Opini

no image

Pancasila di Era Disrupsi

31 May 2022
Oleh : Yudi Latif
Unduh PDF


Di era disrupsi teknologis dan arus globalisasi yang semakin luas dan dalam, bangsa Indonesia yang majemuk mengalami kompleksitas relasi interkultural dan multikultural. Masih relevankah nilai-nilai Pancasila saat ini?

Masih relevankah nilai-nilai Pancasila sebagai bintang penuntun atau telah diusangkan zaman?

Pertanyaan ini layak dilontarkan dalam perkembangan dunia yang mengalami intensitas disrupsi teknologis yang merobohkan batas ruang dan waktu serta mengedaluwarsakan berbagai pakem dan kemapanan. Perlu terang pikir sebagai pelita hidup bahwa setiap perkembangan teknologi itu berwajah ”janus”: berdampak positif dan negatif.

Dampak negatif dari disrupsi teknologis era industri 4.0 diartikulasikan secara tajam oleh Shoshana Zuboff dalam The Age of Surveillance Capitalism (2019).

Dalam pandangannya, keserbahadiran teknologi digital, kecerdasan buatan, big data, otomatisasi dan konektivitas virtual menjadi katalis kemunculan surveillance capitalism (SC). Kapitalisme pengawasan yang secara sepihak mengklaim pengalaman manusia sebagai bahan mentah yang secara bebas bisa diubah jadi data perilaku.

Meski sebagian data itu diterapkan pada perbaikan produk dan jasa, sisanya dideklarasikan sebagai surplus perilaku yang dituangkan ke dalam proses manufacturing bernama kecerdasan mesin. Pada gilirannya, produk-produk prediksi ini diperdagangkan di ”pasar masa depan perilaku”.

Perlu terang pikir sebagai pelita hidup bahwa setiap perkembangan teknologi itu berwajah ”janus ”: berdampak positif dan negatif.

Dengan itu, SC terlahir sebagai bentuk kuasa baru bernama instrumentarianisme yang beroperasi secara asimetris. SC tahu segala sesuatu tentang kita, sedangkan operasi mereka dirancang untuk tak kita ketahui. Mereka mengakumulasi domain-domain pengetahuan baru dari kita, tapi tidak untuk kita. Mereka memprediksi masa depan kita untuk perolehan yang lain, bukan milik kita.

Dampak positif perkembangan teknologi itu dikemukakan oleh Brett King dan Richard Petty dalam Technosocialism (2021). Mereka mengingatkan, visi kesejahteraan umum telah lama jadi mimpi kemanusiaan sejagat.

Komunisme Uni Soviet berdiri dengan janji pemerataan dan kemakmuran bagi semua. Nyatanya, sistem ini melahirkan malapetaka kemanusiaan, segelintir elite memonopoli kekuasaan dan kekayaan. Sosialisme Eropa Barat datang dengan versi lembut dari komunisme, tetapi tak bisa sepenuhnya terhindar dari problem komunisme: elite menarik string dan keuntungan publik tak pernah benar-benar merata.

Alhasil, keduanya menyimpulkan: manusia boleh jadi bukanlah ”mesin ideal” yang akan bekerja dengan kemampuan terbaiknya dan dengan bahagia berbagi hasil panen pekerjaannya dengan sesama secara merata. Lantas keduanya mengandaikan, bagaimana jika kita gantungkan pemenuhan impian kesejahteraan umum pada teknologi?

Abad ke-21 jadi abad paling disruptif yang pernah dilalui manusia. Implikasi teknologi baru akan mengubah ideologi-ideologi paling ”disucikan” menyangkut politik, ekonomi, dan konstruksi sosial. Suka atau tidak, ini akan memaksa manusia menyesuaikan diri dengan cara yang tak terbayang sebelumnya.

Dengan peluang baru yang dimungkinkan teknologi, keduanya mengingatkan perlunya mereformasi kapitalisme dan menggantinya dengan ”technosocialism”: suatu masyarakat masa depan dengan sebagian besar pekerjaan manusia diotomatisasi dan pelayanan dasar, seperti perumahan, kesehatan, dan pendidikan, serba hadir dengan biaya murah. Dalam satu-dua dekade mendatang, menurutnya, kita akan mengganti sistem energi dunia dengan sistem terbarukan.

