Yunita Triwardani W, Guru Besar Pendamping Petani

22 March 2018 | 1634 hits
yunita.png

Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Kompas (22 Mart 2018) dengan judul "Yunita Triwardani W, Guru Besar Pendamping Petani", oleh Abdullah Fikri Ashri

 

Persoalan petani di negeri agraris ini belum pernah dituntaskan. Begitu pandangan Yunita Triwardani Winarto yang meneliti kehidupan petani bertahun-tahun. Untuk itu, guru besar antropologi Universitas Indonesia ini setia mendampingi pahlawan pangan tersebut.

Akhir Januari lalu, sejumlah petani Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, ‘menahan’ Yunita. Ia tidak diperbolehkan segera pulang. Padahal, tiket keretanya menuju Jakarta tinggal dua jam lagi. Dibonceng sepeda motor tua, Yunita menyanggupi ajakan ke rumah seorang petani.

Siang itu, di pinggir irigasi teknis Desa Nunuk, Kecamatan Lelea, Yunita berdiskusi dengan petani yang beberapa tahun terakhir ia dampingi. Pagi harinya, ia sempat membawakan materi terkait petani dalam musyawarah Gerakan Petani Nusantara (GPN).

Nama doktor jebolan Australian National University ini memang tidak asing lagi di kalangan petani setempat. Kiprahnya pun demikian. Salah satunya, ia menginisiasi pembentukan Klub Pengukur Curah Hujan (KPCH) yang anggotanya tersebar di sejumlah desa di Indramayu, termasuk Nunuk.

KPCH merupakan wadah bagi petani untuk membaca perubahan iklim beserta dampak ikutannya, seperti kemunculan hama. Dengan mengetahui curah hujan, misalnya, petani dapat menentukan waktu menanam.

Jangan sampai masa tanam dimulai saat hari-hari tanpa hujan sehingga sawah, apalagi tadah hujan, kekeringan. Laporan cuaca BMKG tidaklah cukup. Sebab, dalam satu kecamatan di Indramayu saja, curah hujan dan jenis tanahnya bisa berbeda.

KPCH Indramayu dibentuk sejak 2009 saat perubahan iklim kian terasa. Pranata mangsa yang menjadi panduan petani menanam padi tidak lagi seirama dengan perubahan alam. Kemarau dan hujan tak lagi jelas.

Saat itu, tidak ada yang memberi tahu petani soal iklim. Mulailah petani diajak mengukur curah hujan

“Saat itu, tidak ada yang memberi tahu petani soal iklim. Mulailah petani diajak mengukur curah hujan,” ujar Yunita yang sebelumnya ikut sekolah lapang iklim di Gunung Kidul, Yogyakarta. Ia didampingi seorang profesor meteorologi asal Belanda.

Alat yang digunakan mengamati curah hujan ialah ombrometer. Awalnya, ada 10 alat yang diimpor dengan harga sekitar 10 dollar AS per unit. Belakangan, seorang petani membuat alat serupa dari bahan sederhana berbentuk silinder dan penggaris. Petani menamainya omplong, seperti bunyi rintik hujan yang jatuh di kaleng.

“Kini, alat itu terpasang di tengah sawah petani yang tersebar di 50 titik di Indramayu. Setidaknya 100 petani ikut belajar di KPCH,” ujarnya. Siapa pun bisa ikut KPCH. Gratis.

Saban pagi, antara pukul 07.00 dan 07.30, mereka ke sawah mengukur curah hujan. Hasilnya dicatat di dalam buku besar yang terdiri dari beberapa kolom, seperti jumlah curah hujan, dampak pada tanah, hama serta musuh alaminya.

Jika curah hujan tinggi, misalnya, hama padi ialah keong. Musuh alaminya, katak. Membasmi katak sama saja memicu ledakan hama keong. Begitu petani mengartikan pengukuran curah hujan.

Seperti petani yang sabar mencatat, Yunita juga demikian. Ia kerap ke Indramayu untuk memantau sekaligus berdiskusi dengan petani. Setiap bulan ia mengirim terjemahan pesan terkait iklim dari Prof Sue Walker asal Afrika Selatan kepada petani Indramayu.

“Awalnya sih masih pusing karena harus mencatat tiap hari. Tapi, pengaruh dari mengukur curah hujan luar biasa,” ujar Abbas Kartam (50), petani asal Sukra, Indramayu, yang mendapatkan pendampingan dari Yunita. Abbas kini menjadi rujukan bagi petani setempat untuk menentukan masa tanam.

Pemerintah menggencarkan tanam padi tiga kali setahun. Padahal, intensifikasi tanam dapat memicu ledakan hama dan penyakit

Ini penting. Sebab, pemerintah menggencarkan tanam padi tiga kali setahun. Padahal, intensifikasi tanam dapat memicu ledakan hama dan penyakit.

