Opini

no image

Pertaruhan RUU Pertanahan

15 August 2019
Oleh : Maria S.W. Sumardjono
Unduh PDF


Artikel ini pertama kali diterbitkan di Harian Kompas

Pernyataan Pemerintah dan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pertanahan (RUUP) bahwa RUUP akan disahkan pada akhir September 2019 menuai reaksi dari berbagai kalangan untuk menunda pengesahannya. Substansi RUUP dinilai bermasalah, di samping belum mengakomodasi kepentingan kelompok masyarakat yang seharusnya dijangkau.

RUUP hasil pembahasan Panja RUUP pada 21-23 Juni 2019 belum mengakomodasikan usulan ketentuan tentang Hak Bangsa. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia.

Negara “menguasai” bumi, dan sebagainya itu untuk menjalankan amanah dan dengan demikian bertanggung jawab kepada bangsa, agar tercapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.

RUUP juga menegasikan pluralisme hukum karena menghapus ketentuan tentang prinsip penguasaan dan pemilikan tanah berdasarkan hukum adat. Hal ini membuka peluang untuk menafsirkan secara bebas berbagai asas misalnya, asas pemisahan horizontal dengan berbagai implikasi hukumnya.

Substansi RUUP dinilai bermasalah, di samping belum mengakomodasi kepentingan kelompok masyarakat yang seharusnya dijangkau.

Isu krusial

Berbagai isu krusial masih ditemukan dalam RUUP, antara lain, pertama, kewenangan atas tanah, ruang, dan kawasan (tanpa diberikan definisinya) dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah (pemda). Bagaimana dengan pemerintah desa dan masyarakat hukum adat (MHA)?

Menurut UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa itu mempunyai kewenangan berdasarkan hak asal-usul, antara lain: mengatur dan mengurus sumber daya alam (SDA), tanah ulayat dan tanah desa.

Demikian juga dalam lingkup wilayah MHA, ada kewenangan MHA yang beraspek publik yakni mengatur tanah, perairan, hutan dan SDA (obyek hak ulayat) di atas wilayah tersebut terkait dengan pemanfaatan, hubungan hukum dan perbuatan hukum mengenai obyek hak ulayat.

Kedua, kedudukan Hak Pengelolaan (HPL). HPL yang semula berkedudukan sebagai ”fungsi” (publik) pengelolaan itu dalam RUUP dikukuhkan sebagai “hak” yang bersifat keperdataan. Hak atas tanah pihak ketiga yang diberikan di atas tanah HPL itu dapat dialihkan dan dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.

Puluhan petani dari Suku Anak Dalam, Jambi melakukan unjuk rasa dengan menduduki dan menginap di pintu gerbang depan Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (15/12). Para petani tersebut berupaya mengadukan tanah ulayat adat yang diambil secara sepihak oleh sebuah perusahaan kelapa sawit kepada wakil rakyat di DPR.

HPL juga dapat dialihkan dan dilepaskan kepada pihak lain. Perlu dipahami bahwa jika tanah HPL itu merupakan aset, maka hubungan keperdataan antara pemegang HPL dengan pihak ketiga/mitra tunduk pada aturan hukum tentang pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D) sebagai lex specialis.

Berbagai isu krusial masih ditemukan dalam RUUP, antara lain pertama, kewenangan atas tanah, ruang, dan kawasan (tanpa diberikan definisinya) dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah (pemda).

Pelepasan dan pemindahtanganan tanah HPL sebagai aset juga sudah diatur. Jika perbuatan hukum terkait aset melanggar UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan peraturan terkait pengelolaan BMN/D (PP No 27 Tahun 2014) itu berdampak terhadap kerugian negara, maka akibat hukumnya sudah jelas. RUUP itu tak diposisikan untuk merancang aturan yang menyimpangi peraturan tentang aset.