Abad ke-21 jadi abad paling disruptif yang pernah dilalui manusia.

Bahkan, saat ini kita sudah mengalami tahap awal technosocialism, seperti ketersediaan internet dan mesin pencari (Google, DuckDuckGo, aplikasi Waze, dan sejenisnya) dengan memberi pelayanan secara demokratis dan murah, yang bisa dijangkau segala kalangan.

Wajah ganda dampak disrupsi teknologis itu mengingatkan kita, pada akhirnya manusia di balik senjatalah penentu utamanya. Seperti diingatkan Gerd Leonhard dalam film Change, mesin memang bagus dalam simulasi, tapi tidak dalam proses ”menjadi”. Teknologi merepresentasikan ”bagaimana” berubah, tapi tidak soal ”mengapa”.

Pada masa ketika disrupsi jadi normalitas, semua yang tak bisa didigitalisasi justru jadi kian penting. Hal-hal yang tak bisa didigitalisasi, seperti daya kreatif, imaginasi, intuisi, emosi, dan etika, kian menuntut perhatian. Pendidikan harus memberi kapabilitas agar manusia bisa melampaui jangkauan teknologi dan data, dengan memberikan wawasan kemanusiaan dan kebijaksanaan.

Generasi baru harus menguasai cara kerja baru dengan kemampuan mendekap teknologi, bukan membuat diri jadi mesin. Dengan teknologi, anak-anak masa depan harus bisa menemukan ”rumah” (home), bukan menjerumuskan mereka ke ”tempat pengasingan” (exile).

Tantangan Indonesia

Dengan disrupsi teknologis dan arus globalisasi yang kian luas cakupannya, dalam penetrasinya, dan instan kecepatannya, setiap negara tidak hanya menghadapi potensi ledakan pluralitas dari dalam, tetapi juga dari luar. Bangsa Indonesia sebagai masyarakat majemuk kian mengalami kompleksitas relasi interkultural dan multikultural.

Masalahnya, setiap warga negara, kendati sebagai subyek legal yang setara dan menjadi warganet global, tak ada yang bisa berdiri tanpa identitas. Beridentitas dalam konteks pluralitas dihadapkan pada dua pilihan.

Pertama, untuk membuat identitasku eksis, identitas lain harus dipinggirkan, melahirkan semacam totalitarianisme kanan (fasisme), yang kini sedang merebak di berbagai penjuru bumi. Namun, jika itu pilihannya, Indonesia yang majemuk akan menjadi zona konflik tak bertepi. Dan seperti kata Mahatma Gandhi, ”Jika mata dibayar dengan mata, dunia akan mengalami kegelapan.”

Kedua, dengan mata terbuka kita menyadari keberagaman sebagai fakta sosial dan, demi eksistensi suatu identitas, mau tak mau harus bisa bersanding dengan yang lain secara damai. Jika ini pilihannya, kita harus bisa mengembangkan ”titik temu” (common ground), yang bisa menyatukan keberagaman menjadi pelangi yang indah.

Dalam mengembangkan titik temu diperlukan pembudayaan civic nationalism dengan memperkuat modal sosial melalui perluasan jaring-jaring konektivitas dan inklusivitas. Jaring konektivitas adalah ruang-ruang perjumpaan dan interaksi, ruang keterlibatan dan kerja sama yang dapat membuat yang asing menjadi familiar, prasangka beralih jadi pengenalan yang menumbuhkan cinta. Inklusivitas adalah kesetaraan akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, permodalan, dan privilese sosial yang bisa mengatasi kecemburuan. Melalui penguatan konektivitas dan inklusivitas bisa terbangun rasa saling percaya.

