Opini

no image

Pelecehan Budaya di Perkotaan, Eko Budihardjo

26 June 2012
Oleh : Eko Budihardjo
Unduh PDF


Artikel ini pertama kali diterbikan di harian Kompas

Kasus ‘pelecehan budaya’ terhadap bangunan bersejarah nyaris terjadi di Kota Solo yang notabene merupakan kota bersejarah. Terkisah, seorang pengusaha besar berencana membangun mal dan hotel bertingkat 13 di dalam Benteng Vastenburg. Padahal, semua orang tahu, benteng itu merupakan jati diri sejarah Kota Solo. 

Keberadaan benteng yang dibangun Belanda tahun 1745 itu memberi sense of continuity, sense of place, dan sense of pride bagi seluruh warga. Bukan hanya warga Solo, tetapi juga seluruh warga Indonesia. Benteng Vastenburg adalah salah satu benteng yang masih tersisa sebagai bukti peninggalan sejarah perjuangan bangsa. Memang ada yang menyoal, buat apa memelihara dan menjaga bangunan kolonial peninggalan Belanda yang 350 tahun menjajah kita. Namun, sejarah adalah sejarah. History is history, not his story. 

Tidak sepatutnya sejarah ditutup-tutupi, apalagi diingkari. Lagi pula, generasi tua bisa berkisah kepada generasi penerus bahwa dulu kita pernah dijajah. Namun, penjajah berhasil diusir pahlawan yang berbekal bambu runcing. Berbeda dari negara-negara jiran. Kemerdekaan mereka didapat tanpa harus menumpahkan darah. Sebagai benteng berusia 264 tahun, sama dengan usia Kota Solo, ditambah kisah kesejarahan dan kepahlawanan yang dikandungnya, benteng kuno itu jelas masuk kategori pusaka budaya yang wajib dilestarikan. 

Undang-undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Surat Keputusan Wali Kota Nomor 646 Tahun 1997 tentang Penetapan Bangunan Kuno di Kota Surakarta juga sudah memberikan kekuatan hukum tentang status Benteng Vastenburg. Mengapa terjadi gonjangganjing dan hiruk-pikuk berkepanjangan seputar jati diri sejarah Kota Solo? 

“Sindrom Sumpit” 
Penyulut konflik pro dan kontra yang panas itu berawal dari berita bahwa rencana pembangunan mal dan hotel bertingkat di dalam Benteng Vastenburg itu sudah mendapat izin, disertai syaratsyarat tertentu dari Direktorat Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.

Menoleh ke belakang, beberapa waktu lalu ada kisah serupa di Semarang. Pasar Johar karya Thomas Karsten, yang merupakan pasar terbesar dan terunik se-Asia Tenggara pada zamannya, juga nyaris dibongkar. Seorang pengusaha dari Jakarta berniat membangun mal “Johar Baru” berlantai enam, dengan membongkar Pasar Johar yang sudah menjadi salah satu ikon Kota Semarang. Untung para arsitek, perencana kota, sejarawan, dan budayawan berhasil meyakinkan Wali Kota Semarang sehingga musibah lenyapnya karya arsitektur “cap jempol” atau signature architecture itu tidak terjadi. 

Tragedi hilangnya bangunan kuno bersejarah untuk bangunan baru yang modern mencakar langit dengan orientasi komersial itu ditengarai sebagai “Chopstick Syndrome” atau “Sindrom Sumpit”. Istilah itu diungkapkan Jennifer Chen dalam tulisan “Race Against Time” (Futurare : New Architecture, 2007). Dia berkisah tentang bermunculannya bangunan-bangunan tinggi secara sporadis, ramping, mencuat, tampak bagai sumpit. Bangunan-bangunan kuno yang sudah hadir sebelumnya tampak kerdil, bahkan banyak yang tergusur atau lenyap sama sekali. 

Segenap warga kota lantas tertimpa nasib sial yang lazim disebut historical loss. Yang lebih memprihatinkan, kebanyakan bangunan modern yang menggantikannya lebih merupakan jiplakan bangunan serupa di negara Barat. Dengan amat menyengat, Jennifer Chen mengecam merebaknya “sumpit-sumpit” bangunan tinggi yang ternyata menyuguhkan “repetitive cityscape...creating urban landscape that all look the same...resulting in monotony and boredom” Tegakah kita membiarkan monumen bersejarah Benteng Vastenburg dikerdilkan oleh “sumpit” baru karya cipta para money-men (pinjam istilah Prof. Satjipto Rahardjo). Silakan membangun karya arsitektur baru di dalam benteng Vastenburg sesuai tuntutan jaman, akan tetapi harus dengan kepekaan yang tinggi terhadap skala dan bentuknya supaya tidak melecehkan bentengnya itu sendiri. 

