Opini

no image

Manfaat Publikasi Ilmiah

30 September 2021
Oleh : Satryo S. Brodjonegoro
Unduh PDF


Indonesia termasuk negara dengan publikasi artikel di jurnal predator nomor dua tertinggi di dunia setelah Kazakhstan. Tolok ukurnya persentase artikel di jurnal predator terhadap seluruh artikel yang diterbitkan.

“Prof, no one is reading you”

Asit K Biswas dan Julian Kirchher, The Strait Times (11/4/2015)

Ungkapan di atas telah diutarakan oleh Eunike Sri Tyas Suci (Kompas, 25/9/ 2021) terkait dengan proses penilaian karya ilmiah untuk kenaikan jabatan akademik dosen perguruan tinggi.

Kali ini penulis akan mengaitkan ungkapan tersebut dengan pertanyaan, apakah manfaat suatu publikasi ilmiah, atau pertanyaan lain, apakah ada manfaatnya suatu publikasi ilmiah? Jika memang tidak ada yang membaca, publikasi ilmiah sudah hampir pasti tidak akan ada manfaatnya.

Publikasi ilmiah dihasilkan lewat kegiatan penelitian yang memenuhi kaidah ilmiah yang bersifat universal, yang mengedepankan kebenaran dan kejujuran. Menurut hemat penulis, untuk akuntabilitas publik, kegiatan penelitian seyogianya memberikan manfaat jangka pendek dan jangka panjang.

Dalam jangka pendek, penelitian seyogianya mampu menghasilkan bukti ilmiah yang dapat dijadikan basis formulasi kebijakan oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat dan negara. Dalam jangka panjang penelitian seyogianya mampu menghasilkan berbagai pengetahuan baru, bukan hanya teknologi baru, yang bermanfaat bagi kemanusiaan.

Menurut hemat penulis, untuk akuntabilitas publik, kegiatan penelitian seyogianya memberikan manfaat jangka pendek dan jangka panjang.

Formulasi kebijakan

Formulasi kebijakan sering kali dilakukan tanpa bukti ilmiah, sehingga kebijakan tersebut tidak dapat diimplementasi dengan baik dan benar, bahkan tidak jarang kebijakan tersebut justru menimbulkan permasalahan baru.

Terutama dalam bidang kesehatan, khusus saat pandemi sekarang, vaksin baru dapat digunakan setelah melalui uji klinis yang cukup ketat secara prosedur maupun ilmiah. Hasil uji kinis tersebut harus akurat dan sesuai dengan kaidah ilmiah, setelah itu digunakan sebagai basis dalam formulasi kebijakan penggunaan vaksin.

Dalam bidang lain, formulasi kebijakan harus disusun berdasarkan basis bukti ilmiah yang sahih meskipun tidak semudah di bidang kesehatan karena dapat melakukan uji klinis yang terukur dan berkaidah.

Dalam bidang sosial kemanusiaan, diperlukan suatu metode yang mampu menghasilkan basis bukti ilmiah yang diperlukan untuk formulasi kebijakan terkait, tidak mungkin dilakukan ‘uji klinis’ seperti pada bidang kesehatan.

Kondisi publikasi ilmiah

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDDI-LIPI), jumlah publikasi ilmiah Indonesia pada tahun 2020 mencapai 49.823 publikasi, jauh melebihi Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, dan Filipina.

Kenaikan pesat terjadi pada kurun waktu 2015-2020, di mana pada 2015 jumlah publikasi masih 8.546 dan saat itu masih lebih rendah dari Malaysia, Singapura, dan Thailand.

Berdasarkan publikasi Vít Machá?ek dan Martin Srholec yang berjudul Predatory publishing in Scopus: evidence on crosscountry differences, Scientometrics, (https://doi.org/ 10.1007/s11192-020-03852-4), maka Indonesia termasuk negara dengan publikasi artikel di jurnal predator nomor dua tertinggi di dunia setelah Kazakhstan. Tolok ukurnya adalah persentase artikel yang terbit di jurnal predator terhadap seluruh artikel yang diterbitkan.

Daftar negara dengan persentase artikel jurnal predator tertinggi di dunia dalam kurun waktu 2015-2017 adalah Kazakhstan 17 persen, Indonesia 16,73 persen, Irak 12,94 persen, Albania 12,08 persen, dan Malaysia 11,60 persen. Publikasi predator sudah menjadi fenomena global di mana tidak ada satu sistem penelitian pun yang aman dari pengaruh predator tersebut.

Peningkatan signifikan jumlah publikasi ilmiah di Indonesia (2015-2020) ini ternyata sejalan dengan tingginya persentase artikel ilmiah yang dipublikasikan di jurnal predator (2015-2017).

Artinya, kualitas publikasi ilmiah Indonesia masih memprihatinkan, belum sepenuhnya bisa digunakan sebagai basis formulasi kebijakan.

 

Satryo Soemantri Brodjonegoro,
Dirjen Dikti (1999-2007); Guru Besar Emeritus ITB; Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Konsil Kedokteran Indonesia.

 

Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas, 30 September 2021

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.