Untuk memperkuat jaringan konektivitas dan inklusivitas diperlukan serat-serat tipis nilai konsensual yang bisa menyatukan keberagaman ke dalam ikatan komunitas moral. Singkat kata, persatuan nasional memerlukan kesepakatan mengenai ”nilai inti” (core values) moral publik yang terkristalisasi dalam Pancasila. Dalam Pancasila, nilai-nilai inti yang membentuk moral publik disuling dari nilai-nilai universal (etika-spiritual) agama-agama, untuk kemudian dikombinasikan dengan gagasan (nilai-nilai) dari luar agama, tapi tak bertentangan, malahan sejalan dengan nilai etis agama-agama.

Kapasitas Pancasila untuk merekonsiliasikan beragam sumber nilai itu memperlihatkan kemampuan para perumus Pancasila untuk melihat titik temu dari perbedaan. Bahwa di balik keberagaman dan kompleksitas realitas (agama, falsafah, kearifan) bisa ditemukan prinsip-prinsip simplisitasnya.

Para pembentuk dasar negara dari berbagai latar identitas mampu melihat titik temu dari segala keberagaman dengan menjangkarkannya pada simplisitas kesamaan kodrat manusia. Bahwa apa pun asal-usul identitasnya, manusia memiliki kodrat sama sebagai makhluk jasmani sekaligus rohani, makhluk individu sekaligus sosial, makhluk universal sekaligus partikular.

Relevansi Pancasila

Dari tiga bentuk paradoks kodrat manusia itu kemudian ditarik lima prinsip moral publik. Sila pertama meyakini kodrat manusia sebagai makhluk rohani perwujudan istimewa dari semesta sebagai kristalisasi dari cinta kasih Ilahi.

Keberadaan manusia diyakini merupakan ada yang diciptakan oleh cinta kasih Sang Pencipta sebagai ada pertama. Meski merupakan perwujudan istimewa dari semesta, manusia tetaplah bagian dari semesta, yang dengan keistimewaannya itu tidaklah menghadirkan kerusakan (fasad), tetapi membawa harmoni (maslahat-manfaat) dalam relasi kemanusiaan dan kealaman.

Sila kedua meyakini kodrat manusia sebagai makhluk universal yang harus mengembangkan semangat persaudaraan kemanusiaan semesta. Manusia tak bisa berdiri sendiri, terkucil dari keberadaan yang lain. Untuk ada bersama dengan yang lain, manusia tidak bisa tidak harus ada-bersama-dengan-cinta, dengan mengembangkan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.

Cara menghidupkan cinta kasih dalam kebinekaan manusia yang mendiami tanah-air sebagai geopolitik bersama itulah manusia mengembangkan rasa kebangsaan.

Sila ketiga meyakini kodrat manusia sebagai makhluk partikular yang hidup dalam kenyataan ruang dan waktu yang spesifik. Untuk ada bersama dalam tumpah darah yang sama, manusia sebagai makhluk jasmani dan sosial perlu ruang hidup yang konkret dan pergaulan hidup dalam realitas kemajemukan. Cara menghidupkan cinta kasih dalam kebinekaan manusia yang mendiami tanah-air sebagai geopolitik bersama itulah manusia mengembangkan rasa kebangsaan.

Sila keempat meyakini kodrat manusia sebagai makhluk sosial yang dalam mengambil keputusan menyangkut masalah bersama ditempuh dengan semangat cinta kasih. Ukuran utama cinta adalah saling menghormati. Cara menghormati dengan memandangnya sebagai subyek berdaulat, bukan obyek manipulasi, eksploitasi dan eksklusi, itulah yang disebut demokrasi dalam arti sejati.

Sila kelima meyakini kodrat manusia sebagai makhluk jasmani yang perlu papan, sandang, pangan, dan pelbagai kebutuhan material lain. Perwujudan khusus kemanusiaan lewat mencintai sesama manusia dengan berbagi kebutuhan jasmaniah secara fair itu yang disebut keadilan sosial (Driyarkara, 2006).

Dengan menjangkarkan segala perbedaan pada esensi pokok kodrat manusia, Pancasila menjadi ideologi tahan banting yang bisa tetap relevan di tengah segala arus perubahan.Berbeda dengan ideologi-ideologi dominan yang kita kenal selama ini, seperti kapitalisme dan komunisme, yang mendasarkan sumber ketegangan sosial pada relasi ekonomi semata, Pancasila memiliki jangkauan visi yang jauh lebih luas. Lima sila Pancasila mengantisipasi kemungkinan konflik sosial dari lima bentuk relasi sosial, yakni relasi keagamaan, relasi internasional, relasi antaretnis (antargolongan), relasi politik-kepartaian, dan relasi ekonomi.

