Jakarta, 27 Agustus 2024. Ingar-bingar kontaversi peringatan HUT RI ke 79 yang pertama kali diselenggarakan di Ibu Kota Nusantara baru saja usai, kita dikejutkan lagi dengan 2 peristiwa penting di tanah air yang menjungkir-balikkan kembali ke era sebelum reformasi 25 tahun lalu. Ekskalasi dinamika politik meningkat tajam akhir Agustus 2024, seiring dengan mendekatnya jadwal pendaftaran Calon Kepala Daerah. Kedua peristiwa besar itu melibatkan dan menciderai kekuasaan hukum dan integritas penegak hukum, yakni hakim.
Pertama, Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 90/PUU/XXI/2023 yang menetapkan norma baru dalam penentuan usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Kedua, Keputusan Mahkamah Agung (MA) dalam kasus usia calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub). Keputusan MA No. 23P/HUM/2024 memerintahkan KPU untuk tidak memberlakukan batas usia 30 tahun bagi cagub dan cawagub pada saat penetapan calon. Kedua putusan yang menghebohkan. Keputusan MA No. 90 melapangkan jalan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, menjadi Calon Wakil Presiden berpasangan dengan Calon Presiden Prabowo Subianto, yang akhirnya terpilih pada Pilpres lalu. Sedangkan keputusan MA No. 23P, memerintahkan KPU untuk tidak memberlakukan batas usia 30 tahun bagi cagub dan cawagub pada saat penetapan calon. Keputusan ini akan melapangkan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi, adik Gibran Rakabuming Raka berpeluang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah. Dua keputusan hakim MK dan hakim MA ini sebagai bukti robohnya penegakan hukum dan krisis budaya hukum di tanah air menjadi objek kajian dan telaah kritis para praktisi dan pemerhati hukum serta warga masyarakat.
Atas dasar itu, Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (KK-AIPI) akan menyelenggarakan Diskusi Publik Daring, Seri ke-6, bertajuk “Tantangan Penegakan Integritas Hakim dalam Negara Demokrasi” dengan menghadirkan narasumber, pertama, Prof. Dr. Todung Mulya Lubis, (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), yang akam membahas aspek Budaya Hukum negara demokrasi. Narasumber pertama diminta untuk menyampaikan perihal: 1) upaya dari pilar kekuasaan kehakiman, utamanya aparat penegak hukum untuk mengembalikan marwah, citra baik, dan adil berhadapan dengan realitas pelemahan demokrasi di Indonesia; 2) bagaimana membangun budaya hukum baru yang lebih segar, yang mampu mengembalikan marwah integritas hakim dan memperkuat penegakan hukum dalam membela keadilan di tengah himpitan transaksional-oligarkis dan legalisme otokratis?; dan 3) Apa peran komunitas penegak hukum dan masyarakat sipil untuk memperbaiki citra hakim?
Narasumber kedua, Prof. Dr. Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum UI, akan membahas keterkaitan upaya akademik dalam hal: 1) Bagaimana cara mengubah sistem pembelajaran ilmu hukum agar dapat mengikuti perkembangan masyarakat yang begitu cepat?; 2) Bagaimana cara mengubah pola pikir praktisi dan pakar ilmu hukum, agar tidak sekedar berhenti pada “tahu”, melainkan sampai ke “bisa melakukan” penegakan hukum?
Sekjen Akademi Ilmuwan Muda dan dosen FH UGM Herlambang P. Wiratraman, S.H., M.A., Ph.D., sebagai narasumber ketiga akan mempresentasikan gagasan pemikirannya terkait dengan Integritas Penegak Hukum. Bahasannya meliputi lingkup: 1)Di tengah arus kuat demokrasi cacat (defective democracy) disertai legalisme otokratis, apa yang dilakukan oleh negara, dalam hal ini Mahkamah Agung dan atau Komisi Yudisial, secara institusional?; 2) Apakah Kode Etik Hakim, Pedoman Perilaku Hakim, Majelis Kehormatan yang selama ini berjalan di peradilan berjalan efektif?; 3) Dibuktikan dengan lemahnya proses ajudikasi yang diselesaikan secara internal? Sekiranya tidak efektif, mungkinkah dibentuk Mahkamah Etik yang wewenangnya berbeda dari Dewan Etik dan Komisi Yudisial?; 4) Apa dan bagaimana peran dan upaya komunitas pendidikan hukum dan komunitas penegak hukum dalam upaya memperbaiki integritas hakim?