Ketiga, pengukuhan keberadaan hak ulayat MHA diusulkan oleh pemda dan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri. Perlu ditegaskan, penetapan subyek hak ulayat dikoordinasikan oleh pemda dengan dibantu oleh kepanitiaan multi pihak; tetapi kepastian hukum tentang obyek hak ulayat itu tanggung jawab Kementerian ATR/BPN. Sinergi antara dua kementerian diwujudkan dalam suatu penetapan kepala daerah (SK) sesuai ruang lingkup wilayah hak ulayat, yang proses penetapannya dapat ditempuh secara simultan.

Rumusan bahwa pengukuhan keberadaan Hak Ulayat MHA dilaksanakan setelah dilakukan penetapan batas dan pemetaannya itu tidak tepat. Berbagai perda atau SK kepala daerah yang sudah terbit pada umumnya belum dilengkapi pemetaan wilayah hak ulayat. Intinya adalah, bahwa dalam setiap penetapan pengukuhan keberadaan Hak Ulayat, harus dilampiri dengan peta wilayah hak ulayat MHA yang bersangkutan.

RUUP menghapus ketentuan tentang pemberian Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) di atas tanah ulayat. Artinya tanah (hak) ulayat MHA tak diakui sebagai entitas, di samping tanah negara dan tanah hak (HM, HGU, HGB, HP) sesuai Pasal 2 UUPA dan Penjelasan Umum II.2.

Ini merupakan langkah mundur, dibandingkan dengan rintisan yang dibuka melalui Pasal 4 Ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat MHA.

Berbagai perda atau SK kepala daerah yang sudah terbit pada umumnya belum dilengkapi pemetaan wilayah hak ulayat.

Merupakan suatu ironi, ketika ketentuan tentang kedudukan HPL yang ”salah kaprah” diperkuat, tetapi pengakuan dan penghormatan terhadap hak ulayat MHA yang dijamin oleh Konstitusi (Pasal 18B Ayat (2) justru diperlemah melalui penghapusan ketentuan tentang pemberian HGU dan HGB di atas tanah hak ulayat secara langsung. Hak Milik (HM) dapat diberikan kepada perseorangan di atas tanah ulayat melalui pelepasan bagian tanah ulayat yang akan diberikan dengan HM (Pasal 12).

Keempat, pemerintah menetapkan batas maksimum penguasaan tanah. Luasan maksimum seyogianya ditetapkan setelah melalui kajian karena perbedaan karakter hak atas tanah, besaran modal, skala usaha, jenis usaha, dan lain-lain. Luasan yang telah ditetapkan dalam peraturan pelaksanaan UU itu pun pada suatu saat bisa berubah karena kemajuan teknologi dan lain-lain.

Pemegang hak yang menguasai dan memiliki tanah melebihi batas maksimum, harus melepaskan kelebihan tanahnya atau dikenakan pajak progresif. Ketentuan tentang opsi itu tidak adil ketika dibandingkan dengan ketentuan land reform yang menyebutkan bahwa pemegang hak milik atas tanah pertanian yang melebihi batas maksimum wajib melepaskan tanah kelebihannya.

Pemegang hak yang menguasai dan memiliki tanah melebihi batas maksimum, harus melepaskan kelebihan tanahnya atau dikenakan pajak progresif.

Pengaturan tentang perubahan rencana tata ruang juga rancu. Dalam Pasal 22 Ayat (2) dan (3) disebutkan bahwa jika terjadi perubahan tata ruang, pemegang hak atas tanah wajib menyesuaikan haknya dan jika hal ini tidak dilakukan maka pemerintah atau pemda dapat mengambil alih tanah yang bersangkutan dengan ganti kerugian.

Ketegasan tersebut menjadi rancu ketika dalam Pasal 22 Ayat (4) dinyatakan bahwa dalam hal tanahnya masih dikuasai dan dimanfaatkan oleh pemegang hak dengan menyesuaikan hak atas tanahnya, maka pemegang hak atas tanah wajib menyerahkan 50 persen dari luas bidang tanah yang terkena perubahan rencana tata ruang kepada pemerintah atau pemda dengan ganti kerugian.

Apa bedanya melakukan penyesuaian hak dan tidak, karena jika taat aturan pun tetap harus melepaskan 50 persen luas bidang tanahnya yang terkena perubahan rencana tata ruang.

