Opini

no image

Dejawatanisasi Pendidikan, Satryo Soemantri Brodjonegoro

09 March 2013
Oleh : Satryo S. Brodjonegoro
Unduh PDF


Artikel ini pertama kali diterbikan di harian Kompas

Ketertinggalan pendidikan kita bila dibandingkan dengan negara lain bukan karena pendidikan kita tidak mengalami kemajuan, tetapi lebih karena negara lain mengalami kemajuan yang jauh lebih pesat daripada kita

Pesatnya perkembangan pendidikan di negara lain terjadi karena suburnya iklim berkreasi dalam bidang pendidikan. Baik guru-murid maupun dosen-mahasiswa mempunyai daya kreativitas yang tinggi sehingga mampu melahirkan berbagai konsep pendidikan yang maju. 

Kemajuan pendidikan kita lamban karena tidak ada ruang kreativitas untuk mengembangkan pendidikan sesuai tantangan zaman. Baik guru-murid maupun dosen-mahasiswa tidak mendapat kesempatan berkreasi karena sistem pendidikan kita menganut pola jawatan-birokratis. Seluruh kebijakan ditetapkan pemerintah dalam bentuk peraturan perundangan yang harus dipatuhi oleh baik guru-murid maupun dosen-mahasiswa layaknya sebuah instansi pemerintah.

Pola Jawatan 
Artinya, sampai saat ini sekolah dan perguruan tinggi negeri dikategorikan sebagai satuan kerja pemerintah, sedangkan guru dan dosen dikategorikan sebagai pegawai pemerintah. Maka, sekolah dan perguruan tinggi tidak dapat berkreasi karena harus sepenuhnya patuh, termasuk organisasi, tata kerja, dan pengelolaan sumber dayanya. 

Kreativitas mati karena terikat pada peraturan kepegawaian yang berlaku. Semua sekolah dan perguruan tinggi harus mempunyai organisasi dan tata kerja yang sama sesuai ketentuan kementerian dan lembaga pemerintah nondepartemen. Karena itu, tidak ada keunikan bagi sekolah/perguruan tinggi dan guru/dosen karena semua harus mematuhi peraturan perundangan sehingga sama dengan yang lainnya. 

Padahal, kunci kemajuan pendidikan adalah pada daya kreasi para insan pendidikannya. Daya kreasi tersebut hanya mungkin terjadi apabila lembaga dan insan pendidikan otonom, bukan pegawai pemerintah dengan mentalitas pegawai.

Karena itu, pola pikir dan pola kerjanya adalah pola jawatan-kantor-birokrasi. Tampak jelas kunci keberhasilan pendidikan kita terletak pada tata kelola lembaga dan insan pendidikan, bukan semata-mata kepada kemampuan intelektualitas insan pendidikan kita ataupun besarnya anggaran pendidikan. 

Perubahan paradigma pendidikan kita harus segera ditempuh jika tidak kita akan terus-menerus tertinggal oleh negara lainnya. Tanpa perubahan paradigma, pendidikan kita tidak akan bermanfaat bagi rakyat Indonesia. Inilah saatnya kita melakukan reformasi pendidikan dengan menjadikan lembaga dan insan pendidikan sebagai entitas otonom dan akuntabel. 

Lembaga pendidikan tidak lagi sebagai jawatan-kantor-satuan kerja pemerintah, dan insan pendidikan tidak lagi sebagai pegawai pemerintah. Dengan demikian, kreasi dan kreativitas dalam bidang pendidikan dapat terjadi dan berkembang sesuai dengan kondisi dan kemampuan masingmasing demi memacu peningkatan mutu.

Urusan Anggaran 
Mengapa selama ini sebagai satuan kerja dan pegawai pemerintah? Tentu karena peraturan perundangan menyatakan bahwa anggaran pemerintah hanya dapat diberikan kepada instansi pemerintah dan pegawai pemerintah. Jika hanya itu kendalanya, seharusnya dapat dicarikan jalan keluar sehingga lembaga yang otonom dan insan pendidikan yang otonom dapat menerima anggaran pemerintah, yaitu dengan merevisi undang-undang keuangan negara.

Di banyak negara, lembaga pendidikannya otonom dan juga insan pendidikannya otonom, dan mereka mendapatkan pendanaan penuh dari pemerintah. Pendanaan tersebut diberikan bukan karena status lembaga, tetapi karena fungsinya, yaitu menjalankan pendidikan. UUD 1945 menyatakan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab negara, dan hal ini dapat diwujudkan seandainya pemerintah mendanai fungsi pendidikan baik lembaga pemerintah maupun swasta.

Dengan menjadikan lembaga pendidikan sebagai entitas yang otonom dan insan pendidikan sebagai profesi yang otonom, tidak ada lagi dikotomi antara lembaga pendidikan negeri dan swasta, antara lembaga pendidikan umum dan agama, serta antara lembaga pendidikan umum dan kedinasan.

Dengan memberi otonomi kepada lembaga dan insan pendidikan, pemerintah justru memberdayakan lembaga dan insan pendidikan dalam meningkatkan mutu pendidikan sesuai dengan kondisi dan kapasitasnya.

Otonomi sebenarnya kunci keberhasilan pendidikan karena otonomi menciptakan generasi mendatang yang punya daya nalar kritis. kreatif, dan visioner. Hakikat pendidikan sebenarnya adalah kebebasan berpikir dan mengambil keputusan secara bertanggung jawab.


Dirjen Dikti (1999-2007); Guru Besar Emeritus ITB; Wakil Ketua (AIPI), Konsil Kedokteran Indonesia

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.