
Sebagai akademisi dengan latar belakang ilmu kesusastraan, Melani Budianta melihat peran sastra sangat strategis untuk melihat kemajemukan di Indonesia.
Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Melani Budianta saat menerima penghargaan BRIN, Sarwono Award 2023, di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, BRIN, Jakarta, Rabu (23/8/2022).
Melani Budianta tidak pernah membayangkan bisa menerima penghargaan Sarwono Award yang sejak tahun 2002 diberikan kepada sederet nama tokoh masyarakat dan ilmuwan. Ia merasa begitu kecil ketika membaca nama-nama ilmuwan penerima Sarwono Award sebelumnya dengan sederet karya dan hak paten dari berbagai bidang ilmu, mulai dari teknologi pangan, fisika nuklir, mikrobiologi, hingga oseanografi.
Saat merefleksikan perjalanan keilmuannya dari sastra ke kajian budaya, Melani melihat sesuatu yang muncul bukanlah sebuah capaian. Akan tetapi, perjalanan keilmuannya merupakan suatu proses pergulatan dan pemelajaran seumur hidup tentang makna hidup dan kemanusiaan. Ia pun bersyukur bahwa proses tersebut dihargai oleh pihak lain.
”Sebab, jika diukur dengan standar capaian, apa yang saya lakukan tidak ada artinya dibandingkan yang dikerjakan kolega sosial-humaniora yang lain,” ujar Guru Besar Fakutas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia ini.
Curahan hati tersebut Melani sampaikan ketika memberikan sambutan dalam acara penerimaan penghargaan Sarwono Award 2023 di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Jakarta, Selasa (23/8/2023).
Sebagai akademisi dengan latar belakang ilmu kesusastraan, Melani kerap menyelipkan beberapa karya sastra sebagai jembatan untuk menyampaikan pandangannya. Hal ini juga dilakukan Melani saat memberikan sambutan tersebut. Karya sastra yang disinggung seperti cerpen dari Marga T berjudul Baju, Sepatu dan Lima Rupiah yang ditulis tahun 1970.
Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Melani Budianta (kiri) dan Rektor Universitas Hasanuddin Djamaluddin Jompa saat menerima penghargaan BRIN, Sarwono Award 2023, di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, BRIN, Jakarta, Rabu (23/8/2022).
Cerpen karya Marga T ini disebut Melani dapat membawa pembacanya masuk ke era tahun 1970-an. Perubahan kota, zaman, dinamika bahasa, dan dunia anak muda era ’70-an terekam dalam beberapan kutipan cerpen. Di sini, Melani melihat karya sastra merekam perubahan budaya secara sosiologis dan mengajak pembaca masuk ke dalam perspektif narator.
Tak hanya cerpen Marga T, Melani juga menyelipkan sajak karya Taufiq Ismail tahun 1970 berjudul ”Beri Daku Sumba”. Melalui sajak ini, Melani ataupun anak-anak lainnya yang tinggal di Jawa dapat membayangkan keindahan Sumba yang penuh perbukitan dan padang ilalang meskipun belum pernah mengunjungi daerah tersebut.
Menurut Melani, karya sastra bukan hanya memungkinkan pembacanya membayangkan dirinya menjadi satu bangsa dengan berbagai kelompok masyarakat yang tidak pernah ditemuinya. Lebih jauh, karya rekaan membawa pembaca masuk dalam era dan zaman yang berbeda serta ikut merasakan proses-proses kesejarahan yang membangun negara-bangsa.
”Kemampuan untuk membayangkan dan menghayati keberagaman sangat penting bagi warga Indonesia, suatu negara yang kemajemukan budayanya merupakan salah satu yang tertinggi di dunia. Peran sastra di sini sangat strategis,” tuturnya.
Sebagai bidang kajian, selain mengaitkan teks sastra dengan konteks masyarakatnya, ilmu kesusastraan juga mengasah daya nalar kritis untuk menggali segala hal yang tersirat. Di sisi lain, ilmu kesusatraan juga dapat membongkar retorika dan siasat narasi untuk mengarahkan emosi, menunjukkan kelenturan pengaruh lintas, serta mengungkap konstruksi ideologis ataupun kemungkinan-kemungkinan pemaknaannya yang sangat kompleks.
Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Melani Budianta (kanan) memeluk filsuf dan astronom Karlina Supelli dalam peluncuran buku berjudul Menemukan Allah dalam Sains dan Manusia di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Sabtu (13/5/2023).
”Dalam penerapannya di masyarakat, beragam tradisi bertutur seperti tradisi lisan, manuskrip, sampai teater rakyat menjadi sarana untuk membangun kebersamaan serta mewariskan memori kolektif dari satu generasi ke generasi lainnya,” katanya.
Kado buku
Melani tumbuh dari keluarga yang mencintai seni dan buku. Ketika kecil, terdapat aturan tidak tertulis di keluarganya, yakni ketika ada yang berulang tahun, hanya boleh diberikan kado buku atau karya kreasi sendiri. Keluarganya melarang untuk memberikan kado dari membeli.
Tidak mengherankan bila faktor kebiasan dalam keluarga inilah yang mendorong Melani untuk memilih melanjutkan studi sarjana di Jurusan Sastra Inggris Universitas Indonesia. Ia merasa sangat nyaman dan menikmati saat mempelajari ilmu kesusastraan hingga akhirnya mendapatkan beasiswa pascasarjana American Studies di University of Southern California.
Perjalanan pendidikan Melani terus berlanjut hingga studi doktoral di English Literature, Cornell University. Seusai menamatkan studi doktoral ini, Melani memutuskan untuk pulang ke Indonesia dan mulai mengembangkan ilmu sastra dan kajian budaya di UI.
Melani menyadari bahwa sejak kecil ia sudah akrab dengan dunia literasi. Namun, ia melihat kemampuan literasi dari anak-anak di lingkungan sekitarnya masih belum optimal. Kondisi ini menggugah hati Melani yang saat itu masih menjadi mahasiswa di UI untuk membantu anak-anak yang kurang mendapat akses pendidikan di sebuah gang di Tanah Abang.
ARSIP KELUARGA
Melani Budianta, Pengalaman awal tersebut menyadarkan Melani bahwa ternyata teori dan metode yang dipelajarinya dari buku dan bangku kuliah bubar ketika menghadapi kenyataan kesenjangan di lapangan. ”Itu adalah krisis pertama yang membuat saya sebagai ilmuwan selalu gelisah dan tak pernah nyaman dengan apa yang sudah saya capai,” katanya.
Membangun aktivisme
Guncangan kedua yang dirasakan dalam hidup Melani terjadi pada tahun 1998 bersamaan dengan krisis multidimensi serta kekerasan berbasis jender dan ras di Indonesia. Krisis kedua ini kembali menyadarkan Melani bahwa membangun pengetahuan tidak lengkap jika tidak diikuti dengan aktivisme untuk melakukan intervensi di masyarakat.
Momen 1998 itu mengantarkan Melani untuk berkolaborasi dengan gerakan perempuan, gerakan kemanusiaan, dan jejaring ilmuwan atau aktivis lintas Asia yang juga bergumul dengan persoalan yang sama. Bahkan, ia juga menekankan pentingnya gerakan perempuan yang bermunculan di akhir 1990-an sekaligus bersikap kritis atasnya.
Melani mengakui bahwa tantangan ke depan adalah bagaimana mengembangkan akses tentang kesusastraan ke masyarakat umum. Sebab, sekarang banyak generasi muda yang semakin rendah mengakses buku. Oleh karena itu, ke depan, perlu dibangun literasi kritis lewat buku agar orang tidak mudah larut terhadap suatu informasi tertentu.
”Caranya, antara lain, melalui membumikan buku dan cara membaca Indonesia secara lebih luas sehingga anak-anak bisa memahami posisi maupun identitas diri mereka. Dengan begitu, mereka bisa mempunyai kesadaran siapa saya dan apa kekayaan budaya saya. Jadi, identitas budaya itu penting meskipun tidak harus sama dengan masa lalu,” ucapnya.
Artikel ini pertama kali diterbitkan di Harian Kompas 26 Agustus 3023
Editor: Aloysius Budi Kurniawan, Mohammad Hilmi Faiq