Opini

no image

Membangun Monumen Indonesia Lestari 2045

05 June 2023
Oleh : Emil Salim
Unduh PDF


Masyarakat dunia perlu terus diingatkan bahwa unsur-unsur perubahan iklim bakal terjadi pada 2030-2060. Pertandanya antara lain muka laut mulai naik dan diikuti banjir rob dan penurunan lahan.

Ketika James Watt, seorang insinyur dari Skotlandia, Inggris, menemukan mesin uap pada tahun 1769—sehingga tenaga uap menjadi sumber energi penggerak transportasi, energi, dan industri—mulailah dunia memasuki tahap revolusi industri yang pertama dan berdampak besar pada lingkungan hidup sedunia.

Dampak tersebut antara lain menaikkan suhu bumi akibat pencemaran udara yang mengubah iklim. Perkembangan teknologi semakin luas memengaruhi energi, pertambangan, industri, dan kehidupan ekonomi yang menjalar ke seluruh dunia.

Sejak konferensi dunia tentang lingkungan hidup di Stockholm, Juni 1972, timbul kesadaran untuk mengendalikan pencemaran lingkungan hidup di dunia. Karena dampak revolusi industri kepada lingkungan hidup mulai semakin berpengaruh, tumbuh gerakan lingkungan hidup untuk mengembangkan pembangunan tanpa pencemaran lingkungan.

Sejak konferensi dunia tentang lingkungan hidup di Stockholm, Juni 1972, timbul kesadaran untuk mengendalikan pencemaran lingkungan hidup di dunia.

Pola pembangunan dunia pada masa itu sangat dipengaruhi oleh liberalisasi ekonomi yang didorong oleh ekonomi aliran Samuelson dan teori ekonomi pembangunan ke arah tahap lepas landas (take-off) mazhab Rostow yang memacu pertumbuhan ekonomi ke tahap lepas landas tanpa tujuan akhir.

Pada tahun 1980-an tumbuh era ekonomi liberal yang dipimpin duet Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher dan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan yang mendorong liberalisasi ekonomi.

Komitmen global

Gerakan lingkungan dunia yang berjuang di tengah suasana liberalisasi ekonomi tahun 1980-an ini melumpuhkan gagasan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang ingin berusaha agar pembangunan ekonomi dapat berlanjut, seiring dengan usaha pelestarian sumber daya alam dan lingkungan untuk bisa berkelanjutan.

Dalam suasana politik pembangunan yang liberal, tetapi tanpa perusakan lingkungan, lahir di tahun 1992 konferensi internasional lingkungan, 20 tahun setelah pertemuan Stockholm, dengan memasyarakatkan pola pembangunan berkelanjutan dalam konferensi lingkungan sedunia di Rio de Janeiro, Brasil, Juni 1992.

Produk operasional dalam konferensi tersebut berupa konvensi pengendalian perubahan iklim dan konvensi keanekaragaman hayati, sebagai program operasional dalam mewujudkan pola pembangunan berkelanjutan.

Walaupun dunia menyambut hasil konferensi Rio ini sebagai langkah maju yang penting, ekonomi terbesar dan liberal di dunia, seperti Amerika Serikat, tidak menandatangani konvensi tersebut. Disusul dengan perselisihan bersenjata antara kelompok Al Qaeda dan Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1990-an. Pelaksanaan konferensi Rio pun menjadi terhambat.

Sungguhpun secara konseptual pola pembangunan berkelanjutan tumbuh, terutama di negara berkembang, keterbatasan dana dan tenaga terampil menghambat terwujudnya berbagai keputusan konferensi lingkungan tersebut.

Ditelan oleh suasana politik internasional yang kurang mendukung terwujudnya konferensi tersebut, pelaksanaan konvensi-konvensi tersebut tidak berjalan lancar.

Akibatnya, Panel Lintas Pemerintah untuk Perubahan Iklim (Intergovermental Panel on Climate Change/IPCC), yang bertugas memonitor perkembangan pelaksanaan kesepakatan konvensi perubahan iklim sedunia, menyampaikan perkiraan dalam konferensi perubahan iklim di Paris (2014) bahwa iklim menunjukkan perubahan ke arah naiknya suhu bumi menuju 1,5 derajat celsius pada kurun waktu tahun 2030 ke tahun 2060.

Gumpalan gunung es di Kutub Utara semakin mencair, memengaruhi kenaikan muka laut, sehingga mengancam keberadaan pulau-pulau seperti Maladewa di laut India, serta Pulau Tuvalu, Kiribati, dan Pulau Marshall di Lautan Pasifik.

Masyarakat dunia diingatkan bahwa unsur-unsur perubahan iklim bakal terjadi pada 2030-2060. Pertandanya antara lain muka laut mulai naik dan diikuti banjir rob dan penurunan lahan (land subsidence).

Antisipasi Indonesia

Dalam kaitan ini, Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin pemerintah kita saat ini telah tanggap dengan mengambil langkah penanggulangan dampak naiknya muka laut dan turunnya muka tanah dari ancaman perubahan iklim, dengan membangun tanggul lepas pantai dan fasilitas penyelamatan Semarang-Demak sebagai bagian dari rencana penyelamatan pantai utara Pulau Jawa dari Jakarta hingga Surabaya.

Hal ini diharapkan bakal dilanjutkan oleh presiden terpilih Republik Indonesia yang akan datang, agar upaya menyelamatkan pulau-pulau Nusantara lainnya yang bakal terancam di masa-masa datang terus berlanjut, guna melanjutkan pembangunan Monumen Nusantara Republik Indonesia dari ancaman perubahan iklim.

Dengan berbagai langkah tersebut, diharapkan Tanah Air Nusantara tetap tegar lestari pada ulang tahun ke-100 pada tahun 2045.

 

Prof. Emil Salim, Ph.D.
Anggota Akademisi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Guru Besar Emeritus FEB UI

Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas 05 Juni 2023

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.