Opini

no image

 Mendongkrak Inovasi Indonesia

02 February 2023
Oleh : Terry Mart
Unduh PDF


Pragmatisme merasuki hampir semua pembuat keputusan bidang pendidikan, termasuk universitas riset. Mau dibawa ke mana universitas riset oleh program Kampus Merdeka dengan perspektif pragmatis dan vokasionalnya?

Tulisan Agus Suwignyo (Kompas, 10/1/2023) mengungkapkan kegundahan akademisi yang masih bersemangat memperbaiki kondisi pendidikan kita.

Tak banyak orang seperti Agus Suwignyo saat ini, di saat pragmatisme merasuki hampir semua pembuat keputusan. Salah satu kegundahannya, yang menyentak perhatian saya, adalah masa depan universitas riset.

Mau dibawa ke mana universitas riset oleh program Kampus Merdeka dengan perspektif pragmatis dan vokasionalnya? Bagaimana dengan penelitian arkeologi, filsafat, sejarah, sastra Jawa, dan sebagainya, yang jauh dari bau industri? Saya merasakan kegundahan yang sama, mungkin karena latar belakang saya sebagai pegiat fisika teori.

Lambat laun, perspektif ini juga mulai merasuki lingkungan akademisi. Mulai ada yang membenturkan istilah universitas riset dengan universitas inovasi, dengan pengertian pragmatis bahwa universitas riset sebagai penghasil paper di jurnal, sedangkan universitas inovasi sebagai penghasil produk yang dapat langsung masuk dunia industri.

Padahal, pemikiran semacam ini tampaknya bersumber dari salah kaprah tentang inovasi. Inovasi diartikan melulu sebagai sesuatu yang langsung menghasilkan keuntungan ekonomis. Jauh dari pengertian inovasi yang hakiki. Sementara inovasi merupakan syarat mutlak riset agar ada kebaruan (novelty).

Jika dalam hal riset kita sering mendengar peringkat perguruan tinggi (PT) kita selalu di bawah PT tetangga, peringkat indeks inovasi kita juga tak menggembirakan. Secara rerata, Global Innovation Index (GII) 2022 menempatkan Indonesia di posisi ke-75 dari 132 negara, di bawah Filipina (50), Vietnam (48), Thailand (43), Malaysia (36), dan Singapura (7).

Tampak ada perbaikan karena tahun 2021 posisi kita di peringkat ke-87. Namun, tahun lalu dalam GII 2021 peringkat kita juga di bawah Filipina (51), Vietnam (44), Thailand (43), Malaysia (36), dan Singapura (8). Apa yang terjadi di negara kita dibandingkan dengan tetangga kita?

 Definisi inovasi

Definisi inovasi jelas tidak unik. Definisi yang dapat memuaskan semua pihak tampaknya mustahil ada. Bahkan, para ahli inovasi, motivator, ataupun penulis buku juga memiliki definisi berbeda-beda. Bagaimana jika dicari melalui Google? Tak membantu, karena ada lebih dari empat miliar tautan situs ditemukan. Bagaimana dengan kamus? Kemungkinan besar sudah ketinggalan zaman.

Mungkin, definisi yang cukup baik adalah versi seorang motivator bernama Nick Skillicorn, dalam situsnya, Idea to Value. Situs ini menampilkan hasil wawancara terhadap 26 pakar inovasi yang merupakan pembicara, motivator, dan penulis buku tentang inovasi. Hasilnya? Tetap saja berbeda-beda. Definisi-definisi itu dianalisis dan diciutkan menjadi satu saja. Tidak semua definisi dapat dianalisis. Definisi Stefan Lindegaard berupa: ”I try not to define innovation” serta ”Stop talking about innovation” tentu saja kurang bermanfaat di sini.

Dua poin penting muncul dalam semua definisi inovasi, yaitu memiliki ide baru yang bermanfaat dan mengeksekusi ide itu. Sebagai definisi finalnya: ”Inovasi adalah mengeksekusi ide yang menjawab tantangan spesifik dan mencapai nilai bagi pelanggan dan perusahaan”.

Inovasi diartikan melulu sebagai sesuatu yang langsung menghasilkan keuntungan ekonomis. Jauh dari pengertian inovasi yang hakiki. Sementara inovasi merupakan syarat mutlak riset agar ada kebaruan ( novelty).

Definisi ini pun, menurut saya, belum lengkap karena tidak memasukkan ”memiliki ide” terlebih dahulu sebelum mengeksekusinya. Dengan demikian, saya yakin bahwa definisi inovasi itu ialah ”memiliki ide baru yang bermanfaat dan mampu mengeksekusinya untuk mendapatkan nilai tambah bagi umat manusia dan lingkungannya”. Karena syarat untuk mendapatkan ide baru adalah kreativitas, jelas hanya bangsa yang kreatif yang umumnya sangat inovatif.

Sebagai catatan, Idea to Value mengutip bahwa hanya 4 persen inovasi yang menghasilkan keuntungan. Sisanya, 96 persen, gagal!

 

Indeks inovasi global

Definisi itu menyiratkan bahwa indeks inovasi yang ideal seharusnya merupakan parameter yang dapat mengukur inovasi sejak dimulai dari ide baru hingga memberikan keuntungan ekonomis. GII menyadari tak ada parameter tunggal seperti itu sehingga digunakan tujuh pilar penilaian, yaitu institusi, sumber daya manusia dan riset, infrastruktur, kecanggihan pasar, kecanggihan bisnis, output saintek, dan output kreatif.

