Opini

no image

KTT COP27: Menagih Janji di COP27

09 November 2022
Oleh : Daniel Murdiyarso
Unduh PDF


Kebijakan iklim Indonesia belum berpihak pada energi baru dan terbarukan yang potensinya amat sangat besar. Saat ini EBT hanya mengambil porsi 13,3 persen dalam bauran energi, masih jauh dari target 23 persen di 2025.

Resor wisata di Gurun Sinai itu tiba-tiba menjadi terkenal dan dikunjungi “turis” dalam jumlah yang tidak biasa.

Dalam dua minggu ke depan, Sharm El-Sheikh, yang sering disingkat Sharm, akan menjadi ajang perhelatan akbar terkait dengan iklim yang memanas, Pertemuan Para Pihak Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa- Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) Ke-27 (COP27).

Sekembali dari COP26 di Glasgow tahun lalu, para pemimpin dunia yang sempat diterima mendiang Ratu Inggris Elizabeth II, seharusnya menunjukkan mereka menepati berbagai janji yang diucapkan.

Antara lain, dengan menunjukkan target penurunan emisi baru menuju 2030, nir-emisi neto (net zero emission), penggandaan dana adaptasi, menahan laju deforestasi, mempercepat penghapusan batubara, serta mengurangi subsidi minyak bumi.

Dengan berbagai kendala, termasuk perang Rusia-Ukraina, krisis energi, dan pandemi Covid-19 yang masih belum memberikan tanda-tanda berakhir, nampaknya memang sulit menepati janji itu. Lantas apakah COP27 akan dipakai sebagai ajang melemahkan semangat dan mendorong pencabutan janji-janji itu? Publik menunggu kesungguhan mereka.

Janji yang sulit ditepati

Jika dilihat dari data berbagai lembaga pemeringkat penurunan emisi, seperti Climate Action Tracking, prestasi kita, khususnya negara-negara industri, memang tidak membaik, bahkan beberapa negara cenderung memburuk.

Saat ini untuk mencapai target mencegah kenaikan pemanasan suhu Bumi 1,5 derajat celsius pada 2030, sektor energi perlu menurunkan emisi 10 kali lebih cepat dan sektor lahan/hutan 2,5 kali lebih cepat.

Kecamuk perang memang berimplikasi serius terhadap suplai energi, khususnya bagi negara-negara Eropa. Dihentikannya pasokan gas Rusia menjelang musim dingin tidak serta -merta mendorong efisiensi energi. Sebaliknya dikhawatirkan akan memicu penggunaan energi lama dan tak terbarukan, termasuk batubara. Target nir-emisi neto 2050 pun terancam. Sebaliknya semua negara G20 (kecuali Meksiko) yang akan bertemu di Bali telah memiliki target nir-emisi neto.

Kegagalan negara maju dalam menggalang dana 100 miliar dollar AS per tahun pada 2020-2025 berdampak pada tak tercapainya dana adaptasi (40 miliar dollar AS) yang sangat diharapkan banyak pihak yang memiliki kapasitas rendah. Kekurangan dana ini selanjutnya akan menurunkan ketahanan negara berkembang dari dampak perubahan iklim.

Kesepakatan global dalam menahan laju deforestasi di Glasgow (Glasgow Leaders Declaration on Forests and Land Use) harus ditindaklanjuti di COP27. The Forests and Climate Leaders’ Partnership yang diikuti 145 negara perlu segera menyusun rencana dan implementasi penurunan laju deforestasi global yang mencapai 100 juta hektar per tahun. Jika kesempatan COP27 ini disia-siakan, entah kapan lagi negara sebanyak itu dapat bersepakat melakukan kemitraan global.

Di mana Indonesia berada?

