Opini

no image

Menggelorakan Kritik

07 October 2021
Oleh : Azyumardi Azra
Unduh PDF


Kritik harus digelorakan. Para pejabat publik bersama masyarakat sipil memiliki tanggung jawab utama menggelorakan demokrasi, bukan menampilkan sikap antikritik dengan mengkriminalisasi pengkritik.

“If our democracy is to flourish, it must have criticism; if our government is to function, it must have dissent” (Henry Steele Commager, sejarawan prolifik 1902-1998, Fredom, Loyalty, Dissent, 1954).

Demokrasi Indonesia pernah sangat mekar selama sekitar satu setengah dasawarsa sejak awal reformasi, liberalisasi politik, dan adopsi demokrasi liberal 1998-1999. Indonesia dengan bangga disebut banyak kalangan ’demokrasi ketiga terbesar’ di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Di masa itu, demokrasi Indonesia adalah full democracy, penuh energi dan warna.

Akan tetapi, menempuh paruh kedua 2010-an dan memasuki 2020-an, demokrasi Indonesia mulai dan terus menyurut. Banyak lembaga pemantau dan promosi demokrasi di dalam dan luar negeri menyebut demokrasi Indonesia surut  atau mundur. Ada pula yang menyebut Indonesia ’demokrasi cacat’ (flawed democracy) atau demokrasi sebagian (partly democracy).

Demokrasi Indonesia mengalami ’dekonsolidasi’, bukan ’konsolidasi’. Apa penyebab ’dekonsolidasi’ demokrasi Indonesia? Tak ada faktor tunggal, tetapi kombinasi berbagai faktor politik. Faktor terpenting adalah masih belum mapannya budaya demokrasi elite politik. Sebagian mereka semula elite oligarki partai atau pengusaha di tingkat nasional atau lokal yang menjadi pejabat publik di lembaga eksekutif dan legislatif lewat pemilu  atau pilkada. Menduduki jabatan publik, mereka bukan memperkuat demokrasi, melainkan sebaliknya, berlaku tak demokratis dan oligarkis; tidak menerapkan tata kelola pemerintahan baik yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Penyebab penting lain, koalisi oligarki politik eksekutif dan legislatif yang terus membesar sejak Pemilu dan pasca-Pemilu 2014 dan 2019. Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla (2014-2019) didukung Koalisi Indonesia Hebat yang membesar dan akhirnya koalisi ini memiliki 386 kursi DPR (68,93 persen). Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin akhirnya didukung koalisi tujuh partai parlemen (PDI-P, Partai Golkar, Partai Nasdem, PKB, PPP, Partai Gerindra, dan PAN) dengan 471 kursi DPR (81,9 persen).

Meminjam kutipan Henry Steele Commager di atas, koalisi besar kekuasaan politik Indonesia kini menjadi oligarki dan menyisakan hanya Partai Demokrat dan PKS sebagai kekuatan dissent—pendapat dan sikap berbeda. Jelas dissensions keduanya tidak efektif, sedangkan dalam koalisi oligarkis, praktis tidak ada dissenting opinions. Dalam keadaan ini, oligarki eksekutif dan legislatif membuat demokrasi tidak bisa berfungsi baik.

Pada saat sama, kekuatan check and balances masyarakat sipil dipojokkan kekuasaan oligarkis ke dalam keberantakan. Mereka tidak disertakan secara signifikan dan substantif dalam proses politik, seperti legislasi—perubahan UU atau pengajuan RUU di DPR (2019-2020). Mereka berteriak di depan publik; praktis tidak didengarkan.  Masyarakat sipil juga kian sulit menyampaikan kritik kepada pejabat pemerintah atau pejabat publik yang dalam trias politika: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kritik bagi banyak pejabat publik tidak menyenangkan; mengganggu keamanan posisi dan kenyamanan psikologis mereka.

Bukan tidak sering kritik mereka hadang menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik  tahun 2008 (Pasal 45 Ayat 1) atau UU ITE edisi revisi 2016 (Pasal 45 Ayat 3). Ketentuan ini sering disebut ’pasal  karet’ karena dapat menjadikan kritik kepada pejabat sebagai ’pencemaran nama baik’ atau penghinaan.  Selain itu, ada Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 tahun 2018, khususnya Pasal 122 Huruf k yang berpotensi membungkam kritik yang bisa dianggap merendahkan kehormatan DPR RI dan anggota DPR.

Pada September 2021, dua pejabat tinggi negara, yakni Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan,  dalam kasus berbeda, melaporkan sejumlah aktivis ke Bareskrim Polri. Para aktivis itu dianggap mencemarkan nama baik mereka.

Tidak perlu argumen panjang lebar tentang urgensi dan pentingnya kritik dalam demokrasi. Kritisisme terhadap pejabat publik dan perkembangan kehidupan berbangsa bernegara yang melenceng adalah bagian penting kebebasan berekspresi dan berpendapat; sebagai kekuatan check and balances; dan sekaligus sebagai pengingat dan imbauan moral kepada penguasa. Kritik adalah bagian esensial yang membuat demokrasi dinamik dan sehat. Sebab itu, tepat sekali judul laporan berita Kompas, ”Sikap Antikritik Ancam Demokrasi” (Sabtu, 25/9/2021).

Oleh karena itu, kritik harus digelorakan. Para pejabat publik bersama masyarakat sipil memiliki tanggung jawab utama menggelorakan demokrasi, bukan menampilkan sikap antikritik dengan mengkriminalisasi pengkritik. Seharusnya pejabat publik berterima kasih pengkritik telah menunjukkan hal tidak beres, menjadi pengontrol, pengingat, dan pendorong untuk memperbaiki keadaan.

Menghadapi kritik tak menyenangkan, pejabat publik mesti kembali kepada sila keempat Pancasila yang menggariskan demokrasi Indonesia menjadi deliberative democracy. Demokrasi deliberatif (permusyawaratan) mengarahkan penyelenggara negara lebih mengutamakan musyawarah dengan masyarakat sipil dan publik.

Demokrasi deliberatif memberi peluang klarifikasi, perbaikan, dan kearifan. Kriminalisasi penyeru kritik bisa  kontraproduktif dan mencerminkan arogansi kekuasaan.

 

Azyumardi Azra,
Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Tulisan ini pertama kali terbit di Harian Kompas,07 Oktober 2021

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.