Tampaknya, keluasan visi ideologis Pancasila itu lebih adekuat dalam menjelaskan berbagai konflik sosial yang berkembang di tingkat global saat ini. Munculnya berbagai “gerakan sosial baru” di negara-negara industri Eropa dan AS, seperti green  (environmental) movementsfeminist movements, dan berbagai gerakan sosial berbasis identitas lain, memperlihatkan tema dan komitmen ideologi sudah bergeser dari “gerakan sosial lama” berbasis hubungan kerja (industrial), seperti labour movements. Kebangkitan sayap kanan dan populisme di beberapa negara juga menyingkap kompleksitas sumber ketegangan sosial yang tak bisa disederhanakan semata-mata atas dasar relasi ekonomi.

Sosio-demokrasi adalah demokrasi yang bermurah hati; demokrasi yang berorientasi keadilan sosial, yang tak hanya menghendaki partisipasi dan emansipasi di bidang politik, tetapi juga partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi.

Dalam mengantisipasi kemungkinan menguatnya fundamentalisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama, sila pertama menekankan prinsip sosio-religius, yakni prinsip religiositas yang bermurah hati (socius); yang ”berkeadaban”, welas asih, dan toleran. Dalam mengantisipasi dampak destruktif dari globalisasi dan lokalisasi, dalam bentuk populisme, homogenisasi dan eksklusivisme identitas, prinsip ”sosio-nasionalisme” yang tertuang dalam sila kedua dan ketiga Pancasila telah memberikan jawaban yang jitu.

Sosio-nasionalisme adalah prinsip kebangsaan yang bermurah hati; penuh welas asih, dan lapang; semangat kebangsaan yang menjunjung tinggi perikemanusiaan ke dalam dan ke luar.

Cara menghidupkan cinta kasih dalam kebinekaan manusia yang mendiami tanah-air sebagai geopolitik bersama itulah manusia mengembangkan rasa kebangsaan. Sosio-demokrasi adalah demokrasi yang bermurah hati; demokrasi yang berorientasi keadilan sosial, yang tak hanya menghendaki partisipasi dan emansipasi di bidang politik, tetapi juga partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi.

Dalam politik, demokrasi yang dikembangkan adalah demokrasi permusyawaratan (consensus-deliberative democracy) yang bersifat inklusif. Dalam ekonomi, negara harus aktif mengupayakan keadilan sosial, dalam rangka mengatasi dan mengimbangi ketidaksetaraan yang terjadi di pasar, dengan jalan menjaga iklim kompetisi yang sehat, membela yang lemah, serta berinvestasi dalam public goods yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Keampuhan Pancasila sebagai ideologi menuntutnya menjadi “ideologi kerja” ( working ideology) dalam praksis pembangunan.

Tinggal masalahnya, bagaimana mendekatkan idealitas Pancasila itu pada realitas. Keampuhan Pancasila sebagai ideologi menuntutnya menjadi ”ideologi kerja” (working ideology) dalam praksis pembangunan. Dengan kata lain, ideologi Pancasila itu harus jadi kerangka paradigmatik dalam pembangunan nasional dalam ranah tata nilai dan kualitas manusia, ranah tata kelola kelembagaan sosial-politik dan kebijakan pemerintahan, tata ekonomi kesejahteraan berkeadilan dan berkemakmuran; yang didukung kedalaman penetrasi praksis ideologi Pancasila yang menyentuh dimensi keyakinan, pengetahuan, dan tindakan.

Kesanggupan kita membudayakan Pancasila di tiga ranah pembangunan dan tiga dimensi penetrasi ideologis itulah yang menentukan kesaktian Pancasila dalam kenyataan.

 

Yudi Latif,
Anggota Komisi Ilmu Kebudayaan, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)

Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas 31 Mei 2022

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.