Opini

no image

Sentralisasi Lembaga Ristek dan Keunggulan Bangsa

03 March 2022
Oleh : Sofian Effendi
Unduh PDF


Kelembagaan BRIN perlu disempurnakan dengan meningkatkan status Dewan Pengarah untuk membantu Kepala dalam menyusun kebijakan dan penyelenggaraan tupoksinya. Pengembangan sains, teknologi, dan inovasi ini menentukan maju

Menurut jasa langganan koran dan majalah digital yang berbasis di Vancouver, PressReader.com, pada Januari 2022 ada 6.813 tulisan di media cetak dan digital Indonesia yang membahas pengaruh integrasi lembaga ristek ke dalam BRIN.

Meski diamanatkan UU Nomor 11 tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek), sentralisasi dan likuidasi 82 lembaga riset menjadi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) secara top down, sungguh tidak bijaksana. Termasuk sentralisasi Lembaga Eijkman yang bersejarah, akan menimbulkan keresahan, ketidakpastian, bahkan kemunduran pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kita.

Bahkan Science, jurnal sains dan teknologi internasional yang berpengaruh selain Nature, dalam edisi 12 Januari 2022, memasang artikel utama berjudul “Indonesia’s massive research reform triggers layoffs dan protests”. Kalimat pembukanya berbunyi: ‘… suatu badan pemerintah baru, BRIN, telah ambil alih kendali ilmu pengetahuan Indonesia, termasuk Lembaga Eijkman yang berdiri 1888 dan dikenal sebagai lembaga penelitian biologi molekuler kelas dunia.’

Langkah mundur mulai terjadi ketika pemerintah memutuskan untuk memuseumkan pesawat N-250 karya unggulan putra putri bangsa, membubarkan BUMN Industri Strategis (BUMNIS), dan membubarkan Kemenristek. Langkah terbaru adalah sentralisasi dan likuidasi lembaga riset.

Dikhawatirkan disrupsi kelembagaan iptek ini menyebabkan ‘brain drain’ peneliti dan tenaga penelitian ke pusat penelitian swasta atau negara lain. Betapa besar kerugian bangsa, kehilangan para peneliti yang telah berhasil membangun lembaga riset kelas dunia.

Dampak selanjutnya adalah mundurnya pengembangan dan penguasaan teknologi dan inovasi. Hal ini bisa menghambat transformasi ekonomi Indonesia menuju ekonomi padat teknologi dan inovasi.

Teknologi dan inovasi

Penggunaan teknologi dan inovasi untuk mempercepat kemajuan bangsa dan negara, menjadi bagian tak terpisahkan dari cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa. Amandemen keempat UUD 1945 ada adendum Pasal 31(5) "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia".

Adendum itu menjadi mandat penyelenggara pemerintahan untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Untuk implementasinya, DPR dan pemerintah dengan UU Nomor 11 Tahun 2019 Pasal 3 menetapkan pembentukan BRIN. Tugasnya, membantu presiden di bidang penelitian, pengembangan, pengkajian, penerapan, invensi dan inovasi, serta penyelenggaraan ketenaganukliran dan keantariksaan secara nasional dan terintegrasi. Dalam melaksanakan tugas pemerintahan, BRIN harus melibatkan semua unsur masyarakat.

Sebenarnya, kalau dilihat dari sejarahnya, perjalanan sains dan teknologi negeri ini sudah cukup panjang. Publikasi ilmiah bermutu internasional dan keberadaan lembaga penelitian profesional ada sejak Nusantara masih bernama Hindia Belanda di bawah VOC.

Kalau dilihat dari sejarahnya, perjalanan sains dan teknologi negeri ini sudah cukup panjang.

Berawal 1761, pendeta bernama JM Mohr membangun observatorium dengan teropong cukup besar. Terletak di Molenvliet Oost yang sekarang bernama Jl Hayam Wuruk dan Jalan Gadjah Mada.