Diskusi yang dihelat secara interaktif menampilkan para akademisi, pembuat kebijakan, dan aktivis, menghadirkan diskusi interaktif berfokus pada pengembangan strategi dan alat untuk mempromosikan perilaku hakim yang berintegritas. Selanjutnya juga akan diperbincangkan lebih rinci melalui pemeriksaan mendalam terhadap kasus-kasus spesifik manipulasi hukum di Indonesia. Sesi Tanya Jawab akan memberikan kesempatan para peserta untuk berinteraksi dengan para panelis. Sebelum dibuka sesi tanya jawab ke publik, paparan ketiga narasumber tersebut akan ditanggapi oleh Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo, Anggota Komisi Wakil Ketua AIPI yang ahli hukum dan Guru Besar Hukum Pidana UI.
Diskusi Publik Daring KK-AIPI Seri ke-6 ini diselenggarakan pada Hari Kamis, 29 Agustus 2024, pukul 14.00-16.15 WIB, dapat diikuti melalui Aplikasi Zoom melalui tautan https://s.id/DiskusiPublikSeri6; atau Meeting ID: 823 2595 6612 dan Passcode: SERI6. Acara ini juga disiarkan melalui Aplikasi YouTube dengan tautan https://bit.ly/YTDiskusiPublikSeri6. Tujuan utama diskusi publik ini adalah untuk untuk membedah permasalahan hukum yang akut di tanah air, di era demokrasi yang semakin melemah setelah 25 tahun era refomasi.
Target diskusi publik ini diikuti oleh para Akademisi dan peneliti di bidang ilmu hukum dan etika, pembuat kebijakan dan pejabat pemerintah, pendidik dan pelatih yang terlibat dalam pendidikan hukum dan demokrasi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bekerja di bidang hukum dan demokrasi, para jurnalis dan mahasiswa dan masyarakat umum yang tertarik dengan etika, hukum dan demokrasi.
Perhelatan Diskusi Publik ini diawali dengan pesan Sambutan dan Pembukaan oleh Prof. Harkristuti Harkrisnowo, Wakil Ketua AIPI. Prof. M. Amin Abdullah, Ketua Komisi Kebudayaan AIPI akan bertindak sebagai moderator, peresume hasil sementara diskusi dan Refleksi Penutup.
Lebih rinci, tinjauan mendalam terkait Putusan MK 90 di atas sudah jelas-jelas mengindikasikan bahwa MK tidak dapat diandalkan untuk menjaga rasa keadilan. Berbagai keputusannya beririsan, bahkan tumpang tindih dengan isu politik dinasti. Contoh lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun dilemahkan melalui Revisi UU KPK No. 19 Tahun 2019, hingga sulit diharapkan menjadi penghalang bagi beroperasinya oligarki yang menjalin kepentingan politik-birokrasi dan bisnis yang predatoris. Dua institusi hukum, MK dan KPK dianggap sebagai simbol reformasi telah tercederai marwah dan nama baiknya.
Seiring dengan sistem politik yang dipenuhi praktik transaksional-oligarkis, tidaklah mengejutkan bila akhirnya integritas menjadi absen dan langka keteladanan di tanah air. Yang memilukan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan praktik konflik kepentingan bukan lagi masalah oknum dan bukan lagi sebatas personal pejabat. Cara-cara itu telah bertransformasi menjadi kian sistemik, masuk dalam struktur kekuasaan, dan bahkan menginstitusionalisasi dalam pilar kekuasaan. Pemisahan kekuasaan (Trias Politica) untuk saling mengontrol dan mengawasi (check and balances) semakin melemah, dan executive heavy kembali dominan. Otoritarianisme menguat dan kian mendayagunakan hukum sebagai alat represi, minimal sebagai instrumen yang efektif menopang kekuasaan dan kepentingan penguasa.