Bisa “dewek”

Persentuhan Yunita dengan dunia petani bukan terjadi kemarin sore. Pada 1984, untuk tesisnya, ia meneliti dampak Bendung Gajah Mungkur, Wonogiri, Yogyakarta terhadap petani. Pada 1990, Yunita kembali meneliti  cara petani mengendalikan hama di pantura Jabar.

Penelitian itu berlandaskan pertanyaan sederhana Yunita. Berulang kali menggunakan pestisida dan pupuk kimia, pengetahuan apa yang petani dapatkan? Bagaimana mereka menghadapi perubahan pranata alam?

“Saya penasaran soal ini. Petani umumnya tidak tahu kandungan dan risiko pestisida kimia. Namun, barang tersebut tetap digunakan,” ujar Yunita yang telah membuat lebih dari 30 penelitian, termasuk riset bersama lembaga internasional seperti FAO.

Menurut dia, sebagian besar petani bergantung pada pestisida dan pupuk kimia yang dapat menguras habis isi dompet mereka. Petani menyebut pestisida dengan istilah “obat”. Padahal, itu sebenarnya racun. Tidak hanya membunuh wereng, tetapi juga musuh alaminya. Akhirnya, ledakan hama terjadi.

Namun, Yunita tidak buru-buru menyalahkan petani. “Sebab, mereka hanya terjebak dalam sesat pikir soal pertanian yang dipengaruhi sejak 1970an saat penerapan Revolusi Hijau,” ujarnya.

Pada saat bersamaan, varietas padi lokal tersingkir. Petani perlahan menjadi ‘pasar’ penjualan benih hingga pestisida. Yunita tidak lantas berhenti pada kesimpulan semata. Ia ikut mendampingi sekolah lapangan pengendalian hama terpadu (SLPHT) pada 1990an. Di sana, ia menemukan segelintir petani yang berhasil membebaskan diri dari candu pestisida dan pupuk kimia namun melestarikan varietas lokal.

Kisah tangguh petani asal Indramayu tersebut ia dokumentasikan dalam buku dan film dokumenter berjudul Bisa Dewek: Kisah Perjuangan Petani Pemulia Tanaman di Indramayu (2011). Bisa dewek berarti mandiri. Aktor film itu petani.

Waktu buat film, ada tekanan dari pemerintah daerah kepada petani. Tetapi, kami tetap jalan

“Waktu buat film, ada tekanan dari pemerintah daerah kepada petani. Tetapi, kami tetap jalan,” ujar Yunita yang dibantu mahasiswanya dalam pembuatan film. Varietas padi lokal yang dikembangkan petani setempat dianggap ancaman bagi perusahaan perbenihan. Padahal, jika varietas lokal hilang, pengetahuan petani turut lenyap.

Kini, varietas di sebagian besar petani hampir sama demi peningkatan produktivitas. Padahal, belum tentu cocok untuk semua daerah. Itu sebabnya, Yunita berpendapat, kearifan lokal, termasuk varietas lokal, menjadi jalan keluar untuk memandirikan petani.

Ia juga mengkritik pemerintah yang dinilai abai soal itu. Pada 2012, ia bersama beberapa orang menemui Ketua Dewan Pertimbangan Presiden saat itu, Emil Salim. Mereka memaparkan hasil kajian di lapangan bahwa ledakan hama wereng sepanjang 2009-2011 salah satu penyebabnya adalah  penggunaan pestisida berlebihan dan pemilihan varietas.

“Tidak pernah ada ancaman. Tetapi, dulu saya dilarang hadir dalam sebuah forum padahal sudah diundang,” ujarnya tersenyum.

Secara garis darah, anak ketiga dari tujuh bersaudara ini tidak punya hubungan dengan petani. “Kakek saya dulu pedagang beras. Bapak saya meneruskan usaha itu,” ujarnya. Kedua orangtuanya tidak mencicipi bangku kuliah karena harus bekerja.

Namun, berkat kegigihannya, Yunita mampu menjadi guru besar. Bahkan, ia menjadi ilmuwan pertama di Indonesia yang mendapatkan gelar Akademi Profesor dari Akademi Professorship Indonesia (API) dan The Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences (KNAW) pada 2010.

Lalu, mengapa di usia ke-67 tahun, ibu tiga anak ini tetap setia mendampingi petani? “Saya belajar banyak dari petani. Mereka sebenarnya adalah peneliti, pembelajar,” ucapnya.

Hak Cipta © 2014 - 2023 AIPI. Dilindungi Undang-Undang.