Zaman Hindia Belanda, ratusan dokter dan sarjana pertanian lulusan universitas terbaik di Belanda dan negara-negara di Eropa, direkrut sebagai ambtenar oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Selain menjalankan tugas-tugas ambtenar, para sarjana Belanda dan Eropa tersebut terlibat kegiatan penelitian dan aktif menerbitkan publikasi dalam jurnal-jurnal ilmiah terbitan Hindia Belanda atau Singapura yang mutunya setara dengan publikasi ilmiah pusat sains dan teknologi dunia di Eropa dan Amerika Utara.

Menurut Andrew Goss (2016), sejarawan asal Amerika Serikat, dalam bukunya Floracrats: State Sponsored Science and the Failures of the Enlightenment in Indonesia: “…ratusan artikel ilmiah di jurnal botani dan biologi, buku dan pamflet tentang keindahan alam terbitan Hindia Belanda, jadi koleksi perpustakaan Universitas Michigan, AS, mulai terbitan tahun 1840.

Publikasi berkualitas

Publikasi ilmiah asal Hindia Belanda sama mutunya dengan publikasi pusat-pusat penelitian dan universitas di Boston, London, dan Berlin, yang diakui sebagai pusat ilmu pengetahuan dunia. Salah seorang peneliti yang terkenal masa itu dan ditemukan publikasinya di jurnal ilmiah Hindia Belanda adalah Alfred Wallace. Ia terkenal karena Teori Evolusi dengan Seleksi Alam, hasil penelitiannya di Pulau Ternate pada 1854-1862.

Teorinya itu menginspirasi Charles Darwin untuk menulis buku “On the Origin of Species” (1859). Garis Wallace memberi sumbangan besar bagi ilmu pengetahuan, khususnya tentang pengaruh ekologi terhadap perbedaan flora dan fauna di Asia dan Pasifik.

Hindia Belanda sampai sekitar 1900 memiliki pusat riset biologi bertaraf dunia. Pada 1885 Dr Christiaan Eijkman diangkat sebagai dokter pemerintah di Semarang, kemudian Cilacap dan Padang Sidempuan. Pada 1887 Eijkman diangkat sebagai direktur Geneeskundig Laboratorium sekaligus merangkap Direktur Sekolah Dokter Jawa (Mosvia). Naluri peneliti Eijkman pun bangkit.

Bersama stafnya dihasilkan beberapa penelitian fisiologis dan mencapai puncaknya dengan temuan penyebab penyakit beri-beri, yang dianggap terobosan dalam ilmu kedokteran. Beri-beri yang melanda penduduk Hindia Belanda disebabkan defisiensi Vitamin B-1.

Karena temuan itu Eijkman mendapat Hadiah Nobel, 1929. Nama Eijkman Institute diresmikan kolonial Belanda sebelum mendapat hadiah Nobel.

Akan tetapi, mengapa hasil penelitiaan dan publikasi ilmiah kelas dunia tidak begitu berpengaruh pada bangsa Indonesia, saat penjajahan maupun bangsa Indonesia modern?

Menurut Goss, zaman Hindia Belanda, para peneliti dari berbagai disiplin ilmu: antropologi, kedokteran, kartografer, dan geofisikawan, adalah pegawai pemerintah. Mereka bertugas “menyediakan data tentang penduduk, tempat, budayanya, agar pemerintah kolonial bisa mengontrol jajahannya."

Awal abad 20 pemerintah kolonial merekrut ahli-ahli pertanian lulusan fakultas pertanian terbaik di Eropa untuk “mewujudkan masyarakat petani dengan teknik pertanian padi berbasis penelitian ilmiah."

Mengapa hasil penelitiaan dan publikasi ilmiah kelas dunia tidak begitu berpengaruh pada bangsa Indonesia, saat penjajahan maupun bangsa Indonesia modern?

Khawatir semangat kebebasan yang berkembang subur karena pengaruh enlightenment, Gubernur Jenderal pasca JCM Radermacher—yang pro enlightenment—membentuk Perkumpulan Seni dan Sains Batavia, bersikap semakin tertutup, bahkan akhirnya melarang pertemuan perkumpulan sampai dibubarkan pada 1789.

