Jakarta, 8 September 2024. Silang pendapat atas tindakan dan perbuatan kasat mata cawe-cawe keberpihakan presiden pada proses Pemilihan Presiden (Pilpres) yang baru usai, dan dilanjutkan lagi pada proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024, dinilai berbagai kalangan menjadi momentum kuat perlunya keberadaan Undang-Undang (UU) Lembaga Kepresidenan, yang mengatur dan membatasi kewenangan presiden. Sementara itu, sebagian pihak lainnya, menyatakan UU tersebut tidak diperlukan, karena tugas dan fungsi presiden telah diatur dalam pasal-pasal yang terserak di Undang-Undang lembaga negara lainnya.
Sejak awal reformasi, kesadaran untuk mengatur dan membatasi kewenangan presiden sejatinya sudah mencuat. Kala itu, sejumlah undang-undang bidang politik telah dirumuskan. Tercatat ada 4 draf UU yang disusun, yaitu UU tentang Parta politik, UU tentang Pemilu, UU tentang kedudukan MPR, DPR dan DPRD, dan UU Lembaga Kepresidenan. Ketiga UU yang disebutkan pertama selesai dibahas kemudian diundangkan, dan hanya UU tentang Lembaga Kepresidenanlah tidak dapat selesai pembahasannya karena keterbatasan waktu.
Gagasan ini mengemuka lagi sekitar 2001, bahkan telah ada draf RUU Lembaga Kepresidanan yang dirancang mengatur lebih rinci dari tugas dan fungsi yang telah termaktub secara garis besar di UUD 1945 dan dapat mengelaborasikannya. Isu dorongan UU Lembaga Kepresidenan ini mencuat kembali tatkala hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Arief Hidayat, menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa hasil Pilpres 2024. UU ini penting untuk mengatur tugas pokok dan fungsi presiden, katanya. Semestinya seluruh cabang kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, tak boleh cawe-cawe dan memihak pada proses pemilu. Kekuasaan masing-masing Lembaga harus dibatasi oleh paham konstitusionalisme dan dipagari rambu-rambu hukum positif, moral, dan etika.
Pendapat ahli hukum perundang-undangan menguatkan bahwa segala sesuatu pengaturan, pembatasan, dilarang atau tidak sebuah tindakan atau pembatasan kewenangan suatu lembaga dalam undang-undang, harus secara letterlijk dinyatakan pada pasal-pasal. Tidak dapat hanya diserahkan pada sikap kenegarawanan presiden dan/atau dituntutkan pada etika kenegaraan, dan/atau kepada penafsiran yang terdapat pada UU Lembaga Tinggi Negara yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasa 1945, yang telah ada UU nya, misalkan UU MD3, UU Komisi Yudisial, UU Mahkamah Agung, UU Mahkamah Konstitusi.
Tidak ada larangan bagi presiden untuk memihak dan mengkampanyekan salah satu pasangan calon, ungkap presiden pada suatu kesempatan kepada para wartawan. Hal ini juga dibenarkan oleh ahli hukum tata-negara mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Assiddiqie. Lebih lanjut dia mencontohkan, di Amerika ketika Presiden Barack Obama mengkampanyekan capres Hillary Clinton di AS tidak dilarang, karena budaya politiknya tidak feodal lagi dan institusi demokrasinya sudah kuat, serta profesioal. Nyatanya rakyat Amerika memilih yang menentukan kemenangan Donald Trump. Pola ini tidak dapat diterapkan di Indonesia yang budaya politiknya masih feudal, belum kuat. Karenanya beliau menyarankan agar presiden lebih baik dan bijaksanan tidak memihak dan mengkampanyekan salah satu paslon tertentu, meskipun tidak ada aturan hukum yang dilanggar.
Berdasarkan pertimbang di atas dan untuk mewadahi perbincangan dan perdebatan publik termasuk dari para ahli terkait pengaturan dan pembatasan kekuasaan presiden, maka Komisi Ilmu Sosial, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (KIS-AIPI) akan menyelenggarakan Diskusi Publik Daring, bertajuk “Urgensi Undang-Undang Lembaga Kepresidenan.”
