Opini

no image

Pemekaran Papua dan Kontestasi Kepentingan Elite

26 March 2022
Oleh : Syarif Hidayat
Unduh PDF


PERTEMUAN 61 Tokoh Papua dengan Presiden Jokowi di Istana Negara pada Desember 2019 telah membangkitkan kembali gairah elite lokal di bumi Cenderawasih untuk merealisasikan wacana pemekaran daerah.

Kala itu, para tokoh Papua meminta ‘kelahiran’ lima provinsi baru. Namun, Kepala Negara menilai pemekaran sebaiknya dua hingga tiga wilayah saja (Kompas, 10/09/2019). Segera setelah pertemuan dengan Presiden Jokowi tersebut, para elite lokal pun telah melakukan langkah-langkah konsolidatif, antara lain, dengan membentuk asosiasi bupati untuk mewujudkan pemekaran daerah yang diusulkan.

Sedikitnya dapat dicatat ada tiga kelompok kepala daerah di Papua yang telah mendeklarasikan diri sebagai calon daerah pemekaran berdasarkan wilayah adat: a) Provinsi Tabi, meliputi Kabupaten Jayapura, Kota Jayapura, Mamberamo Raya, Keerom, dan Sarmi; b) Provinsi Papua Selatan, meliputi wilayah adat Anim Ha mencakup Merauke, Mappi, Asmat, Boven Digoel; c) Provinsi Papua Tengah, yang mencakup kawasan adat Meepago meliputi Nabire, Puncak, Timika, Paniai, Intan Jaya, Dogiyai, dan Deiyai (Sentani, jayapurakab. go.id, 11/03)

Diskursus kepentingan elite

Mengemukanya rencana pemekaran daerah di Bumi Cenderawasih tersebut seakan membangkitkan kembali diskursus lama (2007-2014) tentang pemekaran daerah di Tanah Air. Di antara isu sentral yang banyak mendapat sorotan para akademisi dan publik ketika itu ialah terkait dengan dominannya aroma ‘kepentingan implisit’ para elite di balik pembentukan daerah otonom baru (DOB).

Menariknya, kala itu, keresahan tentang eksistensi kepentingan elite tersebut, justru disuarakan oleh Dirjen Otda dan Menteri Dalam Negeri (Kompas, 20 dan 21/11/2012). Di antara poin penting yang dapat dicatat ialah adanya kesan yang kuat merekatkan adanya kepentingan elite dalam pemekaran daerah lebih pada elite lokal. Sementara itu, para elite pemerintah pusat, baik di lembaga eksekutif maupun legislatif, terkesan ‘steril’ dari praktik perburuan kepentingan ekonomi-politik tersebut. Menurut hemat penulis, bertepuk tidak pernah berbunyi dengan sebelah telapak tangan dan oleh karena itu sulit dimungkiri jika kepentingan elite pemerintah pusat, juga terlibat dalam kontestasi pemekaran daerah.

Dalam perspektif Democratic Elitism, kecenderungan dominasi kepentingan elite dalam ‘proyek pemekaran daerah’, bukanlah hal unik. Weber (dalam Evans, 1995) dengan tegas mengatakan all ideas aiming at abolishing the dominance of men over men are illusory. Pada sisi lain, C Wright Mills (1956), menyebutkan bahwa terbangunnya hubungan yang dekat antara elite pemerintah (political directorate), dengan elite ekonomi (coporate rich), akan berimplikasi pada semakin tersentralisasinya kekuasaan dan semakin menurunnya peran politisi profesional.

Realitas pemekaran daerah di Indonesia, seyogianya harus dibaca dan dimaknai berdasarkan perspektif elitism, sebagaimana dikemukakan di atas. Relevansi dari perspektif ini, terlihat semakin kuat lagi manakala dikaitkan dengan realitas transisi demokrasi yang sedang terjadi, dan dinamika politik kontemporer, utamanya dalam menghadapi Pilpres 2024.

Pengendalian bias kepentingan elite memang bukan pekerjaan mudah. Karena aktor yang terlibat sangat kompleks dan multilevel sifatnya. Kegagalan kebijakan ‘moratorium’ pemekaran daerah, yang sedikitnya telah dua kali dicanangkan pada periode Presiden SBY (2007 dan 2010), antara lain, karena sulitnya mendeteksi dan memutus ‘jaringan multilevel’ para elite tersebut.

Diskursus tentang pemekaran daerah dan kepentingan elite di Tanah Air, kemudian cenderung meredup setelah diberlakukannya status Daerah Persiapan selama tiga tahun bagi DOB, sesuai ketentuan pada Pasal 33 (2), UU Pemerintah Daerah No 23 Tahun 2014. ‘Proyek pemekaran daerah’ menjadi kurang menarik bagai para elite, lantaran dengan status sebagai daerah persiapan (masa percobaan) selama tiga tahun, maka daerah-daerah hasil pemekaran tidak langsung diberi status sebagai daerah otonom. Dengan demikian, secara implisit juga mengindikasikan bahwa belum memerlukan eksistensi DPRD, pilkada, dan dinas-dinas daerah terlalu banyak.

Rasionalitas pemekaran daerah

Menutup sama sekali peluang untuk pemekaran daerah, sejatinya bukanlah solusi yang terbaik, atau bahkan cenderung melanggar prinsip tata pemerintahan. Artinya, pemekaran daerah boleh saja dilakukan bila memang secara riil dapat menjamin terwujudnya peningkatan pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan masyarakat, terciptanya tatanan kehidupan demokratis di daerah, meningkatkan daya saing nasional dan daerah, serta terpeliharanya kearifan lokal (lihat Pasal 31, ayat 2, UU No 23 Tahun 2014).

Demikian juga halnya dengan wacana pemekaran Papua, sejauh secara riil dapat menjamin tercapainya tujuan kolektif sebagaimana dikemukakan di atas, maka bukan sesuatu yang mustahil untuk direalisasikan. Selain dari itu, juga harus dipastikan secara faktual memenuhi sejumlah persyaratan dasar dan administratif yang diatur pada Pasal 34-37, UU No 23 Tahun 2014.

Oleh karena itu, untuk meminimalkan aroma ‘bias kepentingan elite’ dalam pemekeran Papua, maka peran dari Tim Kajian Independen, sebagaimana disebutkan pada Pasal 38 (5), UU No 23 Tahun 2014 menjadi sangat penting dalam melakukan kajian terhadap persyaratan dasar kapasitas daerah. Titik krusialnya kemudian adalah, siapa anggota ‘Tim Independen’ dan bagaimana memastikan tim ini ‘tidak masuk angin’.


Syarif Hidayat,
Peneliti LIPI, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), dan Fellow of Center for Transdisciplinary and Sustainability Sciences (CTSS).

Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Media Indonesia 26  Maret 2022

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.