Opini

no image

Prinsip Dasar Perguruan Tinggi

27 October 2022
Oleh : Satryo S. Brodjonegoro
Unduh PDF


Tidak boleh ada diskriminasi dalam menghargai PT, baik PTN dan PTS atau antara PT besar dan PT kecil. Stigma bahwa PT kecil tak sehat harus dihapus, demikian juga stigma PT kecil tak berkualitas, juga harus dihapus.

"Menyehatkan Perguruan Tinggi" adalah Tajuk Rencana Kompas 14 Oktober 2022, yang mengulas pemberitaan Kompas 12 Oktober 2022 halaman 5 yang berjudul ”Banyak Perguruan Tinggi Berskala Kecil Tidak Sehat”.

Dalam kedua ulasan itu, tak sehatnya perguruan tinggi (PT) dikarenakan PT di Indonesia didominasi sejumlah perguruan tinggi kecil dengan jumlah mahasiswa di bawah 2.000 orang.

Data Kemendikbudristek menunjukkan, dari 3.041 perguruan tinggi swasta (PTS) di seluruh Indonesia, terdapat 1.291 PTS yang belum terakreditasi sehingga dikategorikan tidak sehat. Salah satu upaya penyehatan PT oleh Kemendikbudristek adalah penggabungan PT kecil yang tak sehat agar bisa lebih kuat dan sehat.

Dalam kenyataannya, upaya penggabungan tersebut tak mudah mengingat setiap PT mempunyai karakter dan kultur masing-masing. Ego setiap PT sangat kuat meski kondisinya tidak sehat. Selama ini pola penggabungan yang efektif hanya pola akuisisi.

Tata kelola unik

Prinsip dasar PT adalah bahwa setiap PT mempunyai tata kelola yang unik dan otonom yang tertuang dalam statutanya. Oleh karena itu, PT tak dapat diperbandingkan satu dengan yang lain.

Bagaimana mungkin kita membandingkan dua entitas yang tak sama? Pola akreditasi yang dilakukan Kemendikbudristek terhadap PT adalah pola pembandingan sumber daya dan infrastruktur antar-PT dengan basis standar nasional PT. PTS yang berjumlah 1.291 yang belum terakreditasi menunjukkan mereka belum memenuhi standar nasional PT.

Apakah tak sehatnya PT karena kondisi PT yang memang lemah atau karena standar nasional PT yang tak relevan dengan keunikan setiap PT? Besar kemungkinan standar nasional PT belum bisa mengakomodasi keunikan setiap PT, bahkan sebaliknya standar nasional PT justru menekankan keseragaman, seperti halnya persekolahan.

Keunikan PT merupakan kekuatan daya tarik bagi calon mahasiswa yang sedang memilih program studi. Seandainya seluruh PT seragam seperti halnya persekolahan, maka tidak akan ada pusat-pusat studi unggulan dari berbagai bidang yang beragam dan para calon mahasiswa tidak punya pilihan program studi yang sesuai dengan passion mereka.

Seandainya standar nasional PT bisa mengakomodasi keunikan dan otonomi setiap PT, maka tak akan ada PT yang tak sehat karena setiap PT akan berperan sesuai visi-misinya. Ukuran besar atau kecil PT ditentukan oleh visi-misinya dan pemerintah seyogianya menghargai baik PT besar maupun kecil.

Tidak sedikit PT kecil yang mampu berkarya membangun masyarakat, terutama di daerah terpencil. Dengan demikian, stigma bahwa PT kecil tak sehat harus dihapus, demikian juga stigma bahwa PT kecil tak berkualitas, juga harus dihapus.

Tidak boleh ada diskriminasi dalam menghargai PT, baik antara PTN dan PTS maupun antara PT besar dan PT kecil.

Kualitas perguruan tinggi

Kemendikbudristek memakai nilai akreditasi PT untuk mengukur kualitas PT, sedangkan akreditasi PT itu berbasis input sehingga otomatis PT besar selalu dianggap berkualitas karena tinggi nilai akreditasinya. Seandainya akreditasi PT berbasis capaian (outcome), maka ukuran PT tak menentukan kualitas, tetapi ditentukan oleh kemampuan PT menyiapkan lulusannya memenuhi capaian belajar yang yang ditargetkan.

Oleh karena itu, definisi kualitas PT seyogianya diubah menjadi kemampuan PT untuk memenuhi janjinya pada pemangku kepentingan dan masyarakat. Dengan definisi ini, maka PT kecil dan PT besar dapat berkualitas sesuai tata kelola masing-masing sehingga membawa manfaat bagi masyarakat.

Keberagaman PT Indonesia harus dijadikan kekuatan untuk menyejahterakan masyarakat, bangsa, dan negara. Tidak perlu ada dikotomi PTN dan PTS, PT besar dan PT kecil.

Satryo Soemantri Brodjonegoro,
Dirjen Dikti (1999-2007); Guru Besar Emeritus ITB; Ketua AIPI, Konsil Kedokteran Indonesia.

Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas 27 Oktober 2022

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.