Uniknya, dari tujuh pilar ini, ada lima pilar input dan hanya dua pilar output sehingga negara-negara yang ingin jalan pintas langsung mendapatkan inovasi tanpa memperbaiki sumber daya dan tanpa melakukan riset, sulit mendapat peringkat unggul di sini. Tujuh pilar ini kemudian diturunkan menjadi 81 indikator. Laporan GII 2022 tak memberikan indikator secara eksplisit, tetapi berbeda halnya dengan GII 2021.

Dengan peringkat ke-75 dari 132 negara, jelas kita berada di bawah median (66). Kecuali untuk kecanggihan pasar (36), semua pilar penilaian kita berada di bawah median. Dua pilar terbawah yang menjadi PR terbesar pemerintah saat ini adalah sumber daya manusia dan riset (90) dan kecanggihan bisnis (92).

Dalam hal sumber daya manusia, penilaian meliputi persentase produk domestik bruto (PDB) yang dihabiskan untuk pendidikan, nilai literasi PISA siswa kita, jumlah mahasiswa pascasarjana bidang sains dan rekayasa, persentase PDB untuk riset, dan peringkat universitas versi QS. Dalam hal kecanggihan bisnis, penilaian meliputi pekerja berpengetahuan, kolaborasi universitas-industri, dan penyerapan pengetahuan.

Mungkin banyak yang mengira kita minim kolaborasi tersebut. Namun, GII 2021 meletakkan Indonesia pada peringkat ke-27 dalam hal ini, jauh di atas median! Bahkan, dua catatan khusus GII untuk kolaborasi universitas-industri kita, yaitu sebagai kekuatan negara serta kekuatan untuk kelompok negara dengan pendapatan setara. Mengejutkan, karena selama ini para akademisi dituduh duduk di menara gading, sibuk dengan teori dan makalah.

Kualitas pendidikan kita belum merata. Siswa yang dikirim ke Olimpiade adalah siswa terbaik, sementara yang disurvei oleh PISA sebaliknya.

Nilai literasi PISA siswa kita merupakan masalah kronis. Kita selalu berada di urutan bawah dan hampir tidak bergerak selama ini, meski kita bangga mendengar siswa-siswa kita berhasil meraih medali emas dalam Olimpiade internasional. Di mana letak masalahnya? Kualitas pendidikan kita belum merata. Siswa yang dikirim ke Olimpiade adalah siswa terbaik, sementara yang disurvei oleh PISA sebaliknya.

Bagaimana dengan output saintek? Tentu saja kita tak bisa bangga karena berada di peringkat ke-78, sementara Malaysia dan Thailand ke-39 dan ke-43. Bahkan Filipina ke-41. Namun, ada yang menarik di pilar ini, yaitu sumbangan terbesar kelemahan kita salah satunya bersumber pada indikator jumlah artikel ilmiah per PDB. GII 2021 meletakkan Indonesia di peringkat ke-128 serta menandai hal ini sebagai dua kelemahan, yaitu kelemahan sebagai suatu negara dan kelemahan untuk negara yang memiliki PDB besar.

Apa yang harus diperbaiki?

Saya senang sekali menonton program inovasi yang sering ditampilkan TV Deutsche Welle. Terlihat jelas bahwa inovasi ada di mana-mana, mulai dari dapur hingga laboratorium, dari pekarangan rumah hingga ladang pertanian berskala besar. Inovasi bukan privilese ilmuwan atau praktisi industri semata. Ia milik setiap insan yang kreatif. Inovasi harus diperbaiki di semua sektor.

Definisi inovasi di atas mengharuskan kita untuk memperbaiki semua indikatornya, dari hulu hingga hilir. Di hulu, sumber utama ide untuk inovasi adalah kreativitas. Penggunaan nilai PISA siswa SMP sebagai input peringkat inovasi memberi petunjuk jelas bahwa perbaikan harus dilakukan sejak dini, tidak bisa hanya di akhir pendidikan formal di PT.

Di sini kita melihat kekurangan dalam pendidikan kita. Tak ada program peningkatan kreativitas dalam pendidikan. Dengan demikian, dua hal yang urgen dalam pendidikan kita adalah pendidikan kreativitas dan pemerataan pendidikan.

Akhirnya, pilar institusi, output saintek dan output kreatif juga harus disentuh. Di sini peranan pemerintah sangat besar karena institusi meliputi subpilar suasana politik, regulasi, dan bisnis. Sementara untuk output saintek yang meliputi subpilar penciptaan pengetahuan, dampak pengetahuan, dan difusi pengetahuan memerlukan pemberdayaan masyarakat ilmiah dan industri kita.

Meski GII 2021 memberikan peringkat ke-27 untuk kolaborasi universitas-industri kita, produk akhir kolaborasi ini juga memerlukan campur tangan pemerintah agar industri kita lebih patriotik dalam menggunakan kreativitas anak bangsa. Pilar terakhir, yaitu output kreatif, yang meliputi produk dan servis kreatif serta daring, merupakan pilar yang sangat potensial bagi Indonesia karena saya melihat potensi budaya serta talenta yang kita miliki sangat menjanjikan dalam hal ini.

 

Terry Mart,

Fisikawan Universitas Indonesia (UI) dan Anggota Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Terry Mart,
Fisikawan Universitas Indonesia (UI) dan Anggota Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

 Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas 02 Februari 2023

 

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.