Untuk mencapai target penurunan emisi, Indonesia telah meningkatkan komitmen dari 29 persen menjadi 32 persen, seperti tertuang dalam dokumen Updated NDC. Di sektor lahan yang menyumbang 60 persen emisi nasional, pemerintah telah meluncurkan skema FOLU Net Sinks 2030 dengan tujuan agar sektor penyumbang emisi terbesar ini tidak hanya nol emisi, tapi negatif.

Sektor lahan menjadi rosot (sinks) bukan sumber (source) lagi. Fokus rancangan skema ini tak hanya mencegah deforestasi dan degradasi hutan, tetapi juga memasukkan konservasi hutan alam, pengelolaan hutan secara lestari (termasuk hutan tanaman) dan menaikkan rosot ekosistem gambut dan mangrove.

Kebijakan iklim Indonesia belum berpihak pada energi baru dan terbarukan (EBT) yang potensinya amat sangat besar.

Pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tidak dimasukkan dalam kebijakan ini karena karhutla adalah sumber emisi. Tetapi kita perlu belajar dari karhutla 2015 yang tak hanya menimbulkan kerugian sosial dan finansial yang besar, tetapi juga emisi GRK yang fantastis mampu membatalkan semua capaian gemilang dalam penurunan emisi. Apalagi tahun politik biasanya panas. Bukan hanya karena bakar-bakar ban, tapi juga bakar-bakar lahan untuk berbagai alasan yang kita semua sudah mahfum.

Penggandaan dana adaptasi diperlukan untuk pencegahan karhutla (fire prevention), sehingga dana pemadaman (fire fighting) bisa dialihkan untuk meningkatkan kapasitas petugas dan masyarakat. Di samping itu, dana adaptasi bisa digunakan untuk meningkatkan keta- hanan ekosistem hutan, terutama hutan rawa gambut yang kaya karbon, dengan memperbaiki sistem hidrologinya agar tak mudah dibakar atau terbakar.

Kebijakan iklim Indonesia belum berpihak pada energi baru dan terbarukan (EBT) yang potensinya amat sangat besar. Saat ini EBT hanya mengambil porsi 13,3 persen dalam bauran energi, masih jauh dari target 23 persen di 2025. Beberapa studi menunjukkan kalau dukungan kebijakan kuat, di 2050 Indonesia bisa menghasilkan listrik yang sepenuhnya (100 persen) dibangkitkan dengan EBT.

Sebaliknya dengan diberi porsi 61 persen, batubara tetap mendominasi pembangkitan listrik di Indonesia dan masih akan meningkat hingga 64 persen di 2030. Padahal untuk mencapai 1,5 derajat celsius, seharusnya porsi batubara diturunkan hingga 10 persen di 2030 dan dihapuskan di 2040.

Indonesia harus mencari. Indonesia perlu dukungan finansial internasional yang besar. Karena itu momen COP27 harus jadi ajang agar Mekanisme Transisi Energi dan Kemitraan Transisi Energi yang Adil dapat segera direalisasikan.

Kebijakan iklim Indonesia harus digeser dan menekankan mitigasi sumber emisi, khususnya energi yang berbasis fosil, bukan lagi rosot yang kapasitasnya terbatas dan rentan terhadap perubahan iklim. Meski akhirnya nanti rosot ini sangat negatif, kemampuannya tidak akan pernah menegasikan emisi dari bahan bakar fosil.

Jika tripartit Mesir-Uni Emirat Arab-Israel berhasil menyepakati hal-hal pelik dan sensitif dalam relasi mereka bulan Juli silam di Sham, tidak tertutup kemungkinan Sham akan menoreh sejarah baru multipartit perubahan iklim. Dengan kepala dingin, suhu panas padang pasir dapat diabaikan.


Daniel Murdiyarso, 
Guru Besar Ilmu Atmosfer IPB, Peneliti Utama (CIFOR), dan mantan UNFCCC National Focal Point dan Anggota Komisi Ilmu Pengetahuan Dasar,  Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Artikel ini pertama kali diterbitkan di Harian Kompas 09 November 2022

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.