
Siaran Pers AIPI
Jakarta, 17 Oktober 2022. Dunia hukum kita sedang tidak baik-baik saja. Pelanggaran, penyimpangan, dan skandal penerapan hukum terasa sangat masif terjadi dan terungkap akhir-akhir ini. Kasus pembunuhan polisi oleh polisi, menyusul kemudian terjeratnya salah satu hakim agung dalam kasus suap, salah urus penanganan supporter sepakbola yang menyebabkan lebih dari 130 orang meninggal, selanjutnya diikuti dengan terungkapnya kasus polisi menguntit sebagian barang bukti sabu untuk dijual melalui jaringan kaki tangannya dan bahkan melibatkan bandar narkoba. Semua itu membuat aib dunia hukum kita. Bahkan Presiden Joko Widodo sampai gemas dan menegaskan perlunya reformasi hukum.
Belum lagi masalah yang sudah lama menjadi sorotan di Indonesia, soal ketimpangan pemidanaan pada pengadilan pidana. Ambil contoh, misalnya, Jaksa P - yang terbukti membantu seorang buron – divonis pidana 10 tahun penjara, ternyata pidananya didiskon menjadi 4 (empat) tahun penjara saja, dengan argumen karena ia memiliki anak kecil. Kasus ini mengingatkan masyarakat pada AS, politisi partai besar yang terjerat kasus korupsi - waktu itu juga mempunyai anak balita - akan tetapi pidananya tidak dikurangi, bahkan diperberat oleh Mahkamah Agung. Pada kasus Jaksa P, bahkan Ketua Mahkamah Agung menyebutkan bahwa putusan Pengadilan Tinggi tersebut tidak argumentatif dan tidak bertanggungjawab.
Diskon vonis semacam ini juga terjadi pada kasus MZ, mantan anggota DPR, pidananya dikurangi dari 9 menjadi 6 tahun. Alasannya karena “terpidana bukan penggagas proyek dan sejatinya bukan pelaku aktif”. Sedangkan pada kasus mantan Menteri Sosial JB, yang juga pidananya dikurangi – sama-sama terjerat kasus korupsi – akan tetapi pengadilan menyebutkan “unsur yang meringankan berupa telah berbuat baik selama menjadi Menteri, dan sudah banyak menderita karena dicerca, dihina dan dimaki masyarakat.”
Kondisi inilah yang mendorong Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) – sebagai wadah ilmuwan yang bersifat mandiri dan bukan merupakan badan pemerintah – mengadakan Webinar untuk memperoleh pandangan para akademisi dan praktisi mengenai alternatif solusi atas masalah yang kita hadapi.
Webinar ini akan dihelat pada Rabu, 19 Oktober 2022, pukul 09.00-12.00 WIB, melalui aplikasi Zoom Meeting dengan Meeting ID: 813 1484 5660 dan Passcode: KISAIPI22, dan disiarkan juga melalui kanal Youtube melalui tautan https:/bit.ly//YTKISAIPI22. Webinar ini terbuka untuk umum, para akademisi, praktisi, pembuat kebijakan, mahasiswa dan pemangku kepentingan lainnya. Peserta Webinar bila memerlukan E-Sertifikat akan disediakan.
Diskusi daring dalam format Webinar ini tersusun atas tiga sesi. Diawali dengan Sesi Pertama Sambutan Pembukaan dan Pengantar Diskusi. Selanjutnya pada Sesi Kedua akan digelar sesi Paparan Narasumber dan Diskusi Interaktif. dan diakhiri dengan Sesi Rekomendasi sebagai Pesan Penutup.
Webinar akan dibuka oleh Ketua AIPI, Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro, yang akan menyampaikan pokok masalah hukum yang dihadapai Indonesia dewasa ini disertai harapan yang ingin dicapai dalam webinar ini. Prof. Harkristuti Harkrisnowo, anggota Komisi Ilmu Sosial AIPI yang juga Guru Besar Hukum Pidana UI ini, akan mengantarkan isu pokok tema diskusi terutama mengenai masalah disparitas dan proporsionalitas putusan pengadilan pidana. Harkristuti juga akan menjadi moderator dalam diskusi daring ini.
Adapun pada Sesi Paparan Narasumber akan dihadirkan 4 orang Pembicara:
Isu disparitas dan proporsionalitas pidana, memang sudah lama menjadi materi endless debates dan nmun masih sedikit menjadi perhatian periset, akademisi dan praktisi. Disparity in sentencing, juga merupakan masalah yang ditemukan dalam putusan pengadilan untuk perkara pidana, yaitu adanya perbedaan dalam penjatuhan pidana untuk kasus yang serupa atau setara keseriusannya, tanpa alasan atau pembenaran yang jelas.
Disparitas kadang juga meluas menjadi suatu kondisi dimana tindak pidana yang serius namun dijatuhi pidana yang ringan, sedangkan tindak pidana yang ringan dikenakan pidana yang berat. Ketimpangan inilah yang acap menjadi sumber perbincangan berbagai komunitas, bukan hanya terbatas di komunitas hukum saja. Tentu banyak yang berkilah bahwa setiap kasus adalah unik dalam segala elemennya, dan tidak mungkin dapat diukur paritasnya secara persis, sehingga disparitas tidak akan pernah dapat dihindari.
Kita memahami pula bahwa tidak semua disparitas mengindikasikan kondisi yang negatif. Harus dibedakan disini antara Disparitas yang beralasan (warranted disparity), karena memang elemen kasusnya tidak sama, dan Disparitas yang tidak beralasan (unwarranted disparity), yakni ketika kasus-kasus yang serupa diperlakukan secara berbeda. Fenomena ini tidak mudah dihindari oleh karena keputusan yang diambil hakim tidak terlepas dari berbagai faktor seperti prinsip judicial independence, pengalaman pribadi, ideologi, pandangan tiap hakim tentang tujuan pemidanaan, moralitas dan nilai-nilai, rentang sanksi minimum dan maksimum dalam undang-undang, perbedaan kondisi dan situasi setiap kasus, kewajiban hakim untuk menggali hukum yang hidup dalam masyarakat, pengaruh media massa terhadap hakim, serta adanya faktor-faktor extra-judicial atau di luar hukum. Itulah yang menyebabkan proses pengambilan keputusan oleh hakim diwarnai oleh beberapa inkonsistensi. Namun tidak berarti bahwa inkonsistensi ini harus dibiarkan, karena akan memberikan citra negatif dari masyarakat - khususnya di mata pencari keadilan, justitiabelen - mengenai kinerja hakim. Itulah sebabnya disparitas semestinya harus ditekan pada titik yang terendah.
Di sisi lain, dalam setiap putusan dalam perkara pidana diwajibkan memuat konsiderans atau pertimbangan yang merupakan refleksi akuntabilitas hakim memutus perkara. Namun, penelitian mengenai faktor-faktor yang dipertimbangkan oleh hakim dalam memutuskan perkara, belum banyak dilakukan, dan kalua pun ada, hanya bersifat studi kasus yang tidak mengungkapkan tabir di balik putusan hakim.
Karenanya menjadi penting agar webinar ini dapat ditujukan untuk menjawab pertanyaan faktor- faktor yang harus dipertimbangkan dalam hukuman, dan menentukan kriteria apa saja yang harus dijadikan landasan agar kasus-kasus serupa mendapatkan hukuman nirdiparitas.
(Sigit Asmara Santa – Biro Administrasi Ilmu Pengetahuan)