Peraturan perundang-undangan yang dibentuk, dibahas, dan disahkan secara tergesa-gesa, serampangan, tanpa konsultasi publik secara memadai, dan minimnya partisipasi masyarakat luas menjadi lazim terjadi di Indonesia. Masih jelas dalam ingatan, cara pengesahan revisi undang-undang KPK, UU Cipta Kerja, dan Undang-Undang Minerba tahun 2019 yang dilaksanakan dengan mekanisme itu. Gelagatnya, hal itu akan berulang dalam revisi UU 24/2004 tentang Mahkamah Konstitusi, revisi UU No. 39/2008 tentang Kementerian Negara, revisi UU No. 34/2004 tentang TNI, dan revisi UU No. 2/2002 tentang Kepolisian RI.
Dalam kajian hukum dan ketatanegaraan, Coralles (2015) maupun Scheppele (2018), menengarai fenomena tersebut sebagai legalisme otokratis (autocratic legalism). Hal itu merujuk pada kekuasaan pembentukan hukum yang begitu kuat mewakili kepentingan kekuasaan otoritarianisme baru. Terdapat tiga ciri dalam legalisme otokratis itu: Pertama, semena-mena dan ugal- ugalan. Penggunaaan undang -undang otokratis melibatkan partai yang berkuasa dan dominan di legislatif yang membuat undang-undang untuk melayani kuasa eksekutif. Dapat disimak proses penetapan putusan hukum untuk dua kasus melalui MK dan MA tersebut di atas. Demikian pula cara perubahan keempat UU MK yang tidak terdaftar dalam Prolegnas 2020-2024 dan Prolegnas Prioritas 2024, tetapi tiba-tiba dibahas di Tingkat I di DPR yang dilakukan secara senyap, tertutup, dan tergesa-gesa. (Kompas, 18 Mei 2024). Kedua, terjadi nirpartisipasi publik. Mudah terjadi penyalahgunaan hukum di tengah proses pembentukan hukumnya yang ditandai dengan bekerjanya hukum secara tidak konsisten, tidak adil, dan bias kepentingan. Ketiga, ketidaklegalan (illegality). Penyelenggara kekuasaan justru sesungguhnya tidak sedang menerapkan dan menggunakan hukum, tetapi malah melanggar hukum atau against the rules or the law. (Herlambang P. Wiratraman (2023).
Dengan tata kelola negara dan situasi demokrasi demikian, bukan hanya pembentukan hukum yang turun kualitasnya, melainkan juga integritas hakim menjadi rusak berantakan. Itulah yang lazim disebut sebagai demokrasi yang rusak (defective democracy), stagnasi dan regresi demokrasi, atau demokrasi yang cacat (flawed democracy). Bagaimanapun beratnya tantangan yang dihadapi, namun di titik inilah perlu direnungkan dan dirancang kembali peran mendasar dari hukum, rule of law, atau konsepsi dasar Negara Hukum. Perlu rancang bangun tata kelola penegakan hukum yang baru (out the box) yang tidak hanya puas dengan yang selama ini berjalan. Hal itu amat diperlukan untuk menyeimbangkan kekuasaan dan membatasi kesewenang-wenangan, terutama dengan memastikan bahwa para penegak hukum, hakim, jaksa, advokat tangguh bekerja di pilar kekuasaan kehakiman di tengah badai kemunduran demokrasi. Kemunduran demokrasi itu berimplikasi pada menjamur dan bertumbuhkembangnya legalisme otokratis.
Dengan menyoal fenomena realitas penegakan integritas hakim hakim di negara Indonesia yang diaku beberapa kalangan sebagai negara demokrasi, kita dapat mengidentifikasi tantangan-tantangan yang menghadang. Melangkah maju menyingkirkan tantangan dan hambatannya diharapkan negara Indonesia benar-benar bergerak menuju negara demokrasi.
Ikuti terus diskusi-diskusi dan perbincangan ilmiah yang diselenggarakan oleh AIPI, lembaga independen, mandiri dan nonstruktural, yang diberi tugas UU untuk mengkaji, memantau, menilai, menyusun arah dan memecahkan masalah yang berkaitan dengan peguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, AIPI berharap apa yang dihasilkan menjadi sumbangsih pencerahan dan khasanah keilmuan baru mengembangkan wawasan pengetahuan kepada publik secara luas.
Website |
: aipi.or.id |
|
: aipi_Indonesia |
Tweeter |
: AIPI_id |
Youtube |
: AIPI_Indonesia |
Pembuat Siaran Pers: |