Opini

no image

PENURUNAN EMISI: Urgensi Komitmen Ambisius Penurunan Gas Rumah Kaca

27 October 2021
Oleh : Daniel Murdiyarso
Unduh PDF


Masalah utama Indonesia adalah besarnya porsi penggunaan batubara. Ribuan megawatt listrik sedang dan akan dibangkitkan dengan batubara. Tetapi porsi energi baru dan terbarukan harus mulai diperbesar.

Konferensi Perubahan Iklim di Glasgow, Inggris, akhir bulan ini akan menarik karena komitmen Para Pihak untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang ternyata tak terlalu ambisius akan mencuat.

Pada mulanya Nationally Determined Contribution (NDC) adalah sebuah niat menurunkan emisi GRK setiap Pihak anggota Konvensi Perubahan Iklim. Namun sejak Persetujuan Paris diratifikasi oleh lebih dari 190 negara, niat itu berubah menjadi komitmen yang dicatat dalam buku induk (registry) sekretariat Konvensi.

Pada tahun 2030, penandatangan Persetujuan Paris diharapkan dapat memangkas 30 miliar ton CO2-ekivalen, separuh lebih dari proyeksi emisi saat itu (55 miliar ton CO2-ekivalen) jika suhu bumi diharapkan tidak naik lebih dari 1,5 derajat celsius atau memangkas sepertempatnya jika harapannya tidak lebih dari 2 derajat celsius. Namun kenyataannya masih jauh panggang dari api.

Menurut Laporan Panel Antar-pemerintah tentang Perubahan Iklim yang ke-6 (IPCC AR6) yang terbit Agustus lalu, suhu rata-rata udara sudah meningkat 1,1 derajat celsius dari zaman pra-industri. Dengan kata lain, dalam kurun waktu satu dekade mendatang diperlukan ambisi yang cukup besar agar kondisi iklim tidak membahayakan umat manusia.

Meski masih ada 70 negara yang belum menyerahkan NDC yang sudah diperbarui (updated), sebagian besar negara maju masuk zona merah dan jingga.

Climate Action Tracker (CAT), sebuah lembaga independen yang memantau pencapaian target NDC, mengelompokkan 120-an negara dalam empat “zona”: hitam (critically insufficient), merah (highly insufficient), jingga (insufficient), kuning (almost sufficient), dan hijau (sufficient).

Meski masih ada 70 negara yang belum menyerahkan NDC yang sudah diperbarui (updated), sebagian besar negara maju masuk zona merah dan jingga. Indonesia pun termasuk kategori merah. Bahkan negeri jiran Singapura dan Thailand masuk ke zona hitam. Hanya satu negara kecil yang masuk zona hijau, Gambia di pantai barat Afrika.

Keadaan ini mengisyaratkan bahwa dengan ambisi NDC yang rendah, pencapaian net zero emissions di tahun 2050 akan sangat berat, apalagi dampak pandemi Covid-19 telah dan akan terus menguras kantong negara-negara yang terdampak. Ambisi penurunan emisi akan bertabrakan dengan agenda pemulihan ekonomi nasional yang antara lain akan memerlukan sumber daya alam dan kegiatan ekstraktif lainnya yang notabene menimbulkan emisi GRK yang tidak kecil.

Sektor lahan andalan Indonesia

Menurut dokumen Updated NDC yang telah disampaikan Pemerintah Indonesia kepada Sekretariat UNFCCC, komitmen penurunan emisi sukarela (unconditional) Indonesia adalah sebesar 0,84 miliar ton CO2-ekivalen (29 persen) dari prediksi emisi pada 2030. Namun target ini bisa ditingkatkan menjadi 1,17 miliar ton CO2- ekivalen (41 persen) jika negara lain membantu (conditional).

Sektor lahan di luar pertanian (Forest and Other Land Use/FOLU) nampaknya telah dan akan menjadi andalan penurunan emisi karena dari kontribusi emisinya yang 17 persen dari emisi total, pertumbuhannya hanya 0,4 persen di 2030.

Tidak heran jika pemerintah mencanangkan program FOLU Net sinks 2030. Dengan kata lain, jika deforestasi dan degradasi hutan yang sudah makin kecil ditekan terus, peluang sektor FOLU menjadi sink atau penyerap GRK memang besar.

Namun demikian, harus diingat bahwa pertumbuhan emisi sektor energi masih sekitar 7 persen hingga 2030 nanti. Hal ini disebabkan oleh tingginya penggunaan bahan bakar fosil, khususnya batubara untuk pembangkitan listrik.

Menurut Bappenas porsi batubara dalam bauran energi (energy-mix) Indonesia masih mencapai 25 persen dari semua sumber energi hingga 2045, karena itu rapor NDC Indonesia masih merah. Hal ini berarti, lahan sebagai sektor andalan hanya “buying the time” sampai sektor memperoleh solusi.

Laporan Transparansi Iklim. Tidak adanya target yang ambisius dalam dokumen NDC akan membuat emisi mencapai 1.817 mega ton setara karbon dioksida pada 2030.

NDC Indonesia dalam jangka yang panjang masih akan terbebani sektor energi. Net zero emission tahun 2050 menjadi mustahil, bahkan 2060 pun masih memiliki banyak tantangan termasuk kemungkinan terjadinya kebakaran lahan dan hutan yang peluangnya makin besar dengan menghangatnya suhu bumi.

Perlu ambisius

Kalau Konvensi Perubahan Iklim konsisten dengan tujuannya, target net zero emission tahun 2050 nampaknya tidak bisa ditawar lagi. Ambisi pengurangan secara tajam emisi (emission deep cut) harus dilakukan pada sumber (sources) karena mengandalkan penyerapan oleh rosot (sinks) terbatas kemampuannya.

Kontribusi yang adil (fair share) sektor energi (fosil) harus didorong untuk mengejar kesenjangan yang lebar antara target dan capaian penurunan emisi. Taruhannya adalah beban ekonomi yang kita wariskan ke generasi mendatang yang saat ini berusia remaja.

Studi yang dipimpin Shinichiro Fujimori dari Universitas Kyoto yang baru diterbitkan di jurnal Nature Climate Change menunjukkan bahwa menunda penurunan emisi akan menekan laju pertumbuhan ekonomi. Dengan mengambil contoh dari beberapa negara Asia, termasuk Indonesia, studi ini menunjukkan bahwa laju pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) akan turun hingga 4 persen jika kita membiarkan emisi tumbuh dengan laju seperti sekarang (business as usual).

Masalah utama Indonesia adalah besarnya porsi penggunaan batubara.

Masalah utama Indonesia adalah besarnya porsi penggunaan batubara. Ribuan megawatt listrik sedang dan akan dibangkitkan dengan batubara. Kontrak-kontrak pembangunan PLTU dengan investor yang sudah ditandatangani dan berjalan tentu sulit untuk dibatalkan. Tetapi porsi energi baru dan terbarukan harus mulai diperbesar tanpa menunggu batubara habis.

Ambisi Indonesia harus ditingkatkan di sektor ini dengan jangka waktu yang relatif cepat. Biaya penurunan emisinya mungkin akan lebih rendah dari Rp 7.000 triliun yang diumumkan pemerintah belakangan ini. COP26 di Glasgow akan sangat ditunggu keputusannya, terutama dalam mengesahkan Paris Rulebook yang tak kunjung selesai sejak COP21 dan mekanisme pasar perdagangan karbon yang transparan.

 

Daniel Murdiyarso,
Guru Besar Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas,27 Oktober 2021

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.