Kelima, sebagaimana halnya dengan HPL, di atas HM dapat diberikan HGU. Ketentuan ini jelas melanggar ketentuan Pasal 28 Ayat (1) UUPA. Ketika HPL dan HM disamakan dengan tanah negara, artinya Pasal 2 UUPA serta Penjelasan Umum II.2 sudah dihapus.

Pengaturan tentang HGU di atas tanah HPL memperkuat dugaan tentang pemberian status hak keperdataan HPL agar HPL dapat dijadikan dasar untuk pemberian semua jenis hak atas tanah. Bisa jadi, lama kelamaan tanah negara sudah tidak ada lagi dan digantikan dengan HPL.

Bisa jadi, lama kelamaan tanah negara sudah tidak ada lagi dan digantikan dengan HPL.

Pemberian HGU yang tanahnya berada dalam kawasan hutan didahului dengan pelepasan kawasan hutan supaya menjadi tanah negara yang diberikan dengan HPL atas nama Kementerian ATR/BPN. Di atas tanah HPL itulah diberikan HGU. Selama ini HGU diberikan di atas tanah negara.

Tanah HPL itu berbeda dengan tanah negara, karena itu mengingat Pasal 5 Ayat (2) RUUP tentang kewenangan pemegang HPL dan peraturan tentang pengelolaan BMN/D, pemberian hak di atas tanah HPL itu tidak dapat menggunakan konstruksi hukum pemberian hak atas tanah di atas tanah negara.

HGU untuk perorangan diberikan dalam jangka waktu 25 tahun dan untuk badan hukum 35 tahun. Perpanjangan diberikan satu kali. Untuk kebutuhan tertentu menteri dapat menambah jangka waktu tersebut, tanpa penjelasan tentang penambahan jangka waktu itu (alasannya, mekanisme, jangka waktunya). Jika jangka waktu HGU berakhir dan tidak diperpanjang atau perpanjangan jangka waktu berakhir, maka tanahnya menjadi tanah negara dan dikuasai oleh kementerian dengan HPL.

Ada kecenderungan bahwa jika hak atas tanah yang semula diberikan di atas tanah negara itu haknya hapus karena suatu sebab dan tanahnya kembali menjadi tanah negara, maka statusnya menjadi tanah HPL atas nama kementerian. Jika HGU itu hapus karena pemegang hak menguasai tanah secara fisik melebihi luasan pemberian haknya, maka tanahnya menjadi tanah negara dengan status HPL atas nama kementerian.

HGU untuk perorangan diberikan dalam jangka waktu 25 tahun dan untuk badan hukum 35 tahun.

Bagaimana jika luasan tanah yang melebihi pemberian HGU itu ternyata merupakan kawasan hutan, atau hak ulayat MHA, atau ternyata tumpang tindih dengan perizinan sektor lain (pertambangan, kehutanan, dan lain-lain)? Apakah hal itu bisa secara otomatis dianggap sebagai tanah negara dengan status HPL atas nama kementerian? Terhadap HGB dan HP juga hanya dapat diberikan satu kali perpanjangan. Dalam keadaan tertentu HGB dan HP dapat diberikan perpanjangan kedua.

Klausula ”keadaan tertentu” itu menimbulkan ketidakpastian hukum karena pengecualian itu menunjukkan tak adanya ketegasan. Berbeda dengan HGU, HGB, dan HM, HP dapat diberikan di atas tanah ulayat secara langsung dengan persetujuan MHA. Tak ada konsistensi RUUP terkait pengaturan pemberian hak atas tanah di atas tanah ulayat.

Keenam, pengaturan tentang pemilikan sarusun (Hak Milik atas Satuan Rumah Susun/HMSRS) menunjukkan penafsiran manasuka tentang asas pemisahan horizontal. Dalam konsep rumah susun, pemilikan atas unit/flat/apartemen bersifat individual sekaligus pemilikan bersama yang tak terpisahkan atas tanah, bagian, dan benda. Tanda bukti HMSRS adalah sertifikat HMSRS yang diterbitkan oleh Kementerian ATR/BPN.