Strategi Penyelamatan 
Lebih dulu kita harus sepakat bahwa kota adalah panggung kenangan kolektif dari seluruh warganya sebagai karya seni sosial dalam bentuk mosaik kolase waktu dan peristiwa yang teraga. Di sisi lain, semua pihak juga harus mewaspadai kecenderungan kota sebagi ladang pertempuran ekonomi serta kancah pertarungan politik dan kekuasaan. Untuk mempertahankan eksistensi berbagai bangunan kuno bersejarah menghadapi gelombang Manhattanization atau McDonaldization diperlukan strategi penyelamatan berupa konservasi yang dinamik. 

Tuntutan sejumlah komponen warga Solo agar Benteng Vastenburg dikembalikan utuh dalam bentuk asli dan harus menjadi milik negara tampaknya ideal, tetapi agak kurang masuk akal. Selain menyangkut biaya ratusan miliar rupliah, juga tidak terlalu banyak manfaatnya bagi mayoritas rakyat. Preservasi yang statis atau pengawetan bangunan kuno mungkin hanya tepat untuk monumen, seperti Candi Borobudur, Prambanan, Mendut dan Pawon. 

Namun untuk bangunan kuno di perkotaan, seyogianya mengacu pada strategi konservasi yang direkomendasikan Bank Dunia (Historic Cities and Sacred Sites, 2001). Pertama, segenap pihak harus menjaga konteks perkotaan agar tetap utuh, ditilik dari kacamata sejarah dan budayanya. Kedua, harus dilakukan upaya-upaya untuk merevitalisasi kawasan bersejarah agar dapat ikut menghidupkan ekonomi perkotaan. Ketiga, perhatian harus tercurah pada penguatan saling berhubungan yang bersifat simbiosis mutualisme dengan lingkungan sekitar. Keempat, harapan, aspirasi dan dambaan warga masyarakat yang selalu berkembang harus diwadahi agar dapat menumbuhkan rasa mimiliki, kepedulian, kebanggaan dan tanggung jawab. Kelima, adaptasi terhadap fungsi baru untuk bangunan kuno, dikenal dengan istilah adaptive reuse, harus selalu dilakukan dengan penuh kecermatan dan kepekaan. 

Dari kelima butir rekomendasi itu, tampak pembangunan dan konservasi, modern dan antik, baru dan lama, masa depan dan masa lampau, harus dipadupadankan agar harmonis, selaras, serasi, seimbang. Ibarat kaki kanan dan kaki kiri yang tidak pernah saling menjegal. Bangunan baru yang modern, bahkan pascamodern sekalipun, boleh saja hadir di kawasan bersejarah, tetapi dirancang dengan amat hati-hati. Suasana lingkungan harus dijaga, skala dan ktinggian bangunan harus diperhitungkan, koefisien dasar bangunan tidak boleh dilanggar dan lain-lain.

Contoh-contoh seperti Glass Pyramid karya Ioh Ming Pei di Museum Louvre, Paris atau Dome transparan di atas gedung parlemen Jerman di Berlin bisa jadi bahan pertimbangan kita. Berdasar contoh-contoh di negara Barat itulah saya beserta teman-teman arsitek dan arkeolog dari UNDIP, UGM, dan UNS yang tergabung dalam Tim Kajian Cagar Budaya Jawa Tengan berkeberatan bila kawasan eks Pabrik Es Saripetojo diusulkan sebagai situs tinggalan purbakala. Bila statusnya ditetapkan sebagai ancient sites maka tidak aka nada peluang untuk hadirnya bangunan baru di kawasan tersebut. Rekomendasi yang dianjurkan adalah agar kawasan tersebut ditetapkan kawasan cagar budaya (conservation areas) yang memungkinkan untuk dibangunnya karya arsitektur yang baru.

Bangunan kuno bersejarah yang memiliki nilai estetika, mewakili ragam dan gaya (style) Arsitektur Indisch, masih autentik, seperti eks rumah jabatan manajer pabrik memang wajib dilestarikan. Namun bangunan pabrik yang sudah terbakar dua kali, tandon air, sekolah taman kanak-kanak, bedeng-bedeng rumah pegawai, yang tidak cukup kuat untuk ditetapkan sebagai benda cagar budaya, mesti direlakan untuk tidak usah dibangun kembali. Kerangka dan struktur utama bangunan pabrik masih bisa dimanfaatkan dengan prinsip Adaptive Reuse untuk fungsi lain. 

Vandalisme Perencanaan 
Beberapa tahun silam, seorang unsur pimpinan Asosiasi Pemerintahan Kota Se-Indonesia mengemukakan, lebih dari 80 persen rencana kota di Indonesia tidak terlaksana seperti yang telah ditetapkan. Majalah The Economist (September 2009) mengangkat soal vandalisme ekonomi yang mengakibatkan resesi. Dalam ranah disiplin ilmu dan profesi perencanaan kota, sebenarnya banyak terjadi vandalism perencanaan perkotaan, tanpa anksi bagi pelanggarnya.

