi sumber inspirasi untuk pengembangan teknik produksi biomassa komunitas sel bakteri yang ekonomis. Berbagai inokulum berisi multi-mikroorganisme seperti ragi tempe atau ragi tape masih belum dapat direproduksi secara sintetik atau aseptik di laboratorium. Produksi ragi tempe atau ragi tape secara tradisional dapat memberi pencerahan bagaimana etnik lokal Nusantara mampu mengulturkan komunitas mikrob secara konsisten dengan teknik yang sederhana.
Menumbuhkan isolat tunggal sudah merupakan kegiatan rutin bagi yang biasa bekerja di bidang mikrobiologi. Meskipun demikian, mengulturkan komunitas mikroorganisme sampai sekarang masih menjadi tantangan, bahkan di negara maju sekalipun. Teknik membuat ragi tempe atau tape yang efektif, konsisten, tetapi juga relatif murah sudah berabad-abad menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakat Indonesia, khususnya di daerah penghasil tempe dan tape.
Deskripsi di atas belum memasukkan sumber daya genetik mikroorganisme yang berasosiasi dengan tempe itu sendiri, yang tentu tidak kalah potensinya. Tempe dan masih banyak lagi pengetahuan tradisional kita, baik pangan atau nonpangan, sudah selayaknya mendapat perlindungan khusus, antara lain karena ada banyak kekayaan intelektual yang dapat diturunkan dari praktik-praktik yang telah teruji atau teradaptasi oleh perjalanan waktu yang panjang.
Antonius Suwanto,
Guru Besar Mikrobiologi, IPB University, dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).
Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas, 25 Juni 2024.
Editor: Yovita Arika