RUUP menyebutkan bahwa ketika HMSRS dibebani dengan Hak Tanggungan jaminannya tak termasuk tanah-bersama itu jelas bertentangan dengan konsepsi pemilikan satuan rumah susun.

Gagasan tentang jaminan fidusia atas HMSRS tanpa tanah-bersama jika pemiliknya WNA atau badan hukum asing dan bahwa tanah-bersama yang di atasnya HMSRS-nya dimiliki oleh WNA atau badan hukum asing berubah secara otomatis menjadi tanah negara, semakin menunjukkan jalan keluar yang dicari-cari ketika hendak mengakomodasikan pemilikan HMSRS oleh WNA atau badan hukum asing karena terbentur pada status tanah-bersama yang pada umumnya berbentuk HGB. Jika status tanah-bersama adalah HP, permasalahan itu tidak perlu terjadi.

Klausula ”keadaan tertentu” itu menimbulkan ketidakpastian hukum karena pengecualian itu menunjukkan tak adanya ketegasan.

Konsepsi pemilikan sarusun “tanpa” tanah-bersama itu bukan ranah pengaturan RUUP, tetapi ranah UU No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dimungkinkan dengan cara membangun rumah susun dengan cara menyewa tanah aset pemerintah/pemda atau tanah wakaf, dengan jangka waktu sewa selama 60 tahun.

Karena tanahnya merupakan tanah sewa, maka yang dapat dimiliki hanya rumah susun beserta bagian-bersama dan benda-bersama, tanpa tanah-bersama. Tanda bukti kepemilikannya berupa Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (SKBG) yang diterbitkan oleh instansi teknis kabupaten/kota urusan bangunan gedung. SKBG dapat dijadikan jaminan utang dengan fidusia. Rumusan dan gagasan yang diatur dalam RUUP itu jelas merambah kewenangan sektor lain secara diam-diam.

Ketujuh, ketentuan tentang Bank Tanah (BT) terkait kelembagaan, tugas dan fungsinya perlu dibicarakan dengan Kementerian Keuangan karena terkait dengan pengelolaan aset agar tak rancu dengan lembaga yang sudah ada.

Ketentuan bahwa BT dapat mengelola aset secara mandiri dengan antara lain melakukan kerja sama dengan pihak ketiga berpotensi untuk diprioritaskan ketimbang melaksanakan tugas dan fungsi utamanya menyediakan dan mendistribusikan tanah agar terjamin ketersediaan tanah untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, dan lain-lain. Karena tugas dan fungsi utamanya itu, tak tepat jika BT jadi subyek HPL.

Rumusan dan gagasan yang diatur dalam RUUP itu jelas merambah kewenangan sektor lain secara diam-diam.

Berpacu dengan waktu

Mencermati berbagai kelemahan RUUP ditambah dengan kebutuhan untuk berdialog dan mengakomodasikan masukan terkait dengan antara lain, reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria lintas sektor yang berskala dan berdampak luas, pengarusutamaan gender dalam penguasaan dan pemilikan tanah, penjabaran tentang fungsi ekologis tanah dalam pasal-pasal RUUP, serta masukan dari dunia usaha terkait kepentingan investasi itu memerlukan waktu untuk menuntaskannya.

Akomodasi berarti memilah dan memilih, menerima dan menolak usulan disertai dengan alasannya dari segi konsep, falsafah, asas, sinkronisasinya dengan UU lain yang relevan serta dampak sosial yang ditimbulkan dari ketentuan itu. Perbaikan kelemahan ditambah akomodasi substansi yang diusulkan berbagai pihak itu harus disusun kembali menjadi satu kesatuan utuh dan terpadu dalam RUUP beserta penjelasannya.

Jika RUUP yang dihasilkan melalui konsultasi publik yang transparan dan partisipatif itu mampu memberikan jaminan untuk tercapainya keadilan agraria dan kepastian hukum serta perlindungan hukum, keberadaannya akan didukung oleh masyarakat.

 

Maria S.W. Sumardjono,
GURU BESAR HUKUM AGRARIA FH UGM, dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.