SIARAN PERS PRESIDENSI G20 INDONESIA

01 July 2022 | 1793 hits
S_20_1_Juli_2022.jpg

G20 Perlu Memperkuat Kerjasama Atasi Penurunan Kualitas Udara, Perubahan Iklim dan Peningkatan Kontribusi Teknologi untuk Perbaikan Kualitas Hidup. 

Jakarta, 1 Juli 2022.

“G20 perlu memperkuat kerjasama dalam mengatasi masalah penurunan kualitas udara, perubahan iklim dan meningkatkan kontribusi teknologi untuk perbaikan kualitas hidup manusia,” kata Ketua Science-20 (S20), Satryo Soemantri Brojonegoro, dalam pesan sambutan pembuka acara Webinar Internasional Kebijakan Tingkat Tinggi S20, Kamis 30 Juni 2022.  Webinar Internasional Seri ke 6 ini, terjalin atas kerjasama AIPI sebagai Chair S20, dan ADB, BRIN, IKN dan UI sebagai Co-Chair, UGM, UNESCO, G2o Working Group, G20 Engagement Group,  yang kali ini mengusung tema “Applying Science and Technology for Clean Air and Climate Co-benefits".

Webinar daring ini menghadirkan para pakar internasional perwakilan dari pengambil keputusan, peneliti, cendekiawan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan masyarakat sipil serta berbagai pihak yang menaruh perhatian dan peduli soal pemanfaatan iptek untuk  mengatasi polusi udara, mitigasi iklim, peningkatan kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi.

“Saya berharap kepakaran dan pengalaman para nara sumber yang sangat berkompeten, dapat memberikan pandangan dalam beradaptasi melalui pendekatan pembangunan yang ramah lingkungan; ekonomi dapat tetap terjaga tumbuh dan dampak negatif polusi udara teratasi,” ujar Satryo yang juga Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) ini.

Lebih lanjut, Ketua S20 yang juga didapuk sebagai Penasihat Senior CALT-BRUNP Pabrik Produksi dan Pusat Daur-ulang Baterai Lithium ini, memberi latar belakang pemilihan tema tersebut. ”Empat miliar atau 92 % orang di Asia dan Pasifik terpapar polusi udara pada tingkat yang membahayakan kesehatan mereka. Paparan polusi udara dalam jangka panjang dikaitkan dengan hasil kesehatan COVID-19 yang lebih buruk, terutama pasien rawat inap,” ungkap Satryo  merujuk Laporan UNEP-2019, dan Imperial College London-2021. Polusi udara, kata Satryo selanjutnya, juga merugikan lingkungan, ekosistem dan keanekaragaman hayati, hasil pertanian, dan ekonomi. Biaya kerusakan kesehatan dari polusi udara partikel halus (PM2.5) saja setara dengan 9,3 persen dari PDB di Asia Timur dan Pasifik dan 10,3 persen di Asia Selatan pada 2019, merujuk Laporan Bank Dunia, 2022.

Polutan udara berkontribusi terhadap perubahan iklim; ozon troposfer menyebabkan pemanasan iklim, sedangkan polusi udara partikel halus (PM) menyebabkan efek pendinginan atau pemanasan iklim. Perpaduan antara kualitas udara bersih dalam gas rumah, dan sains dan teknologi dapat menjadi tantangan yang menentukan  kehidupan kita. Konvergensi ketiga tema ini memerlukan kemampuan dalam hal meningkatkan dan menyebarkan teknologi bersih di berbagai sektor utama seperti pembangkit listrik, transportasi, industri dan pengusahaan.

Dengan begitu, lanjut Ketua S20 ini, maka komitmen yang tertuang dalam Paris Agreement bisa dipertahankan sekaligus dapat memenuhi target Sustainable Development Goal's (SDG's). Oleh karena itu, upaya dan tindakan kolaboratif kolaboratif pemerintah untuk memenuhi pemikiran komunitas internasional harus dapat bermanfaat untuk mencapai pemulihan yang lebih kuat dan memastikan ketahanan bagi semua umat manusia.

“Selain itu, dibutuhkan pula kemauan politik ambisius dari pembuat kebijakan yang dilandasi oleh kebijakan berbasis sains (science-based policy), yang dapat meliputi percepatan adopsi teknologi bersih di Asia,” kata Satryo.

Selain penelitian dan pengembangan, kebijakan berbasis ilmu pengetahuan dan dukungan kebijakan emisi dari pemerintah, adalah suatu keharusan yang melibatkan pemangku kepentingan dan masyarakat, untuk menanggulangi pencemaran udara dan pengurangan emisi karbon. Diharapkan kebijakan ini  dapat memberi manfaat bagi sebanyak mungkin manusia.

Kebijakan udara bersih membutuhkan sumber daya di luar kapasitas pemerintah. Pemerintah harus dapat menciptakan lingkungan yang pendukung untuk investasi teknologi bersih.  Setiap negara memiliki tantangan yang unik dan membutuhkan dukungan infrastruktur sistem energi untuk kebijakan tersebut.

Seminar ini sangat penting, lanjut Satryo, karena bertujuan untuk: i) mendorong pertukaran pengetahuan Selatan-Selatan di antara negara-negara Asia, tentang peningkatan kualitas udara dan penurunan emisi karbon; ii) menyoroti peran data yang kuat untuk mengembangkan kebijakan udara bersih yang sehat dan rendah karbon; disamping itu akan iii) membahas kemajuan terbaru dalam teknologi bersih di Asia dan mekanisme untuk mempercepat peningkatan teknologi bersih; dan iv) membahas peluang kolaborasi antara sektor publik dan swasta untuk mendorong meningkatkan investasi dalam teknologi bersih.

Rekomendasi dan tindakan harus diusulkan untuk mempromosikan kelompok yang lebih inklusif dan tangguh untuk semua. “G20 perlu memperkuat kerjasama untuk mengatasi kualitas udara bersih, perubahan iklim, dan meningkatkan kontribusi teknologi untuk peningkatan kualitas hidup,“ ajak Satryo.

G20 harus mendorong kemampuan negara untuk menggunakan iptek dalam menciptakan bukti untuk membuat keputusan dalam kondisi ketidakpastian, dalam era penilaian kualitatif saja tidak akan memadai untuk memandu pembuatan kebijakan nasional.

(Sigit Asmara Santa - Biro Administrasi Ilmu Pengetahuan, AIPI)

 

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.