Diskusi Publik Daring KIS-AIPI ini diselenggarakan pada Hari Rabu, 11 September 2024, pukul 13.00-16.00 WIB, yang dapat diikuti melalui Aplikasi Zoom melalui tautan https://s.id/URGENSIUU2024; atau Meeting ID: 824 3068 2266 dan Passcode: KIS_AIPI. Acara ini juga disiarkan melalui Aplikasi YouTube dengan tautan https://s.id/YT_URGENSIUU2024
Diskusi Daring ini menghadirkan narasumber yang sangat kompeten. Narasumber pertama, Prof. Dr. Denny Indrayana, SH., LL. M., Ph.D., adalah Praktisi Hukum dan pakar hukum tata negara, aktivis antikorupsi, dan advokat berizin praktek di Indonesia dan Australia, yang juga Wakil Menteri Menkumham 2011-2014, diminta membahas pandangannya terkait RUU Lembaga Kepresidenan dan Efektivitas Pemerintahan.
Jurnalis Senior Kompas, Ir. Budiman Tanuredjo, M. Si., Pemimpin Redaksi Harian Kompas (2014-2019), sebagai narasumber kedua, akan menyampaikan pengamatan dan penilaiannya terhadap Pemilu 2024 dan Urgensi Undang-Undang Lembaga Kepresidenan.
Narasumber ketiga adalah Prof. Dr. Iwan Satriawan, Guru Besar dan Dekan di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Peneliti Senior Pusat Kajian Konstitusi dan Pemerintahan ini akan membahas tema terkait dengan pertanyaan mendasar apa yang hendak dicapai UU Lembaga Kepresidenan, atau sosok Kepresidenan semacam apakah yang hendak diciptakan dengan UU Lembaga Kepresidenan nantinya?
Prof. Ramlan Surbakti, Anggota Komisi Ilmu Sosial AIPI yang juga Guru Besar FH UNAIR, sebagai penggagas tema diskusi publik virtual ini, akan mengantarkan lingkup perbincangan dan diskusi, serta mengarahkan substansi yang hendak diungkapkan lebih jauh, perlukah Undang-Undang Lembaga Kepresidenan, dari pandangan para narasumber dan pendapat masukan peserta publik luas. Diharapkan tujuan webinar untuk mengungkap dan menginventarisasi berbagai pandangan yang disertai argumentasi rasionalitas dapat terjaring lengkap dari para narasumber, para pakar dan public peserta. Jalannya diskusi public akan dipandu oleh moderator Prof. Maria SW Sumardjono, Ph. D., Anggota Komisi Ilmu Sosial AIPI yang juga Guru Besar Hukum Agraria FH UGM.
Perhelatan Diskusi Publik ini diawali dengan pesan Sambutan dan Pembukaan oleh Prof. Daniel Murdiyarso, Ketua AIPI. Dan Prof. Syarif Hidayat, Ph.D., Ketua Komisi Ilmu Sosial AIPI akan meringkaskan butir-butir penting hasil sementara webinar disertai Refleksi Penutup.
Pembaca Budiman.
Ikuti terus diskusi-diskusi dan perbincangan ilmiah yang diselenggarakan secara inklusif oleh AIPI. Serangkaian perbincangan dan diskusi publik terbuka ini, tidak hanya melibatkan ilmuwan dan cendekiawaan secara terbatas, namun juga para praktisi dan publik pemerhati, para peneliti, dosen dan mahasiswa. Harapannya, hasil webinar ini akan digunakan untuk mengambil langkah selanjutnya sebagai wujud partisipasi sumbangsih pencerahan dan pengembangan khasanah keilmuan baru mengembangkan wawasan pengetahuan kepada publik secara luas.
Website |
: |
aipi.or.id |
|
: |
aipi_Indonesia |
Tweeter |
: |
AIPI_id |
Youtube |
: |
AIPI_Indonesia |
Penyusun Siaran Pers:
Sigit Asmara Santa,
humas@aipi.or.id
Biro Adm. Ilmu Pengetahuan, AIPI