Kini kita merasakan akibatnya. Banyak taman kota, tempat bermain, dan lapangan olah raga yang menghilang, disulap jadi bangunan komersial. Banyak bangunan kuno bersejarah diganti bangunan modern dan post-modern yang tak berjiwa. Kawasan kumuh dan liar pun merebak tanpa kendali. Penduduk miskin perkotaan kian dipinggirkan. 

Selain itu, macetnya lalu lintas karena rencana pembangunan transportasi massal terkendala berbagai factor, termasuk lobi kuat para produsen mobil. Pertumbuhan kota yang kian melebar, melahap tanah-tanah subur di sekitarnya, menyulitkan penyediaan infrastrukturnya. Contoh paling jelek dipertontonkan kota Jakarta, satu-satunya megalopolis ibu kota Negara. Coba tengok, makam di tengah kota berubah menjadi apartemen mewah menjulang tinggi. Biasanya pemandangan yang didambakan adalah laut, gunung, taman, dan kolam. Namun, di apartemen itu tampaknya kuburan menjadi pemandangan utama. 

Lebih mengherankan lagi, makam menjadi kantor pemerintah. Di desa-desa, kuburan di pinggir dusun sungguh dihormati, bahkan amat sangat disegani. Oleh masyarakat setempat, makam desa disebut setana (istana). Mana ada orang desa berani mengubah fungsi setana menjadi perumahan atau perkantoran. Jangan lupa, kuburan termasuk kategori ruang terbuka hijau yang wajib dilestarikan. 

UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan, di perkotaan wajib tersedia 30 persen ruang terbuka hijau, terdiri dari 20 persen ruang terbuka hijau publik dan 10 persen ruang terbuka hijau privat. Berapa total luas ruang terbuka hijau Jakarta? Dalam catatan saya tinggal 9,8 persen, amat jauh dari ketentuan UU. 

Bagaimana Jakarta menanggulangi banjir tiap musim hujan jika ruang terbuka hijau begitu minim? Belum lagi fenomena perubahan iklim yang berdampak naiknya permukaan air laut. 

Contoh jelek lain yang amat merisaukan adalah sistem transportasi umum. Tahun 1970-an, Bangkok dikenal sebagai kota paling macet. Predikat itu rupanya sudah pindah ke Jakarta. 

Semua orang tahu, alternatife terbaik untuk mengatasi kemacetan lalu lintas kota Jakarta adalah Mass Rapid Transit (MRT) di bawah tanah atau kereta api atas tanah, bukan mengambil lahan seperti model Trans Jakarta. Tidak kalah mengerikan, dosa kembar: kegilaan membangun segala hal yang gigantik di pusat kota yang sudah sumpek dan pemekaran kota tanpa kendali “mencaplok” daerah belakang menjadi kawasan konurbasi. 

Langkah Perbaikan 
Ada dua langkah perbaikan utama untuk menanggulangi pelecehan budaya dan tata ruang kota. Pertama, terkait aspek perencanaan prosedural, menyangkut tata pemerintahan yang baik, proses pengambilan keputusan yang demokratis, melibatkan segenap pemangku kepentingan, dan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Kedua, terkait aspek perencanaan substansial yang lebih realistis, pragmatis, tetapi juga visioner, berwawasan jangka panjang, berlandaskan budaya.

Untuk itu kita perlu beberapa tindakan nyata. Pertama, mencegah kecenderungan bunuh diri ekologis perkotaan, dengan menjaga eksistensi ruang terbuka yang tersisa, menambah ruang terbuka hijau yang baru, dan menerapkan prinsip kota hijau, sejalan dengan pemikiran Simonds tentang ‘ecological suicide’ (1978). Kedua, meneguhkan tekad membangun sistem transportasi publik terpadu, mengurangi ketergantungan pada kendaraan pribadi, yang amat menghemat energi dan bisa menangkal dampak negatife emisi karbon dan gas rumah kaca. Ketiga, mengupayakan keseimbangan dinamis antara kota dan desa, menggalakkan pembangunan kotakota baru mandiri, menciptakan kota-kota yang kompak berskala manusia, dengan prinsip interdependensi. Keempat, mengurangi kesenjangan ekonomi antar warga kota yang berpotensi memicu kecemburuan sosial,melalui perencanaan komunitas yang mampu menggairahkan solidaritas sosial, mencegah gejala eksklusivisme. Kelima, menggalakkan aneka program yang memberi peluang untuk distribusi sumber daya alam, manusia (kependudukan), modal/finansial, kelembagaan (institusional) dan teknologi, secara merata dan berimbang. 


Guru Besar Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro, Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). 

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.