Goss menyimpulkan, sikap tertutup itu menjadi salah satu sebab gagalnya gerakan scientific enlightenment kala itu.

Setelah Indonesia merdeka dan mencerdaskan kehidupan bangsa jadi salah satu tujuan negara, kelembagaan dan kebijakan sains dan teknologi dilanjutkan Pemerintah Indonesia. Ir Djuanda Kartawidjaja sebagai menteri pertama memberikan perhatian pada pengembangan aparatur negara dan penguatan kelembagaan instansi pemerintah. Ini jadi prioritas program birokrasi dan pendirian beberapa lembaga keilmuan seperti MIPI.

Pada Era Orde Baru, ribuan sarjana dalam pelbagai disiplin ilmu, eksakta dan sosial, budaya dan agama, mendapat beasiswa di berbagai universitas dalam dan luar negeri. Untuk meningkatkan penelitian dasar dibentuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan guna mendorong penerapan sains dan teknologi didirikan BPPT, Batan, Lapan, Puspiptek, dan sebagainya.

Seandainya pembangunan kapasitas nasional dalam penilitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan guna memajukan sains, teknologi dan inovasi, dilakukan secara desentralistis dan bergotong royong dengan lembaga ristek yang sudah mapan, saya yakin implementasi mandat UUD Pasal 31(5), dan amanat UU SisnasIptek Pasal 48, akan berjalan tanpa disrupsi. Cepat mengejar ketertinggalan Indonesia dari negara-negara maju dan ASEAN.

Pada Era Orde Baru, ribuan sarjana dalam pelbagai disiplin ilmu, eksakta dan sosial, budaya dan agama, mendapat beasiswa di berbagai universitas dalam dan luar negeri.

Menurut statistik Global Innovations Index tahun 2021 yang dikeluarkan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) pada 2021 dalam Skala 0-100, Indonesia hanya mencapai skor 27.10. Ini 7.20 point di bawah rerata point di bawah skor rerata 132 negeri. Indonesia menduduki peringkat 87 dari 132 negara. Artinya 36 tingkat di bawah Filipina, 43 di bawah Vietnam, 44 di bawah Thailand, 51 di bawah Malaysia, dan 79 di bawah Singapura.

Sayangnya kebijakan BRIN saat ini bisa memperburuk capaian inovasi dalam beberapa tahun ke depan. Kalau kesalahan strategis ini tidak dikoreksi secara drastis, peringkat Indonesia dalam Global Innovations Index akan turun mendekati Kamboja di 109, Laos 117, dan Myanmar 127.

Jangan gagal lagi. Bangsa ini cuma satu pilihan! Sadari kesalahan yang terjadi, kembali lah ke tugas dan fungsi BRIN seperti yang ditetapkan dalam UU No 11/2019 Ps 48 dan Penjelasan Pasal 48. Koreksi interpretasi “integrasi” yang diartikan sebagai pengalihan tugas, fungsi, dan kewenangan LIPI, BPPT, BATAN, Lapan, dan Lembaga Eijkman, ke BRIN. Tugas BRIN adalah membantu Presiden melaksanakan tugas pemerintahan dalam bidang sains dan teknologi secara nasional yang terintegrasi.

Kelembagaan BRIN perlu disempurnakan dengan meningkatkan status Dewan Pengarah untuk membantu Kepala dalam menyusun kebijakan dan penyelenggaraan tupoksinya. Pengembangan sains, teknologi, dan inovasi ini menentukan maju mundurnya bangsa.

Perumusan kebijakan strategis pengembangan sains, teknologi, dan inovasi, sebaiknya diserahkan kepada Dewan Sains, Teknologi dan Inovasi Nasional yang langsung dipimpin oleh Presiden plus anggota Dewan Pengarah. BRIN sebagai organ pelaksana.

 

Sofian Effendi,
Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Anggota Komis Ilmu Sosial (AIPI), dan Ketua Dewan Pengurus The Habibie Center.

Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas, 